jpnn.com, JAKARTA - Juru Kampanye Urban Greenpeace Muharram Atha Rasyadi menyoroti soal produk galon sekali pakai.
Atha menilai, kampanye dengan menyebut galon sekali pakai sebagai produk ramah lingkungan, hanyalah sebuah gimmick.
BACA JUGA: Google Siapkan Casing Smartphone dari Daur Ulang Botol Plastik
Tanpa tegas, Atha menyebut klaim tersebut sekadar pencitraan.
“Hanya gimmick. Sebenarnya mereka hanya melakukan green washing artinya pencitraan bahwa mereka mengeluarkan produk ramah lingkungan,” jelas Atha dalam keterangannya, Jumat (27/12).
BACA JUGA: Bank Sampah Milik KLHK Hasilkan Rp 12 juta dalam 10 Bulan
Atha, metode kampanye yang dilakukan salah satu produsen air minum kemasan galon sekali pakai adalah trik umum yang sering digunakan industri dalam memasarkan produk.
Produsen membangun pesan bahwa produk tersebut aman dan ramah lingkungan.
BACA JUGA: Rekrutmen Guru PPPK 2021: Maaf, Permintaan Honorer K2 Ditolak
"Namun, harus didalami dulu, apa yang dimaksud dengan ramah lingkungan?” tanya Atha.
Dia menjelaskan, dilihat dari materialnya menggunakan plastik sekali pakai yang memang berbeda dengan material yang digunakan pada galon guna ulang.
“Untuk galon guna ulang memang menggunakan material yang berbeda dan didesain dapat digunakan berulang-ulang sehingga usia pakai jauh lebih panjang,” jelas Atha.
Untuk galon sekali pakai, meskipun menggunakan plastik jenis PET yang dapat didaur ulang, menurut Atha, bukan berarti produk tersebut dapat diklaim ramah lingkungan.
Salah satu yang harus menjadi perhatian adalah apakah galon sekali pakai tersebut sudah benar-benar terserap ke industri daur ulang.
Sebagaimana diketahui, hingga saat ini pengelolaan sampah di Indonesia belum berbasis pemilahan.
Dalam mengumpulkan dan memilah sampah plastik, sebagian besar masih harus mengandalkan sektor informal seperti pemulung.
“Jadi, persoalan galon ini, untuk bisa terserap, apakah harus dikumpulkan pemulung atau masyarakat secara aktif datang ke bank sampah terdekat? Namun, adakah yang mau menumpuk dulu galon sekali pakai baru kemudian disetorkan ke bank sampah?” imbuh Atha.
Belum lagi jumlah dan sebaran pemulung di Indonesia sangat tidak merata. Oleh karena itu, Atha mengingatkan industri untuk lebih berhati-hati dalam klaim produk.
“Harus ada tanggung jawab dari produsen atas kemasan dari produk yang dihasilkan yang tidak bisa terurai oleh alam. Ketika produsen mengenalkan produk baru, seharusnya mereka sudah menyiapkan skema take back dengan kapasitas yang harusnya sama dengan produk yang dikeluarkan,” tandasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad