jpnn.com, JAKARTA - Peluang fitofarmaka atau obat herbal yang sudah terbukti secara ilmiah khasiatnya dan terjamin mutunya untuk masuk dalam pendanaan BPJS terbuka lebar.
Hal ini setelah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara resmi disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada Juli lalu.
BACA JUGA: Bea Cukai Malili dan BPOM Palopo Bantu Polres Luwu Utara Bongkar Peredaran Obat Terlarang
"Di UU Kesehatan secara tegas menyebut fitofarmaka bukan obat jamu atau obat tradisional maka akan memperbesar peluang dalam pelayanan kesehatan khususnya yang didanai BPJS," kata Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Ketahanan (Resiliency) Industri Obat dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam webinar series "Workshop Fitofarmaka Bagi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis", Kamis (5/10).
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), Pasal 919, menyebutkan fitofarmaka merupakan obat bahan alam yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan/atau pemulihan kesehatan yang telah dibuktikan kemanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik serta bahan baku dan produk jadinya teklah distandardisasi.
BACA JUGA: 4 Obat yang Dijamin Ampuh Turunkan Asam Lambung dengan Cepat
"Dari definisi ini tidak ada kesan bahwa fitofarmaka adalah obat tradisional, jadi yang namanya obat tradisional itu ada di jamu," tegasnya.
Hal ini menepis anggapan di mana fitofarmaka dulu sering diasosiasikan dengan obat tradisional sehingga tidak masuk dalam BPJS. Kini, fitofarmaka sangat jelas klasifikasinya setara dengan obat-obatan modern atau obat ethical non-herbal.
BACA JUGA: Anda Terserang Radang Tenggorokan, Segera Atasi dengan 3 Obat Ini
Dtambahkannya kebijakan fitofarmaka sebenarnya sudah ada sejak lama, mulai tahun 1992 melalui Kepmenkes RI No.761/Menkes/SK/IX/1992 tentang pedoman fitofarmaka. Setelah itu sekitar 30 tahun berselang, pada 2022 sudah ada 26 jenis produk fitofarmaka.
"Sayangnya belum ada fitofarmaka yang masuk daftar pendanaan BPJS, belum ada fitofarmaka yang bersifat harus pakai resep dokter," lanjutnya.
Tanpa adanya dokter yang meresepkannya di layanan primer dan lainnya maka peluang fitofarmaka yang disebut sebagai calon obat di masa depan ini juga tidak akan besar. Hal ini karena ada 190 ribu lebih dokter yang bisa membantu meresepkan ke pasien.
"Perlu strategi baru agar para dokter mantap meresepkan fitofarmaka dalam praktik. Hal ini penting karena ada 190 ribu dokter di layanan primer dan lainnya," ujarnya.
Salah satunya adalah agar produsen fitofarmaka menghasilkan produk berkualitas, yang terpercaya dan bisa mengobati problem pasien. Di sisi lain, para pasien juga rela membayar lebih besar karena percaya obat berbahan baku herbal.
"Karena kalau bersaing langsung dengan obat yang ada di BPJS, fitofarmaka itu agak lebih mahal tapi bukan berarti tidak laku ya, sebab bisa jadi obat yang mahal itu lebih laku dari yang murah," tuturnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM ini juga menekankan perlunya kemantapan para dokter meresepkan fitofarmaka. Hal ini harus dimulai sejak pendidikan dokter di kampus.
"Termasuk apakah dosen di setiap fakultas kedokteran menguasai masalah ini (obat herbal) dan ada materi khususnya, juga perlu ada modul pengajaran obat herbal yang ada di Indonesia yang bisa dipakai bersama," ucapnya.
Laksono berharap UU Kesehatan 2023 ini akan menjadi pemicu untuk penggunaan fitofarmaka sebagai obat. Sehingga kedepannya, fitofarmaka sebagai obat herbal dengan resep dan bukan obat tradisional akan mempercepat pemakaian di pelayanan kesehatan.
"Peran dokter meresepkan obat fitofarmaka berbasis kebutuhan pasien sangat penting karena bukan hanya bagi pasien BPJS tapi juga non-BPJS karena mereka percaya khasiatnya," terangnya.
Pada kesempatan sama, Katimja Seleksi Fitofarmaka dan Pembinaan Industri dan Usaha Obat Tradisional, Dra Ninik Hariyati Apt, menambahkan pandemi Covid-19 yang melanda dunia selama beberapa tahun menjadi kesempatan terbaik untuk melakukan transformasi kesehatan, di mana salah satunya adalah terkait obat-obatan. Seperti diketahui, selain penggunaan obat kimia, obat-obatan tradisional yang telah teruji dan terjamin kualitasnya juga digunakan untuk membantu penyembuhan Covid-19 pada waktu itu.
Data BPOM hingga Agustus 2023 menyebutkan obat bahan alam dalam bentuk Jamu bersumber dari pengetahuan tradisional/ warisan budaya Indonesia berjumlah lebih dari 14 ribu, Obat Herbal Terstandar (OHT) yakni obat yang keamanan dan khasiatnya dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi berjumlah 81.
Fitofarmaka, yakni obat herbal yang keamanan dan khasiat dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinik dan uji klinik serta bahan baku dan produknya telah distandarisasi, berjumlah 24.
Di sisi lain, pada Mei 2022, Kemenkes telah meluncurkan Formularium Fitofarmaka yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan perencanaan dan pengadaan Fitofarmaka agar tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan serta sebagai acuan penggunaan Fitofarmaka yang aman, bermutu, berkhasiat, dan terjangkau.
"Pentingnya sosialisasi dan edukasi berkesinambungan kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan di fasyankes tentang obat bahan alam (fitofarmaka) dalam mendukung penggunaannya dalam pelayanan kesehatan," ujar Ninik. (esy/jpnn)
Redaktur : Budianto Hutahaean
Reporter : Mesyia Muhammad