Gara-Gara Politikus Rusia, Kericuhan Pecah di Ibu Kota Georgia

Sabtu, 22 Juni 2019 – 15:10 WIB
Bentrok antara demonstran dengan aparat keamanan di ibu kota Georgia, Tbilisi, Kamis (20/6). Foto: Reuters

jpnn.com, TBILISI - Ibu kota Georgia, Tbilisi, negara pecahan Uni Soviet, tiba-tiba menegang Kamis malam lalu (20/6). Sepuluh ribu warga yang mengepung halaman gedung parlemen Georgia diusir paksa. Mereka dianiaya aparat karena menolak bubar sampai tuntutan mereka dipenuhi.

Tak ada yang menyangka kericuhan bakal terjadi pada pergantian malam itu. Sebab, aksi yang dilakukan masyarakat berlangsung damai. Selain upaya memasuki gedung parlemen yang gagal pada sore hari, mereka tak pernah memprovokasi atau menyerang aparat.

BACA JUGA: PPP: Aksi Alumni 212 di Gedung MK Hanya Akan Memperkeruh Suasana

Yang keluar hanyalah ejekan bagi Sergei Gavrilov, Rusia, dan slogan pro-Uni Eropa. Mereka berada di sana memang untuk memprotes keberadaan Gavrilov, legislator Rusia, dalam forum Interparliamentary Assembly on Orthodoxy (IAO). Kabarnya, dia diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato pembukaan dan duduk di kursi ketua parlemen.

"Ini adalah tamparan bagi rakyat Georgia," ujar Elene Khoshtaria, anggota parlemen fraksi oposisi, kepada BBC.

BACA JUGA: Terungkap, WN Rusia dan Ukraina Tembak Jatuh MH 17

BACA JUGA: Gubernur Anies Dinilai Sangat Berperan Meredam Kericuhan 22 Mei

Georgia memang punya sejarah pahit dengan Rusia. Kedua negara pernah terlibat dalam perang perebutan dua wilayah, Abkhazia dan Ossetia Selatan, pada 2008. Georgia kalah dan gagal merebut kembali daerah-daerah tersebut hingga saat ini. Karena itulah, mereka mengamuk saat tahu ada politikus Rusia yang dijamu parlemen.

BACA JUGA: Janji Manis Pemimpin Hong Kong setelah Sepekan Penuh Dihajar Demonstrasi

Kericuhan tersebut mengakibatkan 240 orang terluka. Lebih dari 100 orang masih dirawat di rumah sakit. Bahkan, salah seorang dokter mengatakan bahwa dua pasiennya kehilangan mata mereka.

"Sangat memalukan. Aparat gagal menghormati HAM dan menggunakan kekerasan," ujar Giorgi Gogia, direktur wilayah Eropa dan Asia Tengah Human Rights Watch.

Kericuhan tersebut membuat forum lintas negara penganut Kristen Ortodoks itu ditunda. Gavrilov pun langsung dikawal kembali ke Rusia. Kepada kantor berita TASS, dia menyesalkan kericuhan yang terjadi. Menurut dia, masyarakat Georgia termakan hoax yang mengatakan bahwa dirinya terlibat dalam perebutan Abkhazia. "Saya tak pernah terlibat aksi militer apa pun," tegasnya.

Gavrilov juga mengaku marah terhadap politisi oposisi. Menurut dia, mereka adalah kaum barbar yang tak tahu etika politik. "Mereka tiba-tiba saja memasuki aula mengambil alih mimbar. Saya disiram dengan air," ungkapnya menurut CNN. Kemarin pemerintah berusaha menenangkan rakyat. (bil/c17/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gelombang Demonstrasi Membesar, Hong Kong di Ambang People Power


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler