JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menolak rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan gaji para kepala daerah. Alasan FITRA, karena kebijakan itu akan membangkrutkan daerah.
Sekretaris Jenderal FITRA, Yuna Farhan, menilai rencana menaikkan gaji para kepala daerah itu sudah salah kaprah. Pasalnya, kepala daerah selain menerima gaji dan tunjangan juga masih memeroleh insentif dari hasil pungutan Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD).
"Minimal (insentif dari PDRD, red) enam kali gaji ditambah tunjangan dan maksimal 10 kali gaji ditambah tunjangan. Jadi tergantung Pajak dan Retribusi Daerah bersangkutan. Itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 2010 (tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, red),” kata Yuna di Jakarta, Kamis (21/2).
Dengan aturan yang ada saat ini, lanjut Yuna, seorang gubernur di daerah dengan pemasukan pajak yang minim pun bisa mengantongi insentif hingga Rp 58,8 juta.Sementara untuk seorang bupati maupun wali kota, insentifnya bisa mencapai Rp 41,1 juta.
“Tapi selama ini, pada publik dipersepsikan penghasilan kepala daerah itu kecil. Karena yang diketahui publik hanya gaji pokok dan tunjangan jabatan saja," ucapnya.
Dipaparkannya, gaji pokok gubernur Rp 3 Juta plus tunjangan Rp 5,4 Juta untuk tunjangan. Sementara untuk bupati/wali kota, gaji pokoknya Rp 2,1 juta, sementara tunjangan jabatannya Rp 3,7 juta. "Penghasilan ini belum termasuk biaya penunjang operasional yang besarnya juga tergantung PAD (Pendapatan Asli Daerah),” ujarnya.
Dasar penolakan FITRA atas rencana kenaikan gaji kepala daerah, karena selama ini lebih dari setengah APBD sudah terkuras untuk belanja pegawai. Bahkan dalam catatan FITRA pada 2011-2012, ada 11 daerah dengan belanja pegawai di APBD di atas 70 persen.
Artinya, kata Yuna, kalau gaji kepala daerah dinaikkan maka gaji 15.000 anggota DPRD se-Indonesia saat ini juga ikut naik. Karena mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2006 dan PP Nomor 21 Tahun 2007, kedudukan protokoler dan keuangan DPRD dihitung berdasarkan gaji pokok kepala daerah.
“Ini jelas akan kembali menguras anggaran daerah untuk kepentingan elit dan birokrasi, yang akan menyebabkan daerah bangkrut karena tidak mampu melakukan pelayanan publik sesuai tujuan otonomi daerah. Padahal sebelumnya pemerintah melakukan moratorium penerimaan PNS karena besarnya belanja daerah untuk birokrasi. Jadi rencana Presiden tersebut jelas-jelas menunjukan ketidakkonsistenan Pemerintahan SBY,” katanya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Komut Jamsostek, Denny Indrayana Bikin Curiga
Redaktur : Tim Redaksi