FSGI: SKB 3 Menteri Tidak Cukup Menghentikan Intoleransi di Sekolah, Simak Alasannya

Minggu, 07 Februari 2021 – 16:05 WIB
Sekjen FSGI, Heru Purnomo. Foto: Dokpri

jpnn.com, JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan terbitnya surat keputusan bersama atau SKB 3 menteri antara Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas, ternyata menimbulkan misinformasi di kalangan peserta didik, pendidik dan orang tua.

SKB 3 menteri tersebut mengatur ketentuan tentang  penggunaan seragam dan atribut  bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan oleh Pemda pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. 

BACA JUGA: Guspardi Menilai SKB 3 Menteri soal Seragam Sekolah Salah Kaprah

SKB 3 menteri itu salah satunya mengatur tentang murid dan guru di sekolah negeri yang berhak memilih seragam yang dikenakan dengan atau tanpa kekhasan agama tertentu.  

“FSGI memberikan dukungan dan apresiasi terhadap hadirnya SKB 3 menteri. Dukungan yang kami berikan tentunya bukanlah cek kosong tetapi disertai dengan beberapa catatan,” kata Heru Purnomo, Sekjen FSGI di Jakarta, Minggu (7/2).

BACA JUGA: KPAI: Guru dan Kepsek Pelanggar SKB 3 Menteri Jangan Langsung Dihukum

Dia menduga terbitnya SKB 3 menteri ini diduga sangat erat kaitannya dengan peristiwa di SMK Negeri 2 Padang.

Dia mengingatkan jangan sampai SKB ini hanya sebagai tindakan reaktif pemerintah untuk meredam gejolak  yang muncul dari kasus tersebut tanpa kajian dan tindak lanjut untuk menyelesaikan tindakan intoleran dalam bentuk lainnya di sekolah. Seperti yang disampaikan Menag pada saat peluncuran SKB ini, apa yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang merupakan puncak gunung es dari budaya intoleran di sekolah. 

BACA JUGA: Terungkap Jejak Munarman di Dalam Jaringan Teroris JAD, Petrus: Cekal dan Tangkap!

"Sehingga kami sangat berkeyakinan bahwa hadirnya SKB ini tidak akan cukup untuk menyelesaikan tindakan intoleran di sekolah," ujar Heru.

Peristiwa yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang bukanlah satu-satunya tindakan intoleran dalam penggunaan seragam sekolah. FSGI mencatat sedikitnya ada 10 kasus yang terungkap ke publik sekitar tahun 2014-2021.

Sepuluh kasus tersebut sebagai berikut:

1. SMA N 2 Denpasar 2014. Larangan siswa menggunakan jilbab lewat Tata Tertib sekolah. Tidak disebutkan secara eksplisit pada aturan tersebut, tetapi siswa yang menggunakan seragam berbeda dianggap melanggar aturan sekolah

2. SMA N 5 Denpasar 2014. Melarang siswa menggunakan tutup kepala lewat pengumuman membuat siswa yang ingin menggunakan jilbab mengurungkan niatnya

3. SMP N 1 Singaraja 2014. Melarang siswa menggunakan jilbab secara terang-terangan 

4. SMA N 1 Maumere, Sikka  2017. Siswa yang berjilbab dilarang menggunakan rok yang panjang. Melanggar ketentuan dianggap pelanggaran.

5. SD Inpres 22 Wosi Manokwari 2019. Ada aturan tidak tertulis tetapi berupa imbauan secara lisan larangan menggunakan jilbab. Aturan sudah ada sejak sekolah berdiri.

6. SMA N 2 Rambah Hilir, Rokan Hulu 2018. Ada aturan tidak tertulis tetapi berupa himbauan secara lisan untuk menggunakan jilbab. Dianggap sebagai budaya sekolah sejak sekolah berdiri.

7. SMP N 3 Genteng Banyuwangi 2017. Peraturan sekolah mewajibkan siswa untuk menggunakan jilbab meski non-muslim. Aturan ini sudah dicabut oleh Bupati Banyuwangi saat itu.

8. SD N Karang Tengah 3 Gunung Kidul 2019. Kepala Sekolah mewajibkan siswa baru, kelas I, menggunakan seragam muslim. Pada tahun ajaran berikutnya seluruh siswa wajib menggunakan seragam muslim

9. SMAN 1 Gemolong Sragen 2020. Siswa dipaksa menggunakan jilbab oleh Pengurus ROHIS.

10. SMK N 2 Padang 2021. Siswa diwajibkan menggunakan busana muslim sesuai dengan Perda yang dibuat wali kota sejak 2005.

Eka Ilham, guru di SMK N 1 Pali Belo Kabupaten Bima menambahkan, jika dianalisis kejadian pelarangan dan kewajiban menggunakan jilbab ini terjadi setelah reformasi yang beriringan dengan tumbuhnya politik identitas di Indonesia.

Hal itu diikuti oleh arogansi mayoritas terhadap minoritas karena selama masa orde baru daerah-daerah terkekang dengan kekuatan sentralisasi pemerintah pusat.

"Apalagi di masa orde baru penggunaan jilbab di sekolah benar-benar dilarang sampai dengan tahun 1991. Sehingga pertentangan antara kewajiban dan larangan penggunaan jilbab hampir tidak muncul ke permukaan,” tandas Eka Ilham.(esy/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler