jpnn.com - JAKARTA - Larangan ekspor mineral resmi berlaku sejak Minggu (12/1). Itu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 01 Tahun 2014 yang isinya adalah melaksanakan UU Minerba nomor 4 tahun 2009.
Terkait dengan kebijakan ini, Indonesia Mining and Energy Studies (IMES) menegaskan ada dua hal strategis terkait dengan keputusan pemerintah melakukan revisi terkait dengan pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri sebagaimana diatur dalam PP No.23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dan Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2013.
BACA JUGA: Pimpin BPD Hipmi Jaya, Rama Rangkul Pengusaha Asing
Pertama, pemerintah mesti tegas terhadap pelarangan ekspor bagi perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK), hingga mereka selesai membangun pabrik pemurnian dalam negeri.
"Gagasan pemberian pelonggaran (relaksasi) ekspor mineral mentah kepada para korporasi tambang skala besar, khususnya pada Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara (NNT), menunjukan pemerintah tak punya posisi tawar yang kokoh di hadapan korporasi asing," kata Direktur Eksekutif IMES, Erwin Usman dalam keterangan persnya kepada JPNN.com, Minggu (12/1).
BACA JUGA: Kubu Tutut Mengaku Diusir dari TPI
Menurut Erwin, kewajiban pemegang Kontrak Karya untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri 5 (lima) tahun sejak keluarnya UU Minerba No.4 Tahun 2009, merupakan amanat Undang-Undang. Operasi produksi perusahaan pemegang KK sudah berpuluh tahun di Indonesia. Keuntungan mereka sudah sangat banyak. Waktu lima tahun harusnya cukup.
"Pengawasan pemerintah yang lemah dan terlalu kompromistik menjadikan waktu terbuang percuma. Lima tahun ini, tak ada satu pun pemegang KK tersebut yang selesai sepenuhnya membangun smelter dan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Ketentuan dalam UU Minerba yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian dalam negeri, khususnya bagi KK, dalam pasal 170 sudah jelas," ucapnya.
BACA JUGA: Terbuka Peluang Dibangun Pembangkit Besar di Kaltara
Yang kedua, terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP/IUPK) kami mengusulkan agar pemerintah memberi kebijaksaan untuk tetap ekspor dengan batas waktu 3 (tiga) tahun, sambil mereka tetap menyelesaikan proses pembangunan smelter.
Alasannya, poin awal (starting point) IUP/IUPK berbeda dengan pemegang Kontrak Karya yang nota bene milik asing. Pemegang KK sudah beroperasi puluhan tahun lamanya. Senyatanya, pemegang IUP baru tumbuh pada periode 3-7 tahun terakhir. "Ini juga untuk mendukung majunya dunia usaha pertambangan nasional," katanya.
Erwin menjelaskan pemberian waktu untuk tetap ekspor selama 3 tahun mesti didukung dengan pengawasan dan tersedianya norma hukum yang ketat dan mengikat dari pemerintah. Sanksi tegas hingga pencabutan Kontrak dan IUP mesti diterapkan pemerintah bagi pemegang IUP yang tidak bersedia membangun smelter dan melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri setelah waktu 3 tahun atau tahun 2017.
"Pemerintah mesti segera menyiapkan cetak biru dan peta jalan sebagai petunjuk teknis bagi pelaksanaan program hilirisasi. Serta membenahi soal koordinasi lintas kementrian yang lemah. Adalah suatu tanda tanya besar, jika pemerintah justru memberikan kelonggaran khusus pada perusahaan pemegang KK, dan melarang total ekspor bagi penambang nasional," pungkasnya. (awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Direktur Usaha Gobel Pimpin BPD Hipmi Jaya
Redaktur : Tim Redaksi