FPDR Desak KPU Laksanakan Putusan MK Soal Ambang Batas dan Usia Calon Kepala Daerah

Kamis, 22 Agustus 2024 – 14:14 WIB
Ketua Umum F-PDR Marsekal (Purn) TNI Agus Supriatna di Sekretariat F-PDR, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/4). Foto: Aristo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Forum Penyelamat Demokrasi dan Reformasi (FPDR) Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Kedua Putusan MK yang mengatur tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas usia minimal calon kepala daerah di Pilkada 2024 itu dibacakan pada Selasa (20/8/2024).

BACA JUGA: Merespons Putusan MK, Megawati Umumkan Calon Kepala Daerah Gelombang Kedua Besok, Ada Jakarta?

"KPU wajib hukumnya untuk melaksanakan Putusan MK 60/2024 dan 70/2024, alih-alih melaksanakan hasil revisi UU Pilkada yang cuma akal-akalan DPR," kata Agus Supriatna di Jakarta, Kamis (22/8/2024).

Sebab, kata Agus, sesuai amanat Pasal 24C ayat (2) bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat, pertama dan terakhir, yang harus dilaksanakan saat itu juga atau pada saat dibacakan.

BACA JUGA: Daftar Calon Kepala Daerah yang Diusung NasDem di Pilkada Jabar 2024, Ada Publik Figur

"Jadi, tak ada upaya hukum lain seperti banding dan sebagainya. Harus serta-merta dilaksanakan," cetus Agus yang juga Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) 2015-2017.

KPU selaku pelaksana hukum (self regulatory bodies), lanjut Agus, wajib hukumnya melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu, sehingga lembaga penyelenggara pemilu ini ia minta segera menerbitkan revisi Peraturan KPU No 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, untuk menyesuaikan dengan kedua Putusan MK tersebut.

BACA JUGA: PAN Deklarasikan Calon Kepala Daerah di Banten, Berikut Daftar Lengkapnya

Apalagi, kata Agus, Putusan MK yang serta-merta berlaku juga sudah ada yurisprudensinya, yakni Putusan No 90/PUU-XI/2023 tertanggal 16 September 2023 yang memberikan karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024.

Begitu pun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menurut Agus, sesuai desain lembaga penyelenggara pemilu harus melaksanakan fungsi "checks and balances" demi memastikan Putusan MK dilaksanakan oleh KPU.

"Jika KPU dan Bawaslu tidak melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana diperintahkan UU, DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, red), berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat, seharusnya memberikan sanksi maksimal atas tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu demokratis. Putusan MK itu setara UU," tukasnya.

Sanksi tersebut, menurut Agus, harus dijatuhkan mengingat pembangkangan terhadap putusan MK merupakan pelanggaran terhadap hak warga negara untuk mendapatkan banyak pilihan pasangan calon.

"Indonesia adalah negara hukum yang ditopang sistem politik demokrasi. Artinya, penyelenggara pemilu harus patuh terhadap peraturan perundang-undangan dan putusan lembaga peradilan,.dalam hal ini MK," terangnya.

Sekretaris Jenderal FPDR Rudi S Kamri menambahkan, langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR merevisi Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berlangsung sangat singkat, kurang dari 7 jam, adalah akal-akalan DPR saja untuk menganulir dua Putusan MK yang sudah sangat bagus untuk kemajuan demokrasi di Indonesia serta untuk menjaga marwah gerakan Reformasi 1998. 'Jadi, abaikan saja hasil revisi UU Pilkada oleh DPR," jelas Rudi yang juga pengamatan sosial politik.

"Jika KPU mengikuti UU Pilkada hasil revisi DPR yang dibahas untuk menandingi putusan MK, maka Indonesia masuk dalam situasi krisis konstitusional. Tindakan KPU dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 pun akan inkonstitusional," lanjutnya.

Rudi juga mengingatkan di dalam hukum ada asas "lex posterior derogat legi priori", yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex priori). "Asas inilah yang mestinya dijadikan acuan Baleg DPR," sarannya.

Jadi, tegas Rudi, mestinya yang diakomodasi Baleg DPR adalah Putusan MK No 70/2024 yang dibacakan Majelis Hakim MK pada 20 Agustus 2024, dan mengesampingkan Putusan MA No 23P/2024 yang diputuskan pada 29 Mei 2024, bukan sebaliknya.

Rabu (21/8/2024) kemarin, Baleg dalam rapatnya memutuskan untuk menolak menjalankan Putusan MK No 70/PUU-XXII/2024 soal syarat usia minimum calon kepala daerah dan mengakali Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.

Baleg justru mengakomodir Putusan MA No 23P/HUM/2024 yang diputus tanggal 29 Mei 2024 yang menyatakan calon kepala daerah dihitung usiamya pada saat pelantikan calon terpilih.

Ditolaknya putusan MK soal syarat usia minimum calon kepala daerah itu dapat menjadi karpet merah untuk Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, yang digadang-gadang akan maju pada Pilkada 2024.

Kaesang dapat memenuhi syarat tersebut karena pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 akan dilakukan pada 2025, setelah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu berulang tahun ke-30 pada 25 Desember 2024 nanti.

Sementara itu, Baleg DPR memutuskan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen.

Hal ini akan memperbesar peluang terwujudnya pasangan calon tunggal melawan kotak kosong di pilkada serentak di seluruh Indonesia tahun ini.(ray/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler