jpnn.com, BOGOR - Hingga kini, Peraturan Daerah Nomor 10/2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Kota Bogor masih dalam kajian Mahkamah Agung (MA) setelah para pedagang tradisional wilayah Bogor mengajukan gugatan melalui uji meteriil (judicial review).
Perda tersebut memuat poin pelarangan pemajangan produk rokok. Padahal tidak ada satupun peraturan nasional yang melarang pemajangan produk rokok, termasuk aturan di atasnya yakni PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
BACA JUGA: Rokok Elektrik Dinilai Kurang Berbahaya Ketimbang Rokok Biasa
Menanggapi situasi tersebut, Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) berharap agar Perda KTR Bogor dapat dievaluasi secara menyeluruh.
“PP 109 Tahun 2012 seharusnya bisa dijalankan dengan baik. Jadi, jangan membuat peraturan yang eksesif melebihi aturan di atasnya ya. Kalau sudah jadi preseden buruk, malah lebih ramai lagi,” jelas Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti di Jakarta (15/2).
BACA JUGA: Untuk Para Perokok, Ucapkan Selamat Tinggal pada 6,2 Juta Batang Rokok Ini
Moefti menambahkan, semua pabrikan rokok anggota Gaprindo selalu taat pada peraturan Pemerintah. Untuk itu, Perda KTR Bogor diharapkan tidak terlalu keras agar tidak menimbulkan ketidakpastian usaha.
“Iklan rokok di KTR sebaiknya dibolehkan dan rokok juga masih bisa dipajang karena rokok itu barang legal,” katanya.
BACA JUGA: Tagar Rokok Elektrik Bukan Penjahat Sempat Viral
Sesuai PP 109/2012, jual-beli rokok merupakan usaha yang legal kegiatannya, promosinya, iklannya dan produksinya. Hal ini disepakati kembali dalam kesepakatan non litigasi yang difasilitasi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Dalam PP 109/2012, penjual tetap diperbolehkan untuk memajang produk rokok di lokasi penjualan, sementara Perda KTR Bogor tidak selaras dengan poin tersebut. Sejatinya, aturan KTR dibuat untuk “membatasi” bukan “melarang”. Pasalnya, saat ini tidak ada undang-undang dan peraturan pemerintah yang melarang keberadaan produk rokok dan iklan rokok.
Sementara itu Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) R. Gani Muhamad menilai proses judicial review Perda KTR Bogor di Mahkamah Agung (MA) merupakan langkah yang tepat.
“Secara yuridis ini merupakan hak setiap orang untuk menggugat produk hukum daerah khususnya perda,” ujarnya.
Sebelumnya, Perda KTR Bogor masuk dalam kategori bermasalah menurut kajian yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi daerah (KPPOD). Dalam kajian tersebut, perda tersebut bertentangan secara substansif dengan PP 109/2012.
“Kalau ada pasal-pasal yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, itu harus bisa dibuktikan,” ujar Gani. Dia berpendapat, jika ada pihak-pihak yang keberatan atau dirugikan karena perda tersebut, isi pasal yang bermasalah itu layak untuk diuji kembali.
Apabila nanti ditemukan atau diputuskan bahwa ternyata perda tersebut salah, pemerintah daerah harus mengikuti dan melaksanakan keputusan MA. “Saya yakin MA adalah lembaga paling kompeten dalam hal ini dan analisisnya pasti menyeluruh dan menjamin keadilan di masyarakat,” ucapnya. (mg8/jpnn)
Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha