FSC Diminta Setujui Mosi 37/2021 demi Kesetaraan Sertifikasi Pengelolaan Hutan

Jumat, 30 September 2022 – 03:00 WIB
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Silverius Oscar Unggul bersama Sekjen APHI Purwadi Soeprihanto (kanan depan) dalam sebuah diskusi berharap Mosi 37/2021 bisa disetujui Member FSC. Foto: dokumentasi Kadin

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Silverius Oscar Unggul menyatakan para member lembaga pengembang sertifikasi pengelolaan hutan Forest Stewardship Council (FSC) seharusnya bisa menyetujui mosi 37/2021.

Tujuannya memberikan kesetaraan kepada seluruh pelaku usaha kehutanan di dunia pada semua skala usaha dalam pengembangan hutan lestari.

BACA JUGA: Menteri Siti Ajak Mahasiswa Berperan Jaga Kelestarian Hutan

“Kami berharap mosi 37/2021 bisa disetujui member FSC sehingga ada kesetaraan bagi semua pelaku usaha di Indonesia dan seluruh dunia dalam pengembangan hutan lestari,” katanya pada sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (27/9).

Pengembang sertifikasi pengelolaan hutan terkemuka di dunia FSC berencana membahas mosi 37/2021 pada General Assembly di Bali pada 9-14 Oktober 2022. 

BACA JUGA: Menlu Retno Ingatkan Hutang Gerakan Non-Blok kepada Palestina

Salah satu poin penting dalam mosi itu adalah perubahan cut of date yang menjadi batas diperbolehkannya konversi hutan alam dalam pembangunan hutan tanaman dari November 1994 menjadi 31 Desember 2020.

Cut of date November 1994 selama ini dinilai menjadi kendala dalam penerapan sertifikasi FSC untuk hutan tanaman di Indonesia.

BACA JUGA: Melalui Program Perhutanan Sosial, Puluhan Ribu Hektar Hutan Desa Direstorasi oleh Warga di Katingan

Mosi 37/2021 ini juga berisi kebijakan Remedy Framework yang mewajibkan konversi hutan alam diperbaiki secara lingkungan dan sosial.

Jika mosi ini disetujui, FSC bisa menyertifikasi hutan 300 juta hektare. Di sisi lain, adanya Remedy Framework bisa mendukung ambisi FSC yang mendorong perluasan kegiatan rehabilitasi dan restorasi hutan.

Menurut Onte, panggilan akrab Silverius Oscar, pelaku usaha kehutanan di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk pengelolaan hutan lestari. 

Di sisi lain, regulasi yang kini diterapkan pemerintah juga sangat kuat untuk mendorong pengelolaan hutan lestari.

Kadin juga memiliki program Net Zero Hub untuk mendorong pelaku usaha di tanah air menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan berkelanjutan dan mencapai net zero emission.

Onte mengungkapkan, pelaku usaha kehutanan di Indonesia bukan hanya yang berskala besar tapi juga ada yang berkala menengah bahkan skala rakyat seiring kebijakan pemerintah yang membuka peluang skema perhutanan sosial. 

“Pelaku usaha di Indonesia dari berbagai skala layak mendapat peluang untuk bisa mengikuti skema sertifikasi FSC,” katanya.

Onte menjelaskan, dengan memperoleh sertifikat FSC, ada peluang bagi produk kehutanan Indonesia memasuki pasar-pasar tertentu yang memang mempersyaratkan sertifikat FSC.

Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengatakan komitmen Indonesia dalam pengelolaan hutan lestari sesungguhnya dibuktikan dengan adanya Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK).

SVLK juga mendapat pengakuan di antaranya adalah sebagai satu-satunya skema sertifikasi yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT oleh Uni Eropa.

“Dengan SVLK ditambah sertifikat voluntary seperti FSC maka rekognisi pasar terhadap produk kehutanan Indonesia bisa semakin luas,” kata dia.

Purwadi mengatakan dengan persetujuan mosi 37/2021 pada General Assembly FSC maka diharapkan luas hutan di dunia yang tersertifikasi makin luas dan memberi kesempatan yang sama untuk perbaikan tata kelola hutan di berbagai belahan dunia. (mar2/jpnn)


Redaktur & Reporter : Tarmizi Hamdi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler