Freddy Harris: Tinggal Pilih, Copyright atau Copyleft?

Minggu, 04 Juli 2021 – 23:03 WIB
Para narasumber sarasehan Perhimpunan Penulis Satupena bertema “HKI: Copyright atau Copyleft” yang digelar secara daring. Foto: Flyer @Satupena

jpnn.com, JAKARTA - Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Kemenkumham Freddy Harris merespons perdebatan mengenai hak cipta khususnya soal copyright atau copyleft.

Menurut Freddy, rezim  yang kita anut saat ini adalah rezim ekonomi. Artinya kita mengakui dan sudah menyusun UU tentang Hak Cipta.

BACA JUGA: Kolaborasi Pemerintah dan Pelaku Usaha Kunci Mencegah Pelanggaran Kekayaan Intelektual

“Apabila kita mau melepas sisi ekonomi dari hak cipta itu atau copyleft, ya, dilepaskan. Silakan, tetapi negara melindungi sisi ekonomi,” ujar Freddy Harris dalam sarasehan Perhimpunan Penulis Satupena bertema “HKI: Copyright atau Copyleft” yang digelar secara daring pada akhir pekan ini.

Sarasehan yang dipandu novelis Achmad Fuadi ini menghadirkan Konsultan Kreatif dan Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia Chandra Darusman, wartawan senior dan Komisaris Tempo Media Bambang Harimurti serta Novelis Okky Madasari ini dalam rangka menyongsong Kongres Satupena yang akan diselenggarakan Agustus mendatang.

BACA JUGA: Pemprov DKI Ingin Menjadi Hub Industri Kekayaan Intelektual via Katapel Jakarta

Lebih lanjut, Freddy Harris mengatakan dunia saat ini sangat dinamis. Kita sudah terikat dengan berbagai perjanjian yang menghargai hak cipta dan menghargai hak intelektual atau seperti China di masa lalu yang membajak karya pihak lain.

“Saat ini China berubah, sudah menghargai UU Hak Cipta, termasuk UU desain industrinya sudah kuat,” kata dia.

Menurut Freddy, kita menggunakan rezim hak cipta, karena itu kita ikuti demi melindungi hak ekonomi.

“Yang hanya bisa dilakukan atau copyleft adalah hak ekonominya saja, hak ciptanya tidak bisa. Contoh buku karya Okky Madasari sampai kapan pun karya dia. Hanya saja penjualan dan lainnya beda. Sampai hari ini copyleft hanya 0,1 persen. Jadi, kecil dan tidak bisa berkembang,” ujarnya.

Freddy menegaskan Pemerintah jelas melindungi semua hasil kreativitas. Sedangkan hak moral tidak bisa dihapus.

Dia menambahkan pihaknya sepakat bahwa kita kuat dalam kreativitas dan ini keunggulan kita.

“Jadi, kita tinggal pilih saja, mau copyright atau copyleft. Yang jelas kita ingin melindungi hak moral dengan copyright,” kata Freddy.

Sementara itu, Konsultan Kreatif dan Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia Chandra Darusman menyinggung sejarah lahirnya hak cipta dan polemik copyright dan copyleft.

“Saya setuju, kedua hal itu bisa hidup berdampingan, hanya saja kubu satu agak genit dan overacting dan membuat ketersinggungan,” kata Chndra Darusman.

Chandra yang selama ini dikenal juga sebagai musisi mengatakan topik sarasehan Satupena ini sangat relevan karena menyangkut hak intelektual dalam kaitan industri yang berkembang saat ini.

Hak Kekayaan Intelektual itu menurutnya terdiri atas Hak Industrial dan Hak Cipta. Hak industrial terdiri atas hak paten, merek, indikasi geografis, desain, rahasia dagang (formula).

“Nah, yang kita bahas di sini menyangkut bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sebagai hak cipta (ekspresi),” kata dia.

Hak cipta juga middle way, Indonesia menggunakan istilah hak cipta tahun 1982 untuk menjadi kompromi atas dua mazhab.

“Karena copy right bersifat territorial, maka ada pembajakan di luar negeri kemudian muncul kesepakatan atau Berne Convention 1886 diprakarsai oleh ALAI atau Asosiasi Penulis yang diketuai oleh Vivtor Hugo. Di Berne Convention pun tidak disebut Copyright,” ujar Chandra menyinggung hak cipta.

Menurut dia, AS mencari keseimbangan antara copyright dan copyleft. Ada juga yang sangat fanatik, harus dihilangkan di muka bumi copyright itu. Juga ada partai di Swedia yang menginginkan agar copyright dihilangkan.

“Saya agak setuju kadang-kadang copyright atau authors right agak overacting. Seumur hidup plus 50 tahun hak cipta. Bahkan di AS, 100 tahun, itu overacting, karena ada kepentingan ekonomi yang besar di situ,” kata Chandra.

Chandra menjelaskan Indonesia pernah mengadopsi leftcopy, bukan copyright, tidak menghargai hak cipta.

Pada 1958, Indonesia keluar dari Bern Convention. Selama 28 tahun Indonesia tidak menghargai hak cipta agar intelektual bisa berkarya tanpa membayar royalty.

Tahun 1996, kita kembali menghargai hak cipta. Kita harus jujur, kontribusi industri yang menghargai hak cipta, menjadi lokomotif dari pembangunan ekonomi Indonesia, karena pertumbuhannya di atas rata-rata pertumbuhan nasional.

Dari hak cipta berkembang inovasi, kita punya potensi. Karena bakat dan kreativitas kita sangat bagus. Kita harus mengandalkan SDM yang kreatif dan memiliki nilai tambah tinggi.

“Kesimpulannya, sampai kapan pun, copyright dan copyleft akan sangat eksis dalam dunia yang terus berkembang. Kabar baiknya hak cipta bukan monopoli hak absolut, karena dalam UU Hak Cipta ada pembatasan-pembatasan demi kepentingan umum tanpa merugikan kreator, inilah keseimbangan antara copyright dan authors right.

Kontrol Kreasi di Tangan Kreator

Novelis Okky Madasari juga angkat suara. Dia mengatakan ketika bicara soal copyright dan copyleft seharusnya menempatkan kontrol sebuah kreasi di tangan kreator.

“Keputusan kreatornya yang menentukan apakah akan digunakan cara konvensional (hanya bisa dipublikasi, dijual dan sebagainya) atau memilih cara ala copyleft di mana seseorang mendistribusikan dan membaca dengan bebas.

Dia mengungkapkan pada Desember 2019, Okky menerbitkan buku “Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan” dan sengaja mempublikasikan karya secara bebas.

“Saya sadar dan bahwa keuntungan ekonomi tidak sebatas hanya soal uang, tetapi kita ingin dapat benefit lain. Tetapi saya ingin buku itu banyak dibaca dan didiskusikan banyak orang. Bahkan menjualnya ketika saya melakukan itu, dampaknya luar biasa, meski bukan popular, didiskusikan banyak orang, termasuk komunitas di kampung, jika konvensional membeli akan berat,” paparnya.

Menurut Okky, ada tiga hal yang perlu diperhatikan semua pihak, terutama pemerintah yakni pembajakan, plagiasi dan silent sing. Pembajakan tidak bisa diselesaikan oleh 1-2 penulis di Sosmed, tetapi ini sistemik.

Indonesia punya hukum tetapi masih ada pembajakan. Bahkan ada pusat pembajakan yang secara bebas menerbitkan buku-buku orang. Ini catatan besar bagi penerbit karena punya power dan penulis sudah menyerahkan haknya, maka penerbit bersama pemerintah harus memperjuangkan atas pembajakan, bukan sekadar lip service.

Menurut Okky, pembajakan tidak bisa diterima, apa pun alasannya. Teknologi tidak bisa jadi alasan. Kominfo bisa melakukan langkah tegas, menutup pdf illegal.

“Selama ini Kominfo bisa melakukan pencegahan pornografi. Kok gak bisa hal-hal yang terkait dengan hak cipta. Ada UU yang jelas yakni UU Hak Cipta. Yang tidak jelas adalah penegakan hukumnya. Polisi punya divisi cyber, seharusnya juga bisa melakukan pemantauan website yang menyebarluaskan pdf illegal,” ujar Okky.

Sedangkan Bambang Harimurti menjelaskan alasan copyright dibuat. Istilah copy left tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya copy left bagian dari copy right.

Copyleft diciptakan oleh ahli software, Richard Stallman yang jengkel karena public domain yang diberikan kepada perusahaan symbolic untuk dikembangkan, malah kemudian didaftarkan sebagai copyright milik perusahaan tersebut. Orang ini dibantu malah ambil keuntungan komersial. Ini bukan cerita baru, banyak penyalahgunaan copyright, bukan inovatornya tetapi korporasi. Dengan secara licik mengambil keuntungan.

Bambang menjelaskan Copyright itu adalah hak untuk menyalin, maka copyleft lebih pada hak untuk mendokumentasi dan memodifikasi Copyleft secara hukum masih memanfaatkan dari bagian copyright tetapi dia melepaskan sebagian hak ekonomi secara bersyarat agar inovasi berkembang.

“Copyright jadi problem ketika muncul teknologi industri. Pembuat program jika membuat program, akan terkendala, karena pekerjaan software kolabolatif, bukan individu,” katanya.

Hak ekonomi copyleft dimaksudkan untuk memberi insentif ekonomi pada inovator atau pencipta. Pada praktiknya kerap dibajak korporasi atau pemalak intelektual alias patent troll.

“Lalu, Jalan tengah? Yang disebut copyleft bermacam-macam. Salah satunya creative commons semacam kata bill gates, dunia makin lama harus kombinasi dan berkolaborasi dan di bagian lain bersaing secara ketat,” ujar Bambang.

Menurut dia, penemuan mesin mekanik melahirkan hak atas paten yang berkembang menjadi  hak cipta. Perkembangan teknologi komunikasi melahirkan copyleft dan industry 4.0, memperkuat copyleft menjadi creative commons.

“Semua hak diciptakan untuk melindungi hak publik atas inovasi melalui penyeimbangan kepentingan publik dan inovatornya, mencegah balik tragedy of the commons maupun the tragedy of anti-commons,” kata Bambang.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler