FPI Tempuh Jalur Hukum, HNW Ingatkan Ini ke Pemerintah

Kamis, 31 Desember 2020 – 13:15 WIB
Hidayat Nur Wahid. Foto Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Dr HM Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi sikap tim hukum Front Pembela Islam (FPI) menyiapkan langkah hukum sesuai arahan Habib Rizieq Shihab. Hal itu menyikapi terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) pelarangan kegiatan, penggunaan atribut dan menghentikan kegiatan FPI.

Karena itu, HNW berharap pengadilan, dalam hal ini PTUN, dan pemerintah harus membuktikan dan mengedepankan ketaatan pelaksanaan ketentuan hukum dan konstitusi dalam kasus ini.

BACA JUGA: Fadli Zon: Selamat atas Lahirnya Front Persatuan Islam

Apalagi, ia berujar, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mengingatkan bahwa pelarangan organisasi kemasyarakatan (ormas) harus sesuai konstitusi.

Sementara, lanjut dia, penerbitan SKB larangan dan penghentian kegiatan FPI itu dinilai oleh Koalisi Masyarakat Sipil seperti LBH, KontraS, PSHK, dan LBHPers, sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.

BACA JUGA: Peringati Hari HAM Sedunia, HNW: Jangan Hanya Seremonial, Usut Tuntas Penembakan 6 Laskar FPI

“Upaya hukum FPI itu sejalan dengan konstitusi dan komitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat). Karena itu setiap tindakan penyelenggara negara harus berbasis kebenaran dan keadilan hukum," kata Hidayat dalam siaran persnya, Kamis (31/12).

Karena itu, Hidayat mengatakan pemerintah juga harus mengimbangi langkah hukum FPI dengan komitmen penegakan hukum dan konstitusi. Ia menjelaskan, dulu FPI tidak mendapatkan surat keterangan terdaftar (SKT) karena belum memperoleh rekomendasi dari Kemeterian Agama (Kemenag).

BACA JUGA: FPI Dibubarkan Pemerintah, Komunitas Sarjana Hukum Muslim Gunakan Istilah Diktator

“Nyatanya, Menteri Agama Fachrul Razi telah memberikan rekomendasi perpanjangan SKT pada 29 November 2019 karena FPI telah berkomitmen kepada Pancasila dan NKRI,” ungkapnya.

Ia menyayangkan aturan main dalam kasus penghentian dan pelarangan kegiatan FPI, yakni UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017, yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang sangat jauh dari prinsip negara hukum, demokrasi dan HAM.

Dalam UU Ormas tersebut, kata dia, sanksi yang dijatuhkan terhadap ormas bisa dilakukan tanpa melewati proses peradilan. Dia menegaskan bahwa ini salh satu ciri negara kekuasaan, dan bukan ciri dasar negara hukum.

“Padahal di UU Ormas sebelumnya (UU 17/2013) pemberian sanksi harus melewati mekanisme proses peradilan," tegasnya.

HNW menyatakan Pasal 65 UU No 17/2013 menyebutkan bahwa penghentian sementara kegiatan suatu ormas wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (MA).

"Sayangnya, di UU Ormas perubahan (UU 16/2017) yang berasal dari perppu yang diteken oleh Presiden Jokowi ketentuan itu dihapuskan,” ujarnya.

HNW mengatakan sumber utama persoalan ormas di Indonesia akhir-akhir ini adalah perppu tersebut karena tidak lagi melibatkan pengadilan dalam pemberian sanksi. Menurut dia, sebenarnya sudah banyak penolakan terhadap Perppu Ormas tersebut, seperti dari Partai Gerindra, PAN, PKS, dan sejumlah organisasi atau aktivitas HAM. 

"Jadi, sudah sepatutnya, momentum FPI ini bisa mendorong DPR, masyarakat peduli HAM dan demokrasi, bahkan pemerintah bila berkomitmen menguatkan negara hukum dan demokrasi agar UU Ormas bisa segera direvisi untuk lebih menonjolkan ciri negara hukum, demokratis dan peduli HAM,” ujarnya.

Lebih lanjut HNW menilai langkah FPI menempuh jalur hukum itu juga sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Ormas.

Dia menjelaskan dalam putusan nomor 2/PUU-XVI/2018, MK menyebutkan bahwa meski proses pengadilan sebelum penjatuhan sanksi ormas dihapuskan, tetapi bukan berarti pihak yang keberatan dengan surat keputusan (SK) penjatuhan sanksi tidak bisa membawa kasus itu ke pengadilan.

"Opsi menggugat ke PTUN masih tersedia. Jadi langkah FPI sudah tepat. Kita semua harus sama-sama mengedepankan proses hukum,” ujarnya.

Karena itu, HNW berharap hakim PTUN dan pemerintah juga bisa melihat kasus ini secara jernih. Selain itu, bisa memastikan bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi dan harus dihormati oleh penyelenggara negara.

HNW berharap pemerintah dapat mengimbangi langkah FPI dengan mengedepankan prinsip negara hukum dan demokrasi ini. Menurut HNW, bila eks anggota FPI ingin mendirikan ormas baru sesuai undang-undang, seharusnya tidak dihalang-halangi oleh pemerintah.

"Apalagi, para eks anggota FPI itu diakui oleh masyarakat luas dengan banyaknya aksi positif dan kegiatan konkret membantu pemerintah dan masyarakat, seperti saat FPI membantu korban bencana, tanpa membedakan SARA, dalam semangat pengabdian dan bingkai NKRI serta Pancasila,” ujarnya.

Nah, kata dia, kini eksponen FPI sudah mendeklarasikan ormas Front Persatuan Islam. Deklaratornya tegas menyampaikan bahwa Front Persatuan Islam didirikan dengan semangat damai, untuk melanjutkan perjuangan bela agama, bangsa dan negara, sesuai Pancasila dan UUD 1945.

"Kegiatan positif oleh ormas seperti ini harusnya tidak dihambat lagi oleh pemerintah,” pungkasnya. (*/jpnn)

 

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler