jpnn.com - Tiga event olahraga itu sedang ramai diperbincangkan. Bukan hanya unsur olahraganya yang membikin heboh, tetapi ada unsur politik yang membuat Formula E, PON Papua, dan Sirkuit Mandalika ramai jadi perbincangan publik.
Formula E rencananya bakal digelar Juni 2022 di Jakarta. Balapan ini akan menjadi gelaran balapan mobil Grand Prix internasional pertama yang diselenggarakan di Indonesia.
BACA JUGA: Semifinal Basket PON Papua: Sempat Tertinggal, DKI Jakarta Hantam Jawa Timur
Formula E belum populer seperti Formula 1. Namun, balapan ini sudah makin populer di dunia dan seri balapannya digilir di berbagai kota dunia, mulai dari Eropa, Amerika, sampai Asia.
Formula E memakai mobil listrik untuk balapan. Ajang ini memang belum memunculkan selebritas pembalap legendaris sekelas Michael Schumacher atau Lewis Hamilton dari Formula One.
BACA JUGA: Bedah Fakta Formula E Versi Pemprov DKI, Politikus PDIP Berkali-Kali Pakai Kata Bohong
Namun, balapan ini makin populer dan punya potensi bisa menyalip Formula One, seiring dengan kian populer penggunaan mobil listrik.
Mungkin kalau dibandingkan dengan kompetisi sepak bola, Formula One ibarat Liga Champions dan Formula E levelnya seperti Liga Europa.
BACA JUGA: Konon Pemprov DKI Sudah Habis Triliunan untuk Formula E, Bagaimana Faktanya?
Liga Champions menjadi kompetisi kasta tertinggi dan Liga Europa menjadi ajang pertarungan kelas dua.
Sekarang ini Formula E masih sekelas Liga Europa. Namun, Formula E dan Formula One bisa saling bersaing bebas karena dikelola oleh otoritas yang berbeda.
Meskipun sama-sama dipayungi oleh Federasi Otomotif Internasional (FIA), tetapi Formula One dan Formula E adalah dua jenis balapan yang berbeda dengan aturan dan jenis mobil yang beda. Karena itu dua event itu saling bersaing satu dengan lainnya.
Indonesia masih ketinggalan dari banyak negara lain dalam penyelenggaraan balapan Formula One. Negara tetangga Singapura sudah terlebih dahulu sukses dengan menggelar seri Grand Prix Formula One sejak 2017, dengan kekhasan balapan pada malam hari.
Lintasan sirkuit yang memakai jalan-jalan kota menjadi daya tarik khas GP Singapura.
Malaysia juga sudah jauh meninggalkan Indonesia sebagai tuan rumah balapan internasional. Sirkuit Sepang di Selangor sudah menggelar balapan internasional sejak 1999.
Berbagai gelaran Grand Prix internasional secara berkala dihelat di Sepang, mulai dari Formula 1 sampai balapan MotoGP.
Dibanding dua negara tetangga itu Indonesia jauh ketinggalan. Indonesia baru mulai mengejar ketertinggalan dengan membangun sirkuit balap di Mandalika, NTB.
Untuk ajang Formula 1, Indonesia masih belum masuk hitungan, karena belum ada sirkuit yang memenuhi syarat. Karena itu, rencana balapan Formula E bisa menjadi alternatif strategis untuk mengejar ketertinggalan dari negara jiran.
Namun, penyelenggaraan Formula E malah menjadi ajang persaingan politik. Gagasan Anies Baswedan ini tidak dilihat sebagai terobosan profesional di bidang sport industry dan sport tourism.
Gagasan ini malah diadang oleh berbagai manuver politik yang tidak ingin melihat perhelatan ini berlangsung di Indonesia.
Dibanding dua negara jiran, perlakuan pemerintah Indonesia terhadap Formula E beda 180 derajat. Singapura menjadikan ajang Formula 1 sebagai proyek nasional yang mendapat dukungan penuh dari Perdana Menteri B.G Lee.
Malaysia menjadikan Sirkuit Sepang sebagai proyek nasional untuk meningkatkan turisme internasional melalui industri olahraga. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad yang berkuasa saat itu, menjadikan proyek Sepang sebagai upaya Malaysia untuk menyejajarkan diri dengan negara-negara maju dunia.
Di Indonesia, Anies Baswedan malah diganjal dengan berbagai isu dan manuver politik. Pemerintah Presiden Joko Widodo, alih-alih membantu, malah terkesan ikut mengganjal proyek besar ini.
Sejak awal, berbagai kendala muncul dari pemerintah pusat mulai dari urusan administratif sampai berbagai aturan yang bersifat teknis.
Perkembangan terbaru, pemerintah pusat secara resmi melarang area Monas dan sekitarnya dipakai sebagai sirkuit balapan, dengan alasan area itu merupakan wilayah cagar budaya.
Pelaksanaan balapan di area itu dikhawatirkan akan merusak keaslian cagar budaya.
Aroma politik terasa lebih menyengat dibanding pertimbangan profesional. Balapan Formula E akan disiarkan live ke seluruh dunia oleh berbagai stasiun televisi internasional dan ditonton oleh puluhan juta viewers.
Ajang ini akan menjadi promosi gratis bagi Jakarta dan Tugu Monas untuk bisa makin dikenal di dunia. Namun, pemerintah pusat tidak melihat potensi itu, dan sirkuit balapan harus dipindah ke lokasi lain.
Ganjalan lain yang bersifat politis masih bermunculan. Gerakan interpelasi oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) secara formal sudah gagal, tetapi gerakan untuk mengadang perhelatan ini masih tetap berlangsung melalui berbagai gerakan pembentukan opini publik di berbagai media.
Alasan utama yang dipakai untuk mengadang Formula E adalah soal biaya penyelenggaraan. Uang commitment fee Rp 560 miliar dipersoalkan. Biaya penyelenggaraan Rp 150 miliar per tahun juga disorot karena dianggap sebagai pemborosan.
Para penentang Formula E menyebut proyek ini menghamburkan uang rakyat di tengah kondisi pandemi. Anggota DPRD dari PSI Tina Toon dengan penuh semangat melakukan interupsi dengan mengatakan bahwa pelaksanaan Fomula E tidak membuat rakyat kenyang.
Tina Toon lebih dikenal publik sebagai penyanyi Bolo-Bolo ketimbang sebagai politisi. Pernyataan Bolo-Bolo itu bisa menjadi bumerang.
Bagaimana dengan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua yang menelan biaya triliunan, apakah bisa membuat rakyat Papua kenyang? Bagaimana dengan pembangunan Sirkuit Mandalika yang mahal dan mengorbankan tanah rakyat, apakah bisa membuat rakyat kenyang?
Masyarakat Indonesia ikut berbangga dan berbahagia dengan penyelenggaraan PON Papua yang semarak dan bergairah.
Papua yang selama ini ketinggalan dalam berbagai pembangunan, akhirnya bisa mengejar ketertinggalan. Papua berhasil membuktikan diri mampu menjadi penyelenggara event nasional yang berkelas internasional.
Semua bangga dengan Stadion Lukas Enembe yang disebut paling megah di Asia-Pasifik. Rakyat Papua bangga dengan Sport Complex di Mimika yang lengkap dan canggih serta berkelas internasional.
Kebanggaan itu tidak ternilai harganya, sehingga masyarakat tidak mempermasalahkan biaya triliunan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Semua mafhum, gelaran PON bukan sekadar gelaran olahraga, tetapi sekaligus ajang politik dan gerakan public relation internasional.
Indonesia ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Papua sejajar dengan daerah lainnya. Tidak ada diskriminasi, tak ada eksploitasi. Untuk itu pemerintah Indonesia rela mengeluarkan triliunan rupiah.
Proyek Sirkuit Mandalika, semua tahu, banyak mendapatkan protes dari masyarakat sekitar. Banyak rakyat yang merasa dirugikan karena tanahnya digusur untuk pembangunan sirkuit.
Para aktivis lingkungan memprotes pembangunan yang dianggap membahayakan lingkungan. Media internasional mengecam proyek itu karena ada indikasi pelanggaran HAM.
Problem-problem itu cukup serius, tetapi pemerintah menunjukkan tekad dan dukungan penuh, karena Sirkuit Mandalika akan menjadi salah satu yang terbaik di Asia, dan akan mampu mengejar ketertinggalan dari negara lain, termasuk Malaysia.
Perhelatan PON Papua, Sirkuit Mandalika, atau Formula E, tidak membuat rakyat kenyang, seperti kata Tina Bolo-Bolo.
Namun, perhelatan itu meningkatkan indeks pembangunan manusia yang menjadi indikator penting kebahagiaan manusia Indonesia. Tiga proyek besar itu layak mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah pusat dan seluruh masyarakat Indonesia.
Tina Toon harus mengubah lirik lagunya: PON Papua Bolo-Bolo, Sirkuit Mandalika Bolo-Bolo, Formula E Bolo-Bolo… (*)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror