jpnn.com, JAKARTA - Cobalah semua mulai berpikir jernih meratapi tragedi kemanusiaan atas nama sepak bola di Kanjuruhan, Malang.
Bahwa panitia pelaksana salah, memang iya, karena jumlah penonton yang masuk melebihi kapasitas Stadion Kanjuruhan.
BACA JUGA: Ketua Panpel Arema FC Dihukum Seumur Hidup Tak Boleh Beraktivitas di Sepak Bola Indonesia
Bahwa LIB dan PSSI salah, memang ya, karena 'memaksakan' pertandingan super-derby panas dilaksanakan pada malam hari demi "melayani" TV partner yang mengejar rating sebagai mahadewa dunia pertelevisian.
Terhadap "kesalahan" tersebut, sudah cukup impaskah dihukum dengan desakan mundur para pemangku kepentingan itu?
BACA JUGA: Kusnaeni Minta Semua Pihak Bersabar Menunggu Hasil Investigasi Tragedi Kanjuruhan
Cukup impaskah kematian ratusan orang tidak berdosa itu ditukar dengan sikap mundur seluruh pengurus PSSI?
Menurut saya tidak, karena sekali lagi ini tragedi kemanusiaan yang disengaja sehingga gas air mata menewaskan ratusan orang tidak berdosa.
BACA JUGA: Polisi Akui Kesulitan Mengungkap Kasus Pembunuhan yang Menewaskan Ibu & Anak di Kuansing
Coba bandingkan dengan kejadiaan hampir serupa saat para Bonek marah karena Persebaya kalah saat menjamu RANS Nusantara FC di Gelora Sidoarjo pertengahan September lalu.
Kronologi dan pemicunya sama: suporter marah karena tim kebanggaannya kalah, lalu masuk ke lapangan dan merusuh dengan merusak seluruh properti stadion.
Namun, saat Bonek mengamuk itu tidak ada tindakan berlebihan dari aparat, apalagi menghajar perusuh dengan anarkistis maupun menembakkan gas air mata.
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Kerugian materielnya pun mudah dihitung dengan kalkulator.
Kejadian yang hampir mirip terjadi pada Juni lalu ketika dua Bobotoh meninggal dunia karena berdesakan saat hendak menyaksikan laga Persib vs Persebaya. Saat itu polisi bertindak untuk mengatasi kerusuhan, tetapi tidak ada gas air mata.
Ada simpulan jelas dari kedua fakta itu untuk dikomparasikan dengan insiden Kanjuruhan: andai tidak ada senjata bernama gas air mata, hampir dipastikan tidak akan terjadi tragedi kemanusiaan tersebut.
Terlalu kecil urusannya jika disederhanakan menjadi upaya untuk "memaksa" para pemangku kepentingan di sepak bola Indonesia -dalam hal ini pengurus PSSI- untuk bertanggung jawab dengan mundur!
Tragedi kemanusiaan yang sudah seperti pembunuhan massal haruslah diurai sampai yang paling kecil. Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab.
Kenapa harus dengan gas air mata? Siapa yang melepaskannya? Siapa yang memberi perintah penggunaan gas air mata? Atas dasar dan SOP apa sehingga gas air mata itu digunakan? Benarkah kematian ratusan penonton itu karena gas air mata? Dan seterusnya....
Semua persoalan itu haris diurai secara mendalam, transparans, dan imparsial.
Sekali lagi, terlalu kecil jika yang dipikirkan sanksi FIFA, batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, 'tiji tibeh' untuk seluruh pengurus PSSI, atau bahkan sampai tidak ada sepak bola lagi di Indonesia!
Terlalu kecil pula jika persoalan itu direspons dengan vonis penghentian kompetisi.
Sungguh, satu nyawa sekalipun tidak sebanding dengan euforia pencinta sepak bola.
Seharusnya kematian ratusan orang dalam waktu hampir bersamaan di tempat (locus) yang sama sudah layak menjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. Negara harus menangani masalah itu secara tegas dan lugas.
Sungguh, saya ikhlas lahir dan batin tidak akan mengurus sepak bola lagi jika itu sudah impas dengan duka dan air mata keluarga korban tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan.
Meminjam istilah populer di kalangan warga Jatim: 'gak dadi pengurus PSSI, gak pathek'en' jika sepak bola yang semestinya menjadi hiburan berubah jadi kuburan.
Ojo dibanding-bandingke alias jangan membanding-bandingkan kerusuhan saat laga Peru vs Argentina pada 1958, Tragedi Heysel di Belgia pada 29 Mei 1985, bentrok suporter di negara lain, dengan tewasnya Bobotoh maupun Tragedi Kanjuruhan.
Sekali lagi Tragedi Kanjuruhan bukanlah peristiwa sepak bola ataupun kerusuhan suporter vs hooligan.
Tragedi Kanjuruhan adalah peristiwa kemanusiaan, lebih tepatnya rakyat vs polisi. Ini pelanggaran HAM berat.(jpnn.com)
*Penulis adalah pegiat sepak bola
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi