Garuda Indonesia menganggap putusan Pengadilan Federal Australia terkait dakwaan terlibat dalam kasus kartel dengan berbagai maskapai lainnya tidak adil. Maskapai BUMN ini juga membantah pihaknya melakukan praktek pengaturan harga atau price fixing dalam bisnisnya. Poin utama: Garuda anggap putusan Pengadilan Australia tidak adil dan membantah tuduhan kartel Garuda mengatakan denda yang dijatuhkan seharusnya tak lebih dari dari $AUD 2,5 juta (atau setara Rp 25 miliar), bukannya $AUD 19 juta (sekitar Rp 190 miliar) Dari 15 maskapai yang dituduh, hanya Garuda Indonesia dan Air New Zealand yang mengajukan upaya hukum

BACA JUGA: Karena Carpal Syndrome, Pemegang WHV Indonesia Ini Buka Bisnis di Australia

Maskapai nasional Indonesia ini, dalam keterangan persnya, menyebut bahwa denda yang seharusnya muncul akibat perkara ini tidak lebih dari $AUD 2,5 juta (atau setara Rp 25 miliar), bukannya $AUD 19 juta (sekitar Rp 190 M) seperti yang divonis Pengadilan Australia.

Pihak Garuda menyatakan perkiraan nilai denda itu didasarkan pada pendapatan pengangkutan kargo Garuda dari Indonesia, pada saat kejadian perkara ini terjadi, hanya sebesar USD 1,098,000 (atau setara Rp 15,9 miliar) dan pendapatan pengangkutan kargo dari Hong Kong sebesar USD 656,000 (atau setara Rp 9,5 miliar).

BACA JUGA: Australia Ungkap Wilayah Dengan Tingkat Merokok Terparah

Garuda juga telah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Australia di Indonesia secara intensif sejak tahun 2012 dan dengan Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Indonesia, sejak tahun 2016.

"Kasus hukum ini menyangkut 'interstate diplomacy' (diplomasi antar negara)," tulis garuda dalam siaran pers yang diterima ABC (31/5/2019).

BACA JUGA: Berpuasa Saat Bekerja di Ketinggian Turbin Angin di Australia

"Garuda Indonesia sebelumnya juga telah berkoordinasi secara rutin dengan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Indonesia."

Kepada ABC, VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, M. Ikhsan Rosan, mengatakan kasus yang awalnya membelit 15 maskapai itu merupakan kasus lama yang terjadi pada periode 2003 hingga 2006 lalu.

Putusan itu dinilainya belum berkekuatan hukum tetap dan masih ada celah hukum yang memungkinkan untuk melakukan banding.

Manajemen Garuda sendiri saat ini sedang menggodok kemungkinan upaya banding tersebut.

"Belum (memutuskan untuk banding). Kami sedang berdiskusi di internal untuk memutuskan langkah terbaik apa yang harus diambil untuk perusahaan," ujar Ikhsan melalui pesan teks.

Pengadilan Federal Australia mengatakan bahwa antara tahun 2003 dan 2006, Garuda Indonesia setuju untuk melakukan kesepakatan yang menetapkan tarif biaya keamanan dan biaya bahan bakar, serta biaya bea cukai dari Indonesia.

Oleh karena itu, Garuda dikenai denda $AUD 15 juta dan tambahan denda $AUD 4 juta karena penerapan tarif asuransi dan bahan bakar dari Hong Kong.

Selain maskapai Indonesia ini, maskapai lainnya yang dituduh adalah Air Zealand, Qantas, Singapore Airlines, dan Cathay Pacific.

Namun hanya Garuda Indonesia dan Air New Zealand yang mengajukan upaya hukum sejak tingkat pertama Pengadilan Australia sampai dengan Kasasi ke Pengadilan Tinggi Australia.

"Tiga belas airline lain memutuskan untuk melalui mekanisme perdamaian dengan mengaku bersalah, dan telah dikenai denda dan jumlah ganti rugi mulai dari AUD 3 juta sampai dengan AUD 20 juta," rinci Garuda dalam keterangan resminya.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Tetapkan Upah Minimum Rp 7,5 Juta Seminggu

Berita Terkait