jpnn.com, LOMBOK - Nahdlatul Ulama (NU) akan menggelar musyawarah nasional dan konferensi besar (Munas dan Konbes) di Lombok pada 23-25 November mendatang.
Pada kegiatan ini NU membahas Rancangan UU KUHP dan sejumlah RUU lainnya yang menjadi perhatian publik.
BACA JUGA: Warga NU hingga MUI Minta PAN Dukung Deddy Mizwar
Ketua Panitia Munas Robikin Emhas menjelaskan, UU yang sudah berlaku sejak zaman Belanda ini hingga kini belum direvisi, sementara situasi yang ada saat ini sudah sangat berbeda dibandingkan dengan saat UU tersebut dibuat.
Sebenarnya, sejak 1968, dalam setiap periode DPR, UU tersebut selalu dibahas, tetapi tidak pernah selesai. Ia berseloroh, RUU ini selalu tidak jadi karena termasuk UU yang “kering” sehingga tidak ada yang ngurus.
BACA JUGA: NU Tingkatkan Intensitas Dakwah untuk Masyarakat Perkotaan
Hal ini berbeda dengan RUU terkait dengan politik yang setiap lima tahun berganti karena ada kepentingan dari partai politik dalam perebutan kekuasaan.
Terdapat tema keagamaan dan kebangsaan yang dibahas dalam Munas dan Konbes. Sebelum dibawa ke forum tersebut, tema-tema serius tersebut dibahas dalam pra-Munas dan Konbes yang berlangsung di berbagai daerah, yaitu di Palangkaraya, Lampung, Manado, dan Purwakarta.
BACA JUGA: Yenny Wahid: UN Itu Lembaga Dunia, Kalau NU Lembaga Akhirat
Beberapa masalah lain yang dibahas adalah adalah penyalahgunaan frekuensi publik yang dijadikan alat kampanye golongan tertentu dan soal investasi dana haji agar produktif.
“Status dan hak anak di luar nikah juga dibahas setelah ada keputusan MK bahwa orang tua biologisnya memiliki tanggung jawab. NU membahas dalam perspektif keagamaan,” kata Robikin.
Robikin juga menjelaskan adanya pembahasan soal fikih disabilitas, yaitu bagaimana negara memperlakukan warga negara yang selama ini memiliki ketidaksempurnaan anggota tubuh. Fasilitas ibadah di masjid, geraja dan tempat ibadah lainnya ternyata belum ramah bagi mereka.
Persoalan ujaran kebencian untuk berdakwah juga akan dibahas mengingat saat ini begitu marak ketika mimbar-mimbar keagamaan digunakan untuk menebarkan kebencian edan fitnah kepada orang lain atau untuk menggalang dukungan politik. “NU akan membahas hukum, bagaimana penggunaan mimbar yang mulia untuk ujaran kebencian,” ujarnya.
Tak kalah penting adalah soal redistribusi lahan. PBNU akan membahas masalah ini karena berharap sebelum diselesaikan, konsepnya dahulu harus matang, baru dilakukan redistribusi lahan karena hal ini bukan hanya soal soal sertifikasi tanah atau bagi-bagi tanah, tetapi juga menjadi sarana pencapaian kesejahteraan masyarakat.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kepada Nahdiyin, Ini Instruksi Kiai Said terkait Perpres PPK
Redaktur & Reporter : Budi