Football Coming Rome

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 08 Juli 2021 – 18:19 WIB
Suporter Timnas Italia. Foto: BBC Sport - The Sun

jpnn.com - Itu bukan salah ketik. Namun, "Football Coming Rome" adalah poster yang muncul di Stadion Wembley, London saat Italia tampil di semifinal Euro 2020 mengalahkan Spanyol (7/7) 4-2 melalui adu penalti.

Tentu saja poster itu meledek suporter Inggris yang setiap kali timnya bertanding di Wembley selalu menyanyikan "lagu kebangsaan" Football Coming Home, seolah-olah mereka sudah mem-booking supaya trofi Euro 2020 direbut Inggris, dan dengan begitu mereka bisa menyanyikan lagu kebangsaan dengan gembira.

BACA JUGA: Three Lions

Bukan cuma suporter Italia yang meledeki pendukung Inggris. Kiper timnas Denmark Kasper Schmeichel juga ikut berkomentar mengenai lagu kebangsaan itu.

Jelang pertandingan semifinal, Schmeichel mempertanyakan mengapa ada lagu kebangsaan itu, padahal Inggris tidak pernah menjadi juara Eropa.

BACA JUGA: Il Duce

Tentu saja itu sebuah taktik perang urat syaraf, psy war, yang sengaja dilempar oleh Schmeichel untuk melemahkan semangat pemain-pemain Inggris.

Schmeichel ternyata tidak takut terhadap pemain-pemain Inggris. Dia juga tidak takut terhadap suporter Inggris yang memenuhi Stadion Wembley.

BACA JUGA: Nasionalisme Bola

Schmeichel, semua tahu, bukan orang baru di sepak bola Inggris. Dia berkebangsaan Denmark, tetapi besar di Manchester. Bapaknya, Peter Schmeichel adalah legenda Manchester United.

Schmeichel lalu masuk akademi Manchester City, musuh utama Manchester United, lalu sempat menembus skuad utama, tetapi kalah bersaing dengan Joe Hart. Schmeichel kemudian pindah memperkuat Leicester City dan menjadi juara Premier League pada musim kompetisi 2015-2016, dan mencatat sejarah dengan menjadi juara Piala FA 2020.

Schmeichel muda tidak kalah prestasi dibanding ayahnya. Ia tidak memperkuat klub empat besar liga Inggris, tetapi komplet merasakan juara kompetisi dan menjadi pemenang Piala FA yang menjadi kompetisi sepak bola paling tua di dunia.

Ketika Denmark mengejutkan dunia dengan menjadi juara Piala Eropa pada 1992 Schmeichel masih berusia enam tahun, belum cukup akil balig untuk memahami sepak bola. Namun, ia mewarisi kebanggaan itu dari bapaknya yang menjadi tulang punggung timnas Denmark.

Karena itu Schmeichel tidak takut oleh gertakan suporter Inggris. Ia juga tidak gentar melihat penampilan pemain-pemain Inggris, karena semua pemain timnas Inggris, mulai dari kiper sampai striker, sudah pernah dia hadapi di kompetisi.

Schmeichel menjadi palang pintu utama yang susah ditembus ketika Leicester mengalahkan Chelsea 1-0 di partai puncak Piala FA.

Karena itu Schmeichel tidak takut melihat gerakan Mason Mount, bintang Chelsesa yang menjadi bintang timnas Inggris.

Schmeichel juga tidak takut melihat Phill Foden, Luke Shaw, Jack Grealish, Raheem Sterling, maupun Harry Kane. Semuanya sudah pernah dia hadapi, dan dia hafal betul gerakan mereka.

Karena itu, pada pertandingan menentukan di semifinal Kamis dini hari (8/7), Schemeichel berada pada tingkat kepercayaan diri tinggi.

Denmark berhasil unggul terlebih dahulu lewat tendangan bebas ciamik Mikkel Damsgaard.

Inggris nyaris buntu tidak bisa menembus gawang Denmark. Hanya karena salah dalam memotong umpan tarik dari sisi kanan gawang hingga Kapten Simon Kjaer membuat own goal ke gawang Schmeichel.

Ketika pada menit-menit akhir Inggris mendapatkan penalti, Schmeichel tidak keder. Ia sudah hafal dengan tendangan Kapten Harry Kane. Ia berkonsentrasi penuh. Ia tatap mata Kane, ia perhatikan gerakan kakinya.

Suporter nakal Inggris mengganggunya dengan mengarahkan sinar laser ke muka Schmeichel, tetapi ia bergeming. Ketika Kane menggerakkan kaki menendang bola menyusur ke sisi kiri gawang, Schmeichel bergerak cepat. Ia bisa menahan tendangan Kane, tetapi bola memantul dan Kane lebih cepat menyambar sebelum Schmeichel bisa melakukan blok.

Wembley bergetar. Suporter berteriak bergemuruh. Pendukung Denmark tercekat. Harapan dan mimpi untuk mengulangi sejarah 1992 pupus sudah. Denmark harus pergi dari turnamen, tetapi kepala mereka tetap tegak terhormat.

Salah satu kejutan terbesar dalam pelaksanaan Piala Eropa terjadi ketika Denmark menjadi juara pada 1992. Di luar ramalan semua pandit Denmark bisa menjadi juara.

Padahal ketika itu Denmark tidak lolos babak kualifikasi. Namun, nasib baik membawa Denmark bermain di babak utama, karena timnas Yugoslavia terkena sanksi oleh UEFA, otoritas sepak bola Eropa, karena negara Balkan itu terlibat konflik perang internal.

Kejutan lainnya adalah timnas Yunani yang berhasil menjuarai Piala Eropa edisi 2004. Ini disebut sebagai "the biggest upset" kejutan besar, karena Yunani bisa mengalahkan tim favorit Jerman 1-0 di babak final.

Ketika itu belum ada istilah parkir bus untuk menggambarkan permainan bertahan total.

Kalau saja ketika itu istilah parkir bus sudah dipopulerkan oleh Jose Mourinho maka pertahanan Yunani bukan cuma disebut sebagai parkir bus, tetapi parkir kereta api, karena nyaris semua pemain Yunani bertahan di kotak penalti menahan gempuran pasukan lawan.

Mourinho sekarang menjadi pandit di televisi selama pelaksanaan Euro 2020. Setelah dipecat dari Tottenham Hotspur di pertiga terakhir musim kompetisi 2020 Mourinho langsung mendapat lamaran dari AS Roma. Sambil mengisi waktu sebelum balik kucing ke Seri A Liga Italia Mourinho menjadi komentator bola.

Mourinho mengatakan bahwa final Inggris melawan Italia adalah final ideal.

Ideal bagi siapa? Itulah pertanyaannya. Sepak bola tidak pernah sepi dari spekulasi sampai teori konspirasi. Hal itu sudah menjadi warna tak terpisahkan dalam sepak bola dunia maupun Eropa. Penunjukan tuan rumah Piala Dunia saja ada skandal, apalagi sekelas Piala Eropa, pasti skandal selalu ada.


Twitter@EURO2020

Michel Platini dan Franz Beckenbeauer, dua legenda sepak bola Eropa harus kena hukuman karena terlibat skandal. Mantan Ketua FIFA Sepp Blatter juga terlibat skandal dan harus berhadapan dengan proses hukum.

Karena itu wajar kalau muncul spekulasi bahwa tahun ini Inggris lebih banyak diuntungkan oleh UEFA.

Pertandingan final sudah ditetapkan akan diadakan di Wembley. Selama babak penyisihan Inggris memainkan lima pertandingan di Wembley, dan hanya sekali away ke Roma.

Kali ini, final di Wembley disebut sebagai final ideal karena sudah pasti akan penuh sesak oleh suporter timnas Inggris.

Sejarah akan menentukan apakah lagu "Football Coming Home" akan berkumandang di Wembley.

Atau, sebaliknya, suporter Italia akan bernyanyi, "Football Coming Rome". (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler