Formula 1 dan Austin, Ibu Kota Texas yang Bangga Disebut Aneh (2)

Biaya Hotel Melangit, Pilih Menginap di Luar Kota

Selasa, 20 November 2012 – 00:02 WIB
AMBASSADOR SIRKUIT: Azrul Ananda bersama Mario Andretti, legenda balap mobil dunia yang menjadi duta Circuit of the Americas. Foto: Agus Wahyudi/Jawa Pos

Circuit of the Americas adalah lintasan yang menawan. Kota Austin sebenarnya juga nyentrik-asyik. Namun, kota itu mungkin belum siap menerima kedatangan ratusan ribu turis berduit penggemar F1. Berikut laporan AZRUL ANANDA, AGUS WAHYUDI dan ANTON HADIYANTO dari Austin, AS

= = = = = = = = = = = = = =


MENGAPA Austin untuk Formula 1? Pertanyaan itu terus disampaikan banyak orang. Malah mungkin oleh orang di Amerika, bukan oleh penggemar F1 yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Bukankah ada kota-kota yang lebih hebat di Amerika? Di Negara Bagian Texas saja, ada tiga kota lain yang lebih besar: Dallas, San Antonio, dan Houston.

Tapi, bukan berarti ini meremehkan Austin. Bagaimanapun, mereka sudah keluar banyak uang (swasta maupun pemerintah), sudah banyak berantem (soal investasi dan lain-lain), untuk mendatangkan F1.

Kurang lebih, pemerintah setempat membayar biaya hak penyelenggaraan F1 sepuluh tahun ke depan (kabarnya USD 30 juta atau Rp 300 miliar per tahun). Sedangkan pihak swasta membangun lintasan dan menyelenggarakan lomba.

Dan Austin mungkin cocok untuk turis/penonton F1. Kota itu dikenal unik dan "berkarakter".
Di tengah-tengah Negara Bagian Texas yang banyak dipandang "katrok", kota itu justru sangat gaul dan liberal. Ketika Partai Republik (dikenal konservatif) meraih kemenangan secara umum di Texas, Partai Demokrat (condong liberal) justru sangat kuat di Austin. Ironis, mengingat Austin adalah ibu kota pemerintahan Texas!

Mungkin karena komposisi masyarakatnya (Austinites) yang sangat heterogen. Ada banyak pekerja pemerintahan. Ada banyak warga perguruan tinggi yang datang dari luar negeri atau berbagai penjuru Amerika (University of Texas terletak di downtown Austin). Ada banyak musisi. Dan ada banyak karyawan perusahaan modern (teknologi serta pharmaceutical).

Austin sendiri mempromosikan diri sebagai Ibu Kota Live Music Dunia. Setiap tahun ada dua event musik raksasa di sana, Austin City Limits dan South by Southwest, mendatangkan bintang-bintang terbesar dari berbagai penjuru dunia.

Secara tidak resmi, Austin punya slogan Keep Austin Weird. Tulisan tersebut dan suvenir-suvenir bertulisan itu bisa dengan mudah didapat sejak kita mendarat di Austin-Bergstrom International Airport.

"Ayo Jaga Keanehan Austin‚" itu memang bikin geleng-geleng kepala. Dan ada situs resminya. Isinya menyampaikan bahwa "keanehan" bukan sekadar lewat sikap dan gaya hidup. Melainkan juga lewat hal-hal unik yang bisa didapati kalau kita rajin keliling kota berwarga sekitar 800 ribu orang tersebut.

Oh, ada satu lagi yang menarik: Austin dikenal punya udara bersih karena termasuk paling ketat dalam menerapkan aturan no smoking! Bukan hanya dilarang merokok di dalam gedung. Di sekitar pun ada aturannya. Sebuah toko sepeda di downtown, misalnya, memasang tulisan larangan merokok hingga jarak 15 kaki (hampir 5 meter) dari batas gedung.
***
Bila Austin adalah kota yang menarik untuk dikunjungi, infrastrukturnya mungkin masih terkaget-kaget dengan sambutan untuk Grand Prix Amerika Serikat akhir pekan ini.

Diperkirakan ada 300 ribu orang keluar masuk Circuit of the Americas (COTA) selama akhir pekan lomba (termasuk pengulangan). Sebanyak 100 ribu sampai 120 ribu di antaranya tumplek bleg pada hari Minggu, saat lomba diselenggarakan.

Ketika babak latihan hari Jumat saja (16/11), puluhan ribu orang sudah terlihat memadati tribun-tribun COTA. Jumlah yang membuat banyak pihak terkagum-kagum. Termasuk Mario Andretti, legenda balap dunia yang jadi ambassador COTA. "Luar biasa, luar biasa, luar biasa," komentar Andretti, yang kini 72 tahun, Jumat itu.

Pria yang pernah jadi juara dunia F1, juara NASCAR, juara Indy 500, dan lain-lain itu sampai kehabisan kata-kata. Magnet penonton jadi semakin kuat, mengingat GP AS tahun ini bisa menjadi ajang kunci gelar. Yaitu bila Sebastian Vettel (Red Bull-Renault) mengakhiri lomba dengan total poin 25 lebih banyak atas Fernando Alonso (Ferrari).

Apa saja yang terkaget-kaget? Pertama, hotel. Total, disebut ada 32 ribu kamar hotel di seluruh kawasan Austin. Rupanya, jumlah itu tidak cukup atau kurang menarik karena harganya yang gila-gilaan.

Akhir pekan ini, sangat sulit menemukan kamar hotel dengan harga di bawah USD 400 (Rp 4 juta) semalam. Termasuk yang bintang 2 atau bintang 3. Mau hotel terbaik di downtown? Tarifnya sampai lebih dari USD 1.500 (Rp 15 juta semalam). Harga itu kira-kira tiga kali lebih besar daripada harga normal.

Karena hotel di Austin penuh atau kemahalan, banyak orang yang memilih menginap di kota-kota sekitar. Termasuk rombongan media. Agnes Carlier, wartawan Prancis yang sudah puluhan tahun keliling dunia meliput F1 (dan sempat bekerja untuk tim F1), termasuk salah satu yang memilih menginap di San Antonio. "Karena harga hotel di sana lebih masuk akal," ucap dia.

Setiap pagi, Carlier naik mobil dari San Antonio ke COTA, yang jaraknya sekitar 120 km. Sore atau malam, balik lagi dari COTA ke San Antonio.

Jarak 120 km masih lumayan. Tidak sedikit yang harus menginap di Houston, yang jaraknya lebih dari 250 km dari Austin! Kalau naik mobil, butuh tiga jam dari Houston menuju Austin (dan sebaliknya).

Yang terkaget lain: bisnis sewa mobil. Di Amerika, punya mobil seperti kewajiban. Ke mana-mana ada highway. Akhir pekan ini, tidak ada satu pun mobil sewaan tersedia di Austin. Bahkan, sudah tidak ada satu pun mobil sewaan tersedia hingga San Antonio!

Tanpa mobil, para penonton (khususnya dari luar Amerika) harus siap-siap repot. Harus siap-siap juga banyak jalan kaki.

Kalau mau taksi, Austin punya banyak. Tarifnya pun relatif wajar untuk ukuran Amerika. Pada hari normal, dari bandara ke downtown hanya sekitar USD 25 atau Rp 250 ribu. Kurang lebih sama dengan dari Bandara Soekarno-Hatta ke arah tengah kota Jakarta. COTA terletak di sebelah bandara Austin, jadi seharusnya tarif tidak terlalu beda. Itu seharusnya.

Kenyataannya, taksi bukanlah kendaraan ideal ke sirkuit. Pertama, jumlahnya mungkin terlalu sedikit. Jumlahnya mungkin tak sampai 1.000 unit untuk seluruh kota. Perusahaan taksi terbesar, Yellow Cab, hanya punya 450-an unit.

Untuk memenuhi kebutuhan ratusan ribu penggemar F1, khususnya saat lomba hari Minggu, jelas jumlah itu "mengerikan" kurangnya. Andai naik taksi pun, penonton tidak akan dapat kenyamanan ekstra. Khususnya saat tiba di lintasan.

Untuk lomba pertama itu, penyelenggara -dan sepertinya pemerintah setempat- benar-benar ketat dalam menerapkan banyak aturan. Bahkan bisa dibilang overprotective.

Di jalan menuju sirkuit, mobil polisi terlihat stand by di mana-mana. Juga ada mobil sheriff, park rangers, bahkan kendaraan militer.

Tidak semua mobil boleh masuk ke kawasan COTA. Mobil tidak boleh sembarangan menurunkan penumpang di kawasan COTA. Kalau naik taksi, ada tempat khusus yang disiapkan untuk menurunkan penumpang. Hebatnya, tempat khusus itu merupakan tanah berkerikil. Belum diaspal sama sekali.

Hebatnya lagi, letaknya bukan di dekat pintu masuk. Dari tempat taksi berhenti, orang harus berjalan sekitar 1 mil (setara 1,6 km) untuk menuju pintu masuk COTA. Plus berjalan jauh lagi menuju tribun masing-masing yang mengelilingi sirkuit sepanjang 5,5 km tersebut.

Kalau tidak mau naik taksi, sebenarnya sudah disiapkan jalur khusus. Dengan membayar flat fee USD 40 (Rp 400 ribu) sepanjang akhir pekan, penonton bisa pulang pergi dari hotel masing-masing dengan naik shuttle van.

Setiap pagi, mulai pukul 07.00, ada shuttle van yang menjemput penumpang di hotelnya. Kendaraan itu lantas menuju ke dua tempat pengumpulan penonton yang sudah ditetapkan. Lantas, semua penonton diangkut dengan bus ke COTA.

Puluhan, mungkin ratusan, bus dikerahkan akhir pekan ini. Dari dua lokasi (satu di downtown, satu di pinggir kota), orang boleh naik secara gratis ke sirkuit. Syaratnya hanya satu: punya tiket menonton.

Tapi, letak turunnya penumpang bus-bus itu juga tak jauh dengan tempat taksi berhenti. Jadi, tetap harus jalan kaki sekitar 1,6 km menuju pintu masuk sirkuit.

Jumat pagi lalu (16/11), menjelang babak latihan GP AS, seorang penonton sempat nyeletuk ke petugas bahwa sistem itu sangat rawan komplain. "Bagaimana kalau yang naik taksi itu orang cacat?"

Sang petugas tak bisa menjawab. Itu sama dengan reaksi hampir semua petugas yang akhir pekan ini bekerja di COTA. Mereka pun bingung harus berbuat apa dan bingung apa saja yang sebenarnya ada di COTA.

Jumat sore, ketika puluhan ribu penonton ingin pulang, situasi lebih menyeramkan lagi. Antrean bus memanjang sampai lebih dari 3 km. Ya, sampai 3 kilometer! Untung tertib, untung lancar. Untung ada buanyak sekali bus. Walau panjang, penonton "hanya" butuh 45 menit antre sebelum naik bus.

Sama dengan berangkat, ada dua antrean bus. Menuju dua tempat pemberhentian yang berbeda. Satu di downtown, satu di pinggiran. Dari tempat turun itu, penonton yang menginap di hotel kembali naik shuttle van atau naik kendaraan lain. Banyak orang yang membawa mobil memang disarankan parkir di sekitar tempat pemberhentian bus. Sebab, jumlah mobil yang boleh ke arah sirkuit memang sangat dibatasi.

Untungnya lagi, Austinites dikenal ramah. Semua pertanyaan dan komplain dijawab dengan sangat ramah. Semua kendala mereka coba atasi walau kadang tak tahu harus berbuat apa.

Warga Austin sendiri, mulai sopir taksi, pemilik restoran, sampai pengelola hotel, sudah sadar bahwa akhir pekan ini bakal chaos. Harapannya, untuk semua masalah itu, bisa ditemukan solusi sehingga tahun depan segalanya jauh lebih mulus.

Bagaimanapun, warga Austin dan sekitar tentu ingin para turis itu kembali tahun depan, juga seterusnya. Kalau bisa, sampai akhir kontrak GP AS di COTA, yang panjangnya sepuluh tahun.

Diperkirakan para penonton F1 itu datang dan menghabiskan duit total USD 300 juta (Rp 3 triliun) selama di Austin. Dampak ekonomi yang tidak boleh dianggap enteng. (bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Novi Amalia, Model Berbikini Penabrak Tujuh Pejalan Kaki yang Tengah Pulang Kampung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler