Gawat, Dewan Moneter Berpotensi Jadi Pintu Masuk Kepentingan Politik ke Bank Indonesia

Sabtu, 12 September 2020 – 22:33 WIB
Bank Indonesia. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai terdapat sisi negatif atas rencana pembentukan Dewan Moneter seperti tertuang di dalam revisi UU Nomor (RUU) 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Dia pun menyinggung jejak sejarah dari pembentukan Dewan Moneter. Masuknya kepentingan politik ke dalam tubuh bank sentral, pernah terjadi ketika Dewan Moneter terbentuk pada 1953.

BACA JUGA: Reaksi Said Abdullah Ketika Baleg DPR Kebut Proses Revisi UU Bank Indonesia

Dari pembentukan yang lalu, kata Anthony,  campur tangan politik di tubuh Bank Indonesia, membuat sektor perekonomian berantakan.

Anthony mengungkapkan itu dalam diskusi virtual bertajuk Pembentukan Dewan Moneter: Skenario Merancang BI menjadi Kasir Pemerintah dan Penalang Bank Bermasalah?" yang diselenggarakan Forum Tebet (Forte), Jumat (11/9).

BACA JUGA: Bank Indonesia Gandeng Kemendikbud, Mahasiswa Bisa Bekerja di BI

"Kami tahu Menteri Koordinator Perekonomian sudah ketua umum partai politik. Apakah Menteri Keuangan steril dari partai politik? Itu kami pertanyakan. Kalau tidak steril itu agak susah dan itu pasti ada kepentingan," tutur dia.

Menurut Anthony, pemisahan kepentingan politik dalam bank sentral sejatinya sudah menjadi standar internasional. Tanpa pemisahan, dia khawatir, kepentingan politik tersebut membuat kasus dana talangan (bailout) bisa berulang.

BACA JUGA: Menyoal Revisi UU Bank Indonesia

"Bagaimana kalau kepentingan politik masuk ke BI? Bagaimana kalau ada perusahaan yang harus bailout, yang seharusnya likuidasi, tetapi dengan itu (bailout) dia harus minta uang terus (ke BI)," ujar dia.

Selain itu, lanjut Anthony, usulan pembentukan Dewan Moneter dalam RUU Nomor (RUU) 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga dapat menghancurkan sistem moneter di Indonesia.

"Ahli moneter pun dalam Dewan Gubernur sekarang ini terdiri dari sekian orang, (dalam RUU) ini terdiri dari beberapa orang saja dan nanti yang memutuskan Menteri Keuangan," kata dia.

Dalam RUU BI yang disampaikan Badan Legislatif DPR, Dewan Moneter terdiri dari Menteri Keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, gubernur BI, deputi gubernur senior BI, dan ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

Susunan anggota tersebut serupa dengan Dewan Moneter pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Kala itu, keberadaan Dewan Moneter tersebut, menurut Anthony, justru memperburuk kondisi ekonomi.

Secara terperinci, kata Anthony, inflasi tinggi terjadi pada 1973 sebesar 31 persen, pada 1974 sebesar 40 persen, pada 1976 sebesar 20 persen, dan 1975 sebesar 19 persen. 

Tren inflasi tinggi terus berlangsung hingga mencapai 58 persen pada 1998 saat krisis moneter terjadi. Kemudian, nilai tukar rupiah anjlok dari kisaran Rp2.400 menjadi Rp16 ribu per dolar AS.

"Kemudian Covid-19 datang, fiskal bangkrut, tetapi yang diutak-atik adalah moneter dibentuk lagi Dewan Moneter, ini kami kembali jadi primitif lagi," ujar Anthony.

Senada dengan Anthony, Head of Research Data Indonesia, Herry Gunawan juga menilai bahwa rencana menyatukan fungsi moneter Bank Indonesia (BI) di bawah Menteri Keuangan bisa merusak independensi BI selaku bank sentral.

"Seharusnya DPR juga digabungkan menjadi bagian pemerintahan, karena fungsi legislatif sudah dikangkangi dengan adanya Perppu penanganan Covid-19. Kemudian sekarang BI juga akan digabungkan menjadi dewan moneter," ujar Herry.

Dia menandaskan, apabila BI di bawah Menkeu nanti akan berujung pada intervensi DPR. Di sisi lain, saat ini BI memiliki independensi tanpa intervensi dari pemerintah ataupun DPR.

Namun demikian, apabila di bawah Menteri Keuangan tidak ada lagi jaminan keputusan BI akan steril dari pengaruh partai politik.

"Dalam praktik internasional sudah teruji independensi BI adalah yang terbaik. Kekuasaan harus dibagi seperti prinsip trias politica. Namun sekarang pemerintah mulai berlebihan," kata Herry Gunawan.

Dalam kesempatan yang sama, ekonom senior Indef Enny Sri Hartati juga mengatakan revisi RUU BI dibutuhkan untuk hal-hal selain merusak independensi BI. 

Salah satu yang didorong dalam revisi UU BI adalah mandatori peran BI untuk menciptakan lapangan kerja seperti yang diperankan oleh The Fed di AS.

"Revisi UU BI dibutuhkan untuk fungsinya seperti akuntabilitas atau integritas, tetapi bukan mengamputasi independensi BI. Jadi, harus menambah peran BI untuk menciptakan lapangan kerja sehingga kebijakannya lebih kuat di sektor riil," tukas Enny. 

Sebagai infromasi, baru-baru ini santer isu pemerintah bakal membentuk dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan. 

Rencana pembentukan ini diketahui berasal dari bahan paparan matriks persandingan oleh Tim Ahli Badan Legislasi DPR dalam rangka revisi Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (BI). (ast/jpnn)


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler