Gagal Bunuh Diri dan Terusir dari Rumah

Minggu, 28 Oktober 2012 – 14:11 WIB
“Lebih baik Mama kehilangan satu anak yang terkena HIV/AIDS,” ucapan ibunya itu terus dikenang oleh Lulu.

M RIDHUAN – Samarinda

TAHUN 1994, Lulu dan suaminya pindah ke Papua, tepatnya di Sota, Merauke. Di ujung timur perbatasan Indonesia-Papua New Guenea (PNG) ini, dirinya memulai kehidupan baru sebagai seorang transmigran asal Surabaya, Jawa Timur (Jatim).

“Suami pun bekerja sebagai petani. Di samping itu biasa kerja membuat gorong-gorong,” tutur Lulu, Selasa (23/10) lalu.
 
Satu saat, dia dan suami berpisah. Ditinggal sang suami, Lulu tetap harus melanjutkan hidup. Untuk itu, dia mencoba mencari kerja. Kabar gembira datang. Seorang tetangga satu rombongan transmigrasinya menawari pekerjaan. Lulu ditawari kerja sebagai seorang pramusaji di sebuah warung makan. Memberanikan diri, Lulu pun berangkat ke Ibu Kota, Merauke.

Perjalanan ditempuh menggunakan bus. Lulu mesti merogoh kocek Rp 250 ribu untuk sampai ke tempat yang diberitahu tetangganya tersebut. Namun alangkah terkejutnya Lulu, tempat tersebut bukan warung sebenarnya. Melainkan, warung untuk lelaki hidung belang. Apa mau dikata, kaki sudah melangkah.

“Sejak kecil saya tak pernah berpikir sekalipun menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Saat itu uang saya di kantong tinggal Rp 5 ribu. Saya tak tahu harus bagaimana lagi. Kepalang basah, saya ‘mandi’ sekalian,” ucapnya dengan mata menerawang.

Lulu resmi terjun di lembah maksiat pada 1996. Lakon hidup dirasa pahit. Uang hasil melayani pria hidung belang dikirim buat anaknya di kampung halaman. Ya, Lulu memang sudah memiliki anak yang masih balita. Namun anak itu bukan dari rahimnya.

Kisah lain, saat Lulu dan suaminya sedang menjalani bulan madu mereka di Jogjakarta. Suatu malam, Lulu mendengar suara tangis seorang bayi. Lulu pun mengadukan apa yang didengarnya itu kepada suami. Namun suaminya mengaku tak mendengar apa yang disangka bayi itu.

“Kami sedang di Pantai Parangtritis saat itu. Saya berkeras mendengar suara bayi, meski suami meragukannya. Kami memutuskan untuk mencari asal suara tersebut. Akhirnya di sebuah semak, kami menemukan bayi. Terbungkus di dalam sebuah kardus mi,” papar Lulu. Mereka lantas memutuskan untuk mengadopsi bayi tersebut.

Setahun berlalu sejak Lulu hidup di lokalisasi. Di 1997, dia mulai merasakan sakit terus menerus. Sakit yang dia kira sebagai demam dan diare biasa. Saat itu Lulu masih mempercayakan kesembuhannya pada obat yang dia beli di warung dekat mess tempat tinggalnya.
 
Namun, kondisi tubuhnya makin lama makin memburuk dan bertambah kurus. Akhirnya dia bersama dua kawannya dibawa ke salah satu rumah sakit di Merauke. Mereka menjalani pemeriksaan untuk menguji positif HIV/AIDS atau tidak. Hasil pemeriksaannya membawanya pada kenyataan pahit. Dia divonis terkena HIV.

“Waktu itu saya tak tahu apa itu HIV, apa itu AIDS. Kemudian dokter menjelaskannya. Saya lantas diminta berbohong kepada rekan lain terkait kondisi saya. Meski ada rasa tak nyaman dalam hati,” ucap Lulu.

Keinginan untuk hidup Lulu pun luntur. Seiring embusan napasnya selalui disertai kata-kata ingin mati. Malamnya, dia pun memutuskan untuk bunuh diri. Meski pikirannya berkecamuk memikirkan keluarga dan anak semata wayangnya di kampung halaman. Namun keinginannya mati tak terbantahkan lagi. Dia menenggak sebotol racun serangga. Lulu lemas dan ditemukan sedang meregang nyawa dengan mulut berbusa.

“Saya ditemukan teman-teman waktu subuh. Saya dibawa ke rumah sakit. Selama seminggu saya mendapat perawatan di rumah sakit. Badan saya lemah, namun keinginan mati masih ada di pikiran saya,” katanya.

Lulu pun melancarkan niat mati kedua kalinya sehari setelah keluar dari rumah sakit. kembali menenggak racun serangga jadi pilihannya. Untuk kali kedua, usaha bunuh dirinya gagal. Lulu lantas bertemu dengan seorang penjangkau dari Yayasan Santo Antonius (Yasanto), Herlina yang sebelumnya mengajak dia memeriksakan diri ke rumah sakit.

“Dia (Herlina) marah ke saya. Katanya masih ada  harapan bagi orang-orang seperti saya. Saya tak sendiri dan bisa hidup normal asal mau berjuang,” kenang Lulu. Dia pun akhirnya tersadar. “Mengapa saya bodoh sekali waktu itu, sampai mencoba bunuh diri dua kali,” sambungnya.
 
Lulu pun diajak bersosialisasi dengan sesama ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Kehidupannya sebagai PSK ditinggalkannya sejak dia positif terkena HIV. Dia mulai belajar berbicara di depan publik. Menceritakan kisah hidup dan memberikan perlindungan dan semangat bagi sesama ODHA.

“Hingga saat berbicara dalam sebuah kegiatan, saya bertemu kawan kecil saya satu kampung. Namun saya pikir dia tak akan membuka status saya di kampung. Hingga di 2005 saya diutus ke Jakarta untuk pertemuan ODHA Nasional. Disana saya memutuskan pulang ke Surabaya,” tutur Lulu.

Tiba di Surabaya, Lulu bergegas menuju rumahnya. Namun, baru berada di depan pintu, ibunya mengadang. Lulu diinterogasi dan dibombardir dengan pertanyaan. Rupanya sang ibu mendengar cerita dari kawannya yang menemui Lulu di Papua. “Apa benar kamu kena HIV/AIDS? Apa saja kerjamu di Papua?” kutipnya.

Dirinya pun menjawab jujur segala pertanyaan ibunya itu. Termasuk profesinya sejak ditinggal sang suami. Hingga silap hati sang pemilik rahim tempat Lulu pernah berada itu memutuskan untuk mengusir dirinya dari rumah.

“Lebih baik Mama kehilangan satu anak yang terkena HIV/AIDS,” ucap Lulu mengutip pernyataan ibunya itu. Yang lebih menyedihkan saat dia dilarang bertemu anaknya. Lulu pun memutuskan segera pergi, kembali ke Jakarta.

“Saya benar-benar terpukul. Saya bingung mau kemana lagi. Dengan uang sisa Rp 35 ribu, saya pun balik ke Jakarta dengan kereta api. Dari stasiun Senen (Jakarta), uang saya habis,” tuturnya.

Dari stasiun Senen itu, Lulu berjalan gontai mengikuti langkah kakinya. Pikirannya kosong dan masih syok atas pernyataan ibu kandungnya itu. Hingga malam hari di sebuah terminal bus dekat Polda Metro Jaya, dirinya dihampiri seorang polisi.

“Tujuan saya sebenarnya mau ke Jakarta Utara, namun saya bingung. Polisi tadi pun menolong saya. Dia mengajak saya untuk tidur di rumahnya. Dikenalkannya saya ke istrinya. Diberi makan dan esoknya diberi ongkos untuk ke tempat kawan saya yang di Jakarta Utara itu,” cerita Lulu yang sangat berterima kasih kepada polisi tersebut.

Lulu yang tak memiliki tujuan selain kampungnya di Surabaya memutuskan untuk kembali ke Papua. Namun tak ada yang bisa diperbuatnya di sana. Di 2006, dia pun memutuskan meninggalkan Papua. Lantaran ada konflik internal dengan salah satu pemilik rumah perlindungan buat ODHA. Namun dia bingung harus kemana. Dalam perjalanannya di atas sebuah kapal, dia bertemu seorang perempuan asal Samarinda. Mengetahui kondisi Lulu yang tak memiliki tujuan, perempuan tersebut mengajaknya ke Samarinda.

“Saya pun menjadi pembantu di rumah saudara ibu itu. Di Samarinda ini saya melihat sebuah brosur tentang penyuluhan tentang HIV/AIDS. Saya datang ke alamat dimaksud. Tujuannya satu, karena obat saya habis, saya tak tahu dimana harus mendapatkannya. Akhirnya saya diajak bergabung dan mulai aktif memberikan semangat juga kepada teman-teman sesama ODHA di Samarinda ini,” ucapnya. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak Perumahan di Batam Tanpa Fasum

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler