FPI Dibubarkan Pemerintah, Komunitas Sarjana Hukum Muslim Gunakan Istilah Diktator

Kamis, 31 Desember 2020 – 11:40 WIB
Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI Chandra Purna Irawan. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) angkat bicara merespons keputusan pemerintah membubarkan dan melarang kegiatan organisasi Front Pembela Islam (FPI).

Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI Chandra Purna Irawan dalam keterangan tertulis yang diterima jpnn.com, Kamis (31/12), menyampaikan tiga pendapat hukum terkait kebijakan pemerintah itu.

BACA JUGA: Munarman Dkk Membentuk FPI Baru, Ferdinand Meradang

"Pertama, saya mengutuk keras pembubaran Front Pembela Islam karena menyampaikan pendapat, gagasan, berserikat dan berkumpul adalah hak asasi manusia yang bersifat bawaan/fitrah," kata Chandra.

Dia mengatakan bahwa hak asasi bawaan/fitrah itu akan tetap ada atau melekat atau dilakukan manusia meski tidak ada negara sekalipun.

BACA JUGA: Terjerat Kasus Video 19 Detik bersama Gisel, Michael Langsung Tulis Pesan Begini di Instagram

Oleh karena itu, tegas Chandra, hak tersebut tidak boleh dicabut oleh siapa pun termasuk negara sekalipun.

Sementara keberadaan konstitusi adalah untuk menjamin hak tersebut. Suatu negara berdiri dikarenakan rakyat sepakat, menyerahkan, mewakilkan urusannya dan kekuasaannya kepada seseorang yang dipilih.

BACA JUGA: FPI Dibubarkan Pemerintah, Habib Rizieq Siap Melawan

"Inilah yang disebutkan dengan teori kontrak sosial," ucap ketua LBH Pelita Umat itu.

Kedua, KSHUMI berpendapat bahwa hak menyampaikan pendapat, gagasan, berserikat dan berkumpul tersebut boleh diambil setelah melalui proses pembuktian di pengadilan secara adil, tidak memihak dan memiliki kesempatan yang sama.

Dalam hal ini, kata Chandra, prosesnya harus mengedepankan due process of law atau seseorang yang dituduh diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan atas segala tuduhan. Sedangkan orang yang menuduh wajib membuktikan tuduhannya.

"Apabila tidak melakukan hal demikian, hal tersebut dikhawatirkan melakukan perbuatan diktator atau tindakan sewenang-wenang dan melampaui kewenangan," tegas Chandra.

Chandra berpendapat bahwa hal itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil.

Ketiga, Chandra menyitir Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Nah, Chandra menegaskan bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 itu merupakan pijakan dasar dan perintah konstitusi untuk menjamin setiap warga Negara, untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dapat diwujudkan dengan baik.

"Posisi dan kedudukan seseorang di depan hukum (the equality of law) ini menjadi sangat penting dalam mewujudkan tatanan sistem hukum serta rasa keadilan masyarakat," pungkas Chandra.(fat/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler