FLHI Usulkan Dua Terobosan Pasca-Pimpinan KPK Kembalikan Mandat ke Presiden

Minggu, 15 September 2019 – 23:38 WIB
Petrus Selestinus. Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Demi menyelamatkan Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) dari krisis kepercayaan publik yang meluas, dan menyelamatkan KPK dari kondisi anomali dan stagnan secara berkepanjangan, maka Forum Lintas Hukum Indonesia mendesak Presiden dan DPR untuk mempertimbangkan sebuah terobosan melalui dua cara.

Pertama, membekukan sementara kepemimpinan KPK periode 2015 - 2019 dengan menunjuk 5 (lima) orang pimpinan KPK sebagai pelaksana rugas (Plt) hingga pimpinan KPK periode 2019-2023 dilantik.

BACA JUGA: Akademisi Ini Setuju dengan Revisi UU KPK, Asal...

Kedua, menugaskan pimpinan KPK yang baru untuk membenahi managemen organisasi dan tata laksana tugas-tugas KPK sehingga hubungan kerja antara pimpinan dan pegawai KPK berada dalam sistim tata kelola pemerintahan yang baik dan berbasis pada "nilai dasar" ASN.

“Tugas pimpinan KPK yang baru adalah membubarkan Wadah Pegawai KPK yang ada sekarang dan menghilangkan sekat-sekat antara karyawan yang di BKO-kan dari Instansi Polri, Kejaksaan dan BPKP dengan karyawan KPK hasil rekrutmen KPK sendiri sekat-sekat mana diduga dibangun berdasarkan pertimbangan kepentingan politik dan ideologi atas dasar suku, ras dan agama manapun,” kata Petrus Selestinus sebagai Forum Lintas Hukum Indonesia (FLHI) saat konferensi pers, Minggu (15/9).

BACA JUGA: Jokowi Dinilai Lemahkan KPK, Bang Ruhut: Eh, Enggak Malu Lu!

Turut hadir anggota Forum Lintas Hukum Indonesia saat Konferensi pers dengan tema “Ke Mana KPK Hendak Dibawa" pasca Agus Rahardjo, dkk atas nama pimpinan KPK mengembalikan mandat kepada Presiden Jokowi pada Jumat (13/9) yaitu Chairul Imam (Mantan Direktur Penyidikan Kejagung), Petrus Selestinus mantan Komisioner KPKPN), Alfons Loemau (Mantan Direktur Tipiter Bareskrim Polri) dan Serfas S. Manek (Praktisi Hukum).

FLHI juga mengusulkan kepada Pimpinan KPK yang baru untuk mewadahi Pegawai KPK dengan sebuah organisasi yang berorientasi kepada sistem tata laksana dan tata kerja pegawai yang berbasis pada nilai-nilai dasar kepegawaian yaitu akuntabilitas, nasionalisme, etika publik, Komitmen Mutu dan AntiKorupsi yang harus diinternalisasikan dalam pelaksanaan tugas-tugas kepegawaian sehari-hari.

BACA JUGA: Praktisi Hukum Ini Bilang Agus Rahardjo Cs Turut Melemahkan KPK

Ke Mana KPK Hendak Dibawa?

Forum Lintas Hukum Indonesia mempertanyakan ke mana KPK hendak dibawa pasca-Ketua KPK mengembalikan mandat kepada Presiden Jokowi.

FLHI menilai formasi Pimpinan KPK terdiri dari 5 (lima) orang, dengan formasi seorang Ketua KPK merangkap Anggota dan Wakil Ketua KPK terdiri atas 4 (empat) orang, masing-masing merangkap Anggota. Dengan komposisi dan konfigurasi pimpinan KPK yang demikian, maka undang-undang mewajibkan pimpinan KPK  bekerja secara koektif kolegial, pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum dan pimpinan KPK adalah penanggung jawab tertinggi pada KPK, sesuai ketentuan pasal 21 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.

Dengan konfigurasi seperti itu, maka keputusan pimpinan KPK menyerahkan mandat pimpinan KPK kepada Presiden Jokowi pada tanggal 13 September 2016, merupakan keputusan yang sudah final dan mengikat semua pimpinan KPK.

“Timbul pertanyaan apakah Keputusan mengembalikan mandat pimpinan KPK juga telah disetujui oleh Aleks Marwata dan Basaria Panjaitan, karena kenyataannya Basaria Panjaitan dan Aleks Marwata menyatakan masih berhak memimpin KPK hingga Desember 2019,” tanya Petrus.

FLHI menilai vacumnya pimpinan KPK telah berimplikasi hukum dimana KPK berada dalam kondisi "berhenti" melakukan segala aktivitas pemberantasan korupsi. Artinya segala fungsi penyidikan dan penuntutan yang berpuncak pada pimpinan KPK yang kolektif kolegial, berada dalam keadaan berhenti atau setidak-tidaknya segala aktivitas yang berkaitan dengan proses penyidikan dan penuntutan pascapengembalian mandat pimpinan KPK kepada Presiden, pada tanggal 13 September 2019, tidak memiliki landasan hukum alias menjadi cacad hukum.

“Dalam kondisi yang demikian, maka KPK harus dinyatakan berada dalam keadaan "amomali" karena diduga dikendalikan oleh kekuatan lain di luar sistim kekuasaan pemerintahan, sehingga wibawa negara telah dipertaruhkan, semata-mata karena pimpinan KPK menghadapi ketidak percayaan terhadap diri sendiri dan menghadapi krisis kepercayaan publik yang semakin meluas,” katanya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler