G30S, Front Kostrad Vs Halim, Mengapa Soeharto Tidak Diculik?

Jumat, 01 Oktober 2021 – 16:04 WIB
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Kontroversi tentang tragedi berdarah pada 30 September 1965 terus bergulir. 

Setiap jelang pergantian September ke Oktober, selalu saja ada polemik tentang peristiwa yang juga dikenal dengan G30S/PKI itu.

BACA JUGA: Turun dari Mobil ke Markas Marinir, Lapor Kejadian G30 S/PKI

Istilah Gerakan 30 September atau G30S diperkenalkan oleh Komandan Resimen Tjakrabirawa Letkol Untung Sjamsuri. 

Adapun penyebutan istilah G30S/PKI digunakan oleh penguasa Orde Baru. 

BACA JUGA: Sepertinya Film G30S Cuma Fiksionalisasi Soeharto sebagai Pahlawan Penumpas PKI

Penyematan PKI di belakang G30S didasari keyakinan para petinggi TNI di era Orba bahwa partai pimpinan DN Aidit itu terlibat dalam operasi penculikan terhadap para jenderal Angkatan Darat. 

Ada pula yang menyebut peristiwa itu dengan istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). 

BACA JUGA: Warga di Daerah Diminta Kibarkan Bendera Setengah Tiang Peringati G30S PKI

Akronim itu diperkenalkan oleh Brigjen RH Sugandhi selaku kepala Penerangan Staf Angkatan Bersenjata.

Terlepas dari soal istilah, terdapat berbagai analisis tentang kondisi yang melatarbelakangi tragedi itu.

Salah satu analisis itu datang dari Indonesianis Harold Crouch.

Melalui buku ‘Militer dan Politik di Indonesia’, pengamat politik asal Australia itu menyodorkan analisisnya tentang  adanya percobaan kudeta dalam G30S yang menempatkan Kostrad dan petinggi AURI dalam posisi saling berlawanan.

Pada 1 Oktober 1965, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pengumuman tentang Gerakan 30 September di bawah komando Letkol Untung Sjamsuri.

Pengumuman itu menyebut Dewan Jenderal disponsori Pusat Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA). 

Menurut pengumuman itu, dewan tersebut berisikan para jenderal yang gila kekuasaan, mengabaikan kesejahteraan pasukan, hidup dalam kemewahan di atas penderitaan rakyat, merendahkan wanita, dan menghamburkan uang negara. 

Crouch yang mengutip arsip Puspenad 1965 menjelaskan Untung melakukan G30S untuk mencegah Dewan Jenderal mengudeta Presiden Soekarno.

Adapun para jenderal yang disasar pasukan Untung ialah Letjen A Yani, Mayjen MT Haryono, Mayjen Suprapto,  Mayjen S Parman, Brigjen DI Pandjaitan, dan Brigjen Sutojo Siswomihardjo. 

Jenderal AH Nasution juga menjadi target penculikan, tetapi berhasil meloloskan diri.

“Gerakan ini adalah suatu gerakan yang murni dan intern Angkatan Darat yang ditujukan melawan Dewan Jenderal,” tulis Crouch mengutip pengumuman Dewan Revolusi.

Menurut Crouch, percobaan kudeta terjadi karena makin kuatnya persekutuan antara Bung Karno dengan PKI yang membuat partai pengusung komunisme itu memperoleh kemajuan pesat dalam percaturan politik di Jakarta.

Crouch menyatakan tidak ada bukti adanya Dewan Jenderal yang merencanakan suatu aksi dalam waktu dekat untuk melawan PKI. 

Namun, desas-desus  itu dipercaya oleh PKI, para perwira Angkatan Udara maupun Angkatan Darat yang lebih menyukai Soekarno.

“Terdapat cukup bukti bahwa para perwira yang berpendirian lain itu memang mengkhawatirkan adanya kudeta yang akan dilancarkan oleh pimpinan Angkatan Darat,” papar Crouch di buku dengan judul asli ‘Army and Politics In Indonesia’ itu.

Kala itu, di sekitar Lapangan Merdeka atau kawasan Monas terdapat pasukan Batalyon 454 Jawa Tengah dan Batalyon 530 Jawa Timur. 

Kekuatan mereka masing-masing 1.000 pasukan.

Dua batalion itu berada di Jakarta untuk peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober 1965. 

Namun, komandan masing-masing batalion itu telah menyatakan dukungan kepada G30S.

“Mereka dalam posisi siap menguasai istana presiden di sebelah utara lapangan, Radio Republik Indonesia di sebelah barat lapangan, dan gedung telekomunikasi di sebelah selatan,” tulis Crouch.

Adapun markas pertama G30S ada di gedung Aerial Survey kawasan Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. 

Markas lainnya ada di rumah seorang perwira menengah Angkatan Udara.

Ketua Komite Sentral PKI DN Aidit juga menginap di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. 

Panglima Angkatan Udara Omar Dhani juga menginap di pangkalan udara yang berada di Jakarta Timur itu.

Crouch menuturkan Bung Karno juga tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah sesaat setelah pukul 9 pagi. 

“Soekarno sepanjang siang berada di sana, di rumah seorang perwira Angkatan Udara,” tulisnya.

Di sisi lain, ada Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang bermarkas di sebelah timur Lapangan Merdeka.  

“Perlawanan terhadap Gerakan 30 September dipusatkan di markas besar Kostrad di mana Soeharto adalah panglimanya,” ulas Crouch.

Pada 1 Oktober 1965 siang, Soeharto sudah berhasil membujuk para komandan batalion yang ada di Lapangan Merdeka. 

Namun, ada pula batalion yang memilih menuju Halim.

Soeharto juga melontarkan ultimatum kepada pihak-pihak yang berseberangan dengan Kostrad. 

Ultimatum itu membuat Presiden Soekarno, Omar Dhani, DN Aidit, dan para pemimpin Gerakan 30 September meninggalkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.

“Pada 2 Oktober 1965 pagi, Soeharto dan pasukannya sudah menguasai Halim,” tulis Crouch.

Lantas, mengapa Soeharto yang juga perwira Angkatan Darat tidak menjadi sasaran penculikan G30S? 

“Soeharto adalah jenderal terpenting yang dilewatkan dari daftar mereka yang diculik,” papar Crouch.

Crouch juga menukil analisis Prof. Dr. W.F. Wertheim tantang dugaan bahwa Soeharto terlibat dengan pihak-pihak yang berkomplot. 

Oleh karena itu, perlu dijelaskan mengapa Gerakan 30 September mengabaikan Soeharto.

“Wertheim telah menunjukkan bahwa Soeharto mempunyai hubungan dengan seluruh perwira teras Angkatan Darat yang terlibat Gerakan 30 September,” tutur Crouch dalam bukunya.

Memang Soeharto mengenal Letkol Untung, Kolonel Latief, dan Brigjen Suparjo. 

Soeharto dan Untung pernah betugas bersama di Jawa Tengah dan perjuangan merebut Irian Barat (kini Papua). 

Soeharto juga menghadiri pernikahan Untung pada 1964.

Demikian pula dengan Latief yang pernah menjadi anak buah Soeharto di Jawa tengah. 

Pada 30 September 1965, Soeharto bertemu dengan Kolonel Latief di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.

Adapun Supardjo pernah menjadi anak buah Soeharto di Komando Mandala Siaga (Kolaga) saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia.“Bagaimana jika dapat dibuktikan bahwa para pembunuh para jenderal dan pembantai PKI secara massal adalah orang yang sama?” tulis Crouch mengutip tulisan Wertheim.

Namun, Crouch menegaskan tidak terdapat bukti bahwa Soeharto mendalangi pembunuhan para jenderal. 

Memang hubungan Soeharto  dengan Nasution kurang baik.

Soeharto dan A Yani juga memiliki perbedaan pandangan soal peran Kostrad pada 1963. 

Kala itu Yani merupakan menteri panglima Angkatan Darat.

Oleh karena itu, Crouch menganggap Soeharto bukanlah figur penting, seperti halnya Umar Wirahadikusumah, Mursjid dan beberapa perwira senior lain di bawah komando A Yani. 

“Soeharto tidak memainkan peran penting dalam perumusan taktik-taktik Yani menghadapi Soekarno dan PKI sehingga namanya tidak tercantum dalam daftar para jenderal yang harus diculik Gerakan 30 September,” ulas Crouch.

Adapun Soeharto dalam autobiografinya yang bertitel ‘Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’ menyatakan bahwa tidak ada Dewan Jenderal di Angkatan Darat. 

Menurutnya, yang ada hanya Dewan Jabatan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti).

Soeharto menegaskan bahwa Wanjakti tidak pernah membahas politik. 

“Hanya membahas kenaikan pangkat dan jabatan dari kolonel ke brigjen, dari brigjen ke mayjen, dan sebagainya,” tuturnya dalam buku yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana itu.

Putra petani asal Desa Kemusuk, Kecamatan Godean, Yogyakarta, itu pun menyebut G30S bukan untuk menghadapi Dewan Jenderal, melainkan melakukan kudeta. “Dan pasti didalangi PKI,” tegasnya.

Sebagai prajurit yang terikat Saptamarga, Soeharto merasa terpanggil untuk menuntut keadilan bagi para jenderal Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh. 

Menurutnya, G30S telah mengancam negara dan Pancasila.

“Saya memutuskan untuk melawan mereka,” ujar Soeharto. (ara/boy/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Antoni, M. Kusdharmadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler