jpnn.com - JOGJA – Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo membantah tudingan yang menyebutkan bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIJ diskriminatif. Ganjar yang juga mantan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUUK DPR menegaskan, penulisan daftar riwayat istri di UUK sesuai dengan kultural di Kasultanan Jogja.
”Memang dibuat seperti itu. Itulah istimewanya. Karena belum bisa kulturnya (paugeran Keraton) menerima perempuan (menjadi raja),” tandas politikus PDIP ini, usai penandatangan MoU tiga provinsi, DIJ, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dalam menata Geopark Gunung Sewu, di Kepatihan, Jogja, kemarin (17/2).
BACA JUGA: Terlibat Pembunuhan, Polisi Berpangkat Briptu Dituntut 15 Tahun Bui
Ganjar menegaskan, di UUK tersebut memang menutup peluang raja perempuan. Ini karena sesuai paugeran di Keraton Jogja juga selama ini belum pernah ada raja perempuan.
”Kulturalnya kan begitu,” tegasnya dilansir Radar Jogja (Grup JPNN.com), Kamis (19/2).
BACA JUGA: Dewan Desak Bupati Sleman Setop Pembangunan Hotel dan Mal
Jika hal itu dikatakan diskriminatif, Ganjar pun dengan tegas menolak. Sebab, saat pem-bahasan RUUK di Senayan silam, pihaknya melibatkan berbagai pakar. Termasuk masyarakat untuk duduk membahas masalah ini.
”Semua elemen masyarakat dilibatkan, sejarawan dilibatkan, paugeran kita sampaikan,” tambahnya.
BACA JUGA: Polisi Pastikan Surat Penghentian Kasus Korupsi Gerobak Palsu
Dia menolak jika penulisan di pasal 18 ayat 1 huruf M UUK, menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat pendidikan, anak, istri, dan saudara kandung, sebagai bentuk diskriminasi. Penulisan itu sudah mempertimbangkan paugeran Keraton yang selama ini men-jadi acuan.
”Lho kan kita bicara kultural. Diskriminasi gimana?” sesalnya.
Penulisan di UUK itu, kata Ganjar, sudah final. Artinya, UUK ini harus benar-benar menjadi acuan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais).
”Ikuti saja perdais. Kalau tidak mengikuti, rawan gugatan,” ujarnya.
Permintaan Ganjar kepada wakil rakyat di DPRD DIJ tam-paknya tak sejalan dengan sikap Fraksi PDIP. Fraksi banteng moncong putih ini malah mendukung penghapusan klausul tersebut. Ini karena jika tetap ditulis sama dengan UUK, Ra-perdais nanti diskriminatif.
”Supaya tidak diskriminasi, cukup riwayat hidup titik. Pengangkatan diserahkan ke Keraton,” tutur Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD DIJ Dwi Budiantoro.
Dia menjelaskan, jabatan raja merupakan wewenang Keraton. Pansus, usulnya, sebaiknya tak perlu masuk ke ranah tersebut.
”Jangan sampai dewan digeret-geret internal Keraton,” tandasnya.
Sikap berseberangan PDIP DIJ ini tak menjalar di fraksi lain, yakni yakni Golkar, PAN, PKS, dan Pembangunan Demokrat (gabungan PPP dan Demokrat). Wakil Ketua Fraksi Golkar DPRD DIJ Agus Subagyo menjelaskan, pihaknya tetap berpedoman dengan UUK.
”Kami tidak akan memangkas (klausul riwayat istri). Kami khawatir itu bertentangan dengan UUK,” lanjutnya.
Anggota Fraksi PAN, Sutata, berpandangan sama. Menurutnya, pihaknya akan konsisten sesuai bunyi pasal 18 ayat 1 UUK DIJ.
”Logika hukum itu kalau menambahkan penjelasan boleh, tapi enggak boleh mengubah dan mengurangi UU yang lebih tinggi,” ujarnya.
Politikus PPP yang juga Ketua Fraksi Persatuan Demokrasi Edi Susilo tak setuju dengan penghapusan itu. Menurutnya, Keraton Jogja tak bisa dilepaskan dari sejarah Mataram Islam. Dalam tradisi mataram Islam tak pernah satu pun ratu bertakhta.
”Jadi ini menjadi tugas pansus, karena mereka sebenarnya dihadapkan dengan sejarah panjang Mataram Islam. Jika menghapusnya, maka itu akan memutarbalikkan sejarah,” tandasnya.
Ketua Fraksi PKS Arief Budiono mengatakan, fraksinya tetap memasukkan klausul itu. PKS tak mau menyalahi tata perundang-undangan dengan menghapus klausul riwayat istri.
”Kami akan patuhi. Suara PKS bulat tetap sama dengan UUK,” tambah Arief. (eri/laz/ong/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bocah 2,5 Tahun Diduga Keracunan Apel Berbakteri
Redaktur : Tim Redaksi