jpnn.com, JAKARTA - Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencabut izin perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 171/2009 lahan seluas 854 hektare yang diberikan kepada PTPN II Deli Serdang. Pasalnya, HGU tersebut menjadi sumber konflik agraria yang banyak merugikan warga Deli Serdang, Sumatera Utara.
“Kami mendesak agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang mencabut HGU Nomor 171/2009 karena banyak merugikan para petani di Kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara,” ujar Ketua Fraksi PKB DPR RI Cucun Ahmad Sjamsurijal saat menerima perwakilan ratusan petani Simalingkar dan Sei Mencirim di Ruang Fraksi PKB DPR, Kompleks Parlemen, Selasa (14/7/2020).
BACA JUGA: Pilkada Serentak 2020: PKB-Demokrat Sepakat Koalisi di 30 Daerah, 14 di Pulau Jawa
Untuk diketahui, perwakilan ratusan petani ini sebelumnya melakukan aksi jalan kaki dari Medan, Sumatera Utara ke Istana Negara.
Dia menjelaskan penerbitan HGU 171/2009 telah banyak diprotes para petani karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seharusnya HGU diterbitkan jika status lahan tidak dalam sengketa. Namun kenyataannya di atas lahan yang hak guna usahanya diberikan kepada PTPN II oleh Kementerian ATR berdiri rumah tapak dan lahan pertanian yang dikelola masyarakat.
BACA JUGA: Keren! Prajurit Kowal dan Korpri TNI AL Berikan Bantuan APD
“Lebih baik HGU tersebut dicabut terlebih dahulu lalu diterbitkan kembali HGU baru yang mengakomodasi kepentingan masyarakat petani di sana,” ujarnya.
Cucun mengatakan Kementerian ATR maupun PTPN II tidak bisa mengabaikan fakta jika para petani telah menempati lahan di Kecamatan Pancur Batu tersebut sejak puluhan tahun silam. Mereka telah berdomisili dan mencari nafkah di lahan bekas perkebunan tembakau yang dikelola Belanda di masa penjajahan tersebut. Bahkan dari berbagai dokumen yang ada para petani tersebut mendapatkan SK Landereform tahun 1984 untuk menempati dan mengelola lahan tersebut.
BACA JUGA: Memakai Masker, AHY Bertandang ke Kantor DPP PKB untuk Temui Cak Imin
“Fakta-fakta ini tidak bisa ditutupi dan diabaikan dengan intimidasi maupun pengusuran paksa oleh PTPN maupun aparat terkait,” tukasnya.
Ironisnya, lanjut Cucun, HGU Nomor 171/2009 yang masih bermasalah tersebut di tahun 2019 diubah oleh Kementerian ATR menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 1938 dan 1939 untuk PTPN II. Rencananya di atas lahan yang berdiri rumah tapak dan lahan pertanian warga Simalingkar akan didirikan Kawasan perumahan komersil.
“Ini kan sangat menyakitkan. HGU masih bermasalah dan belum selesai ternyata diterbitkan HGB untuk perumahan komersil di atas lahan yang menjadi sumber konflik,” katanya.
Kasus konflik agraria di Desa Sei Mencirim, kata Cucun lebih menyedihkan lagi. Di Kawasan ini para petani yang telah memegang sertifikat lahannya diambil begitu saja oleh PTPN II.
Mereka dengan dikawal ribuan aparat keamanan membuldozer lahan pertanian dan rumah tapak para petani. Hal itu dilakukan di tengah masa pandemic corona (Covid-19) 11 Maret 2020.
“Maksud saya kenapa kita tidak mengedepankan sisi kemanusiaan di masa pandemic ini. Kalau toh mereka merasa berhak apa tidak ad acara-cara persuasif yang bisa diterima semua pihak untuk penyelesaiannya,” katanya.
Cucun menegaskan jika lahan yang menjadi sumber konflik PTPN dengan petani Simalingkar dan Sei Mencirim tidak lebih dari 700 hektare. Luasan lahan itu tergolong sangat kecil dibandingkan dengan luas lahan yang dikelola oleh PTPN II.
“Luasan lahan yang dituntut petani kecil ini sangat tidak berarti dibandingkan dengan hak Kelola yang dinikmati banyak korporasi besar di negeri ini. Artinya kalau mau duduk bareng PTPN II dan petani saya rasa perselisihan ini akan bisa berakhir dengan win-win solution,” katanya.(fri/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich