"Suster, aku takut mati, tapi jika enggak kuat, boleh bunuh diri kah suster?"

Itu adalah sepotong kalimat dalam pesan yang dikirimkan Omar Fahd, seorang perancang busana di Tangerang, Banten, kepada seorang biarawati melalui Instagram.

BACA JUGA: Data Sensus di Australia Mempertemukan Kelompok Migran dalam Sebuah Klub Sepak Bola

Akhir Juni lalu, Omar dan tujuh orang lain di rumahnya terpapar COVID-19. Dalam tiga minggu, empat di antaranya meninggal dunia.

Ini adalah kedua kalinya Omar terpapar COVID-19, meski ia sudah divaksinasi.

BACA JUGA: UU Zona Aman, Cara Australia Lindungi Pelaku Aborsi dari Intimidasi

"Keadaan saya sudah enggak bisa ngerti apa-apa, karena saya juga mau membantu [tapi] dalam keadaan yang enggak bisa ngapa-ngapain," kata Omar.

Ia mengatakan itu adalah salah satu kesulitan yang ia hadapai,  saat ingin mengurus kematian, tapi untuk bisa berdiri pun ia tidak bisa.

BACA JUGA: Vietnam Kewalahan Hadapi Varian Delta setelah Sebelumnya Sukses Menahan Penularan COVID

Omar juga mengaku di saat menahan rasa sakit secara fisik, ia juga memendam rasa bersalah telah menularkan COVID-19 di rumahnya.

"Mental saya jatuh karena terlalu banyak yang meninggal di samping saya, sampai semua orang takut sama kita." Kecemasan di kalangan penyintas COVID-19

Selama pandemi, jumlah pasien dr Santi Yuliani, spesialis kejiwaan di RS Jiwa Prof. DR. Soerojo, Magelang bertambah hingga 30-40 persen.

Pasien-pasien yang ditanganinya adalah mereka yang terdampak kondisi pandemi, termasuk para penyintas COVID-19.

"Paling banyak kasusnya adalah kasus insomnia, gangguan tidur," kata dr Santi.

"Diikuti dengan kondisi gangguan panik atau panic attack, kemudian gangguan cemas menyeluruh atau generalised anxiety disorder, dan ada campuran antara cemas dan depresi, itu yang paling mendominasi."

Menurutnya adalah banyak pula pasien COVID-19 dengan gejala sedang dan berat yang mengalami trauma.

"Karena mereka paralysed [lumpuh], pernah merasakan betul-betul tidak bisa, betul-betul hopeless [tidak ada harapan], bernapas aja harus dibantu alat, itu kan benar-benar luar biasa buat mereka, dan traumatising [menimbulkan trauma] banget," ujar dr Santi.

Sementara pasien penyintas COVID-19 cenderung merasa cemas, karena takut tertular lagi atau mendapat stigma dari orang-orang sekitarnya, bahkan perasaan bersalah.

"Jadi dia merasa dirinya sebagai pembawa virus ke rumah, apalagi kalau misalnya dia OTG kemudian orangtuanya yang ada di rumah sakit berat, mereka biasanya [sikap] menyalahkan diri sendirinya kuat banget," katanya.

Diberitakan Kompas, pada 9 Juli lalu, seorang pria di Bekasi, Jawa Barat ditemukan meninggal dunia di rumahnya saat melakukan isolasi mandiri dengan dugaan bunuh diri.

Jumat lalu (06/08) pasien RS Murni Teguh di Medan Timur juga "melakukan upaya merusak kunci jendela dan mengeluarkan sebagian badannya keluar dan terkesan ingin menjatuhkan dirinya ke bawah", menurut keterangan rumah sakit tersebut.

Hasil survei oleh Penelitian Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDKSJI) tahun 2020 menunjukkan dari 4.010 responden, kelompok usia 18-29 tahun adalah yang memiliki "pikiran kematian terbanyak" akibat pandemi. Beban berat tambahan bagi anak muda

Meski pandemi sudah berlangsung selama lebih dari setahun, baru dalam sebulan terakhir Niken Mawar merasakan dampak pada psikologisnya.

"Jadwal tidur saya jadi berantakan ... saya suka tiba-tiba nangis pas dua minggu pertama [PPKM] dan itu tidak cuma terjadi malam, kadang lagi nonton atau bengong tiba-tiba nangis," ujar Niken yang berusia 24 tahun.

Niken berharap untuk mendapatkan pekerjaan di bidang yang sesuai dengan mata kuliahnya yaitu psikologi.

Namun, hingga detik ini, belum ada satu pun kabar dari ratusan lamaran pekerjaan yang dikirimkannya.

"Saya jadi merasa tambah tertekan, gampang overthinking, apalagi mikirin masalah karir, rencana-rencana yang sudah saya bikin jadi berantakan," kata Niken yang sempat berkonsultasi dengan psikolog.

"Kehidupan sosialnya juga terhambat, jadi gampang ngerasa kesepian dan harus adaptasi sama pola komunikasi yang baru."

Menurut dr Santi pandemi memahami kondisi seperti yang dialami Niken.

"Ini tuh berat untuk anak muda. Dari mereka yang biasa hangout, punya aktualisasi diri di luar, dan kemudian mereka harus menghentikan segalanya dan harus tinggal di dalam rumah," katanya.

Belum lagi bagi anak muda yang kehilangan jam kerja atau pekerjaannya yang membuat stabilitas perekonomiannya terganggu.

"Ini stressor sendiri, karena anak-anak muda ini lagi memulai hidup, bayar cicilan, kemudian harus nabung, menyisakan sebagian uang untuk rekreasi ... dan ini tidak terjadi, tidak bisa dilakukan, karena pekerjaan mereka jamnya dikurangi," kata dr Santi. Mengalihkan kepada kebaikan

Pengalaman isolasi mandiri saat menderita COVID-19 meninggalkan trauma bagi Omar bahkan hingga saat ini.

"Ketika saya misalnya ada gejala demam sedikit, saya sudah ketakutan," kata Omar.

Setelah 21 hari berjuang melawan COVID-19, ia sembuh berkat dukungan dari kerabat jauhnya yang mengirimkan bantuan tabung oksigen maupun makanan. 

Kebaikan ini memunculkan ide di benak perancang busana tersebut untuk melakukan kebaikan cuma-cuma.

Ia secara sukarela menjahit kantung jenazah COVID-19 dan membagikan makanan gratis bagi warga yang sedang isolasi mandiri.

"Sekarang yang sudah diberikan 25 kantong jenazah ... [dan] bikin yang awalnya cuman 20 kotak nasi ayam, kemarin [jadi] 70," katanya.

"Saya cuma berterimakasih sama Tuhan waktu saya sakit dan waktu saya dalam keadaan tidak berdaya, Tuhan kirimin orang-orang yang luar biasa, dan itu membuat semangat hidup saya bangkit. 

Omar juga bercerita tentang beberapa temannya yang merasa putus asa karena sulit mendapat kerja, atau ketika usahanya puluhan kali digusur karena melanggar aturan PPKM.

"Mereka sempat berperilaku aneh," katanya.

Tapi menurutnya mencoba mencari akses ke layanan psikologi bukan yang pertama kali muncul di benak mereka, karena mereka lebih memilih untuk bisa bertahan, seperti mendapatkan bahan makanan.

Melihat fenomena seperti ini, ditambah akses layanan yang terbatas, dr Santi memutuskan untuk memberikan edukasi di jejaring sosial. 

"Karena ingin memberikan informasi gratis untuk teman-teman yang tidak mampu akses ranah kesehatan dan tidak mampu bayar psikolog atau psikiatri," katanya.

"Saya sangat menyadari kemungkinan untuk mengakses professional help terutama psychiatrist itu susah, kemudian dengan ada kolom komentar itu kan mereka bisa berkonsultasi secara gratis ya, dalam tanda petik sebenarnya."

Sementara bagi yang tidak memiliki akses media sosial, dr Santi menyarankan mereka bisa mengakses tenaga profesional di puskesmas menggunakan BPJS. Lalu, bagaimana cara menenangkan diri sendiri?

Dokter Santi mengingatkan, bila mulai merasa panik, seseorang harus memahami dan menerima dulu apa yang terjadi dengan mereka.

"Terima dulu. Cemas dan depresi itu merupakan hal normal. Sedih itu merupakan respon normal saat kita mengalami suatu pandemi," kata dr Santi.

Setelah itu, coba menganalisis area mana yang terganggu.

"Oh, saya terganggu di daerah fisik ... berarti saya harus melakukan peningkatan kesehatan tubuh supaya tidak terganggu lagi," katanya.

"Apalagi yang terganggu? Oh ternyata pikiran saya yang terganggu, maka saya harus berlatih mengendalikan metode berpikir tentang apa yang bisa saya lakukan hari ini dan mencari solusi yang bisa dilakukan saat ini, ketimbang berpikir tentang masa depan yang belum tentu dan belum pasti."

Itulah salah satu cara terbaik menurut dr Santi, agar tidak mengkhawatirkan apa yang terjadi besok hari.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rangking FIFA Terbaru: Italia dan Argentina Naik Peringkat, Bagaimana Indonesia?

Berita Terkait