jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan calon presiden (Capres) nomor urut 3 di Pilpres 2024 Ganjar Pranowo yang pernah menjadi anggota DPR tentu saja memahami soal politik legislasi dan akan mengedepanpan kepentingan rakyat.
Lucius Karus menyampaikan hal itu, Selasa (9/1/2024) menanggapi pernyataan Ganjar yang bertekad tidak akan bergantung pada pimpinan parpol saat mengusulkan rancangan undang-undang UU ke DPR.
BACA JUGA: Orang Muda Ganjar Perbaiki Akses Jalan Untuk Mudahkan Masyarakat Beraktivitas
Sebelumnya, Ganjar menjawab pertanyaan terkait sulitnya pengesahan sejumlah UU yang diusulkan pemerintah ke DPR karena membutuhkan persetujuan pimpinan parpol. Salah satunya RUU Tentang Perampasan Aset.
Menurut Lucius, kehebatan seorang pemimpin terlihat dari bagaimana bisa mengatasi kepentingan kelompok untuk kepentingan rakyat.
BACA JUGA: Kehadiran Atikoh Ganjar di Pringsewu Bikin Sukarelawan Menitikkan Air Mata
“Kehebatan presiden justru bagaimana mengatasi kepentingan kelompok seperti parpol-parpol untuk sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat,” tegas Lucius.
Menurut dia, selama ini proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) sarat dengan kepentingan penguasa.
BACA JUGA: Gibran Minta Sukarelawan dan Simpatisan di Bali Bekerja Keras Menangkan Paslon 2
“Makanya disebut politik legislasi. Ya, kalau namanya politik, maka unsur-unsur utama dalam dunia politik mulai dari parpol hingga DPR, semuanya punya andil atau bisa dikatakan bergantung satu sama lain,” ujar Lucius.
Oleh karena itu, pembentukan RUU membutuhkan dukungan politik. Dengan demikian, tak bisa tidak, Presiden harus berkomunikasi dengan elite parpol di parlemen agar dapat mendorong RUU tertentu segera dibahas dan disahkan.
“Secara UU, Presiden enggak bisa ngegas sendiri karena UUD dan UU MD3 menyatakan bahwa kuasa pembentukan RUU itu ada di DPR. Tidak bisa Presiden mengabaikan DPR dan tentu saja Parpol,” ujar Lucius.
Dia mengatakan politik di Indonesia terkesan bukan berdasarkan ideologi, tetapi atas kepentingan. Konflik kepentingan akan menyetir presidennya.
“Yang menjadikan dia jadi presiden itu kepentingan dari parpol pengusung. Oleh karena itu, saat jadi presiden kepentingan parpol yang akan menyetirnya,” ungkap Lucius.
Namun, pada prinsipnya, presiden masih memiliki ruang untuk mengusulkan RUU yang prorakyat.
Ganjar misalnya, bisa berkaca bagaimana Presiden Jokowi di awal pemerintahannya begitu ‘powerful’ dalam mengusulkan RUU.
“Jadi, kalau Ganjar menyampaikan tekad untuk mengusulkan RUU tanpa bergantung pada pimpinan Parpol, ya, dia seharusnya bisa banyak belajar pada Jokowi,” ujar Lucius.
Demokratisasi Internal
Direktur Eksekutif RISE Institute Anang Zubaidy mengungkapkan kekuasaan pembentukan UU ada pada DPR. Namun demikian, pembahasan dalam pembentukan UU melibatkan pemerintah dan DPR.
“Kedua lembaga ini memiliki kedudukan yang setara (fifty-fifty) sehingga jika salah satu (pemerintah atau DPR) tidak setuju, maka UU tidak dapat disahkan," kata Dosen Hukum Tata Negara, FH Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Di sisi lain, persetujuan ketum parpol dalam pembentukan UU bergantung pada mekanisme internal partai.
"Bisa saja suatu parpol menetapkan standar kerja (semacam SOP) bahwa semua rencana pembentukan UU harus dibahas terlebih dahulu secara internal di parpol," tegasnya.
Pada titik itu, ketum parpol akan sangat menentukan suara kader partai yang berada di DPR.
"Terlebih jika di aturan internal parpol yang bersangkutan suara ketum parpol adalah absolut," tambahnya.
Jika hal itu terjadi, maka pemerintah akan kesulitan untuk menggolkan suatu undang-undang. Begitu pula, DPR juga tidak bisa bergerak sendiri untuk mengesahkan UU.
"Dengan demikian, tidak mudah bagi pemerintah (dalam hal ini presiden) dan juga anggota DPR untuk secara mandiri merumuskan suatu RUU, jika dominasi Ketum parpol masih sangat kuat. Dari situlah kembali pada pentingnya demokratisasi di internal partai politik," pungkas Anang.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari