“Masyarakat kita lebih banyak menyerap budaya populer dari luar dengan kemampuan terbatas,” kata Hanif dalam dialog “Quo Vadis Kebudayaan Indonesia” di ruang Fraksi PKB di DPR, Kamis (29/11).
Menurutnya, saat ini Bangsa Indonesia juga mendapatkan tantangan besar dalam hal kebudayaan. Ia menyebut terjadi fundamentalisme agama sebagai contohnya. “Ini memunculkan partikularisme politik dan ini menjadi masalah,” kata Hanif.
Tantangan lain, kata Hanif, saat ini budaya juga sudah mengabdi kepada pasar. Jika dulu kesenian tidak bisa dipisahkan dari rakyat, kini malah sebaliknya. “Rakyat tidak memiliki akses dengan proses kebudayaan yang sedang berlangsung,” imbuhnya.
Ia menambahkan, hal ini terjadi di semua ranah dan menyebabkan terjadinya degradasi nilai. Karenanya, lanjut Hanif, masalah-masalah itu harus disiasati. Salah satunya dengan pembentukan Rancangan Undang-undang Kebudayaan.
Kendati tidak mudah, Hanif meyakini RUU ini untuk mengatur dan membuat mudah dalam mengatasi masalah kebudayaan. Hanif mengatakan, ada dua hal pokok yang harus dipastikan dalam RUU Kebudayaan itu.
"Pertama, RUU Kebudayaan harus menegaskan jaminan terhadap kebebasan yang sudah ada dalam konstitusi. Jangan sampai dengan adanya RUU Kebudayaan ini orang jadi merasa dibatasi, kreativitasnya memeroleh kendala struktural dari negara,” ujar Hanif.
Hal kedua adalah peran atau fasilitasi pemerintah dalam proses kebudayaan yang ada di masyarakat juga harus jelas. "Dengan RUU ini diharapkan pemerintah lebih menegaskan posisinya dari proses kebudayaan yang ada di Indonesia," pungkasnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dirut Merpati Bungkam, Anggota DPR Geram
Redaktur : Tim Redaksi