jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Founder IndoSterling Group William Henley
Idulfitri telah lewat. Sebagaimana umumnya ritual Lebaran, kali ini antrean berjamaah terjadi pada arus balik yang mencapai puncaknya pada Minggu (9/6) malam.
BACA JUGA: Laju Ekonomi Berpotensi Terhambat Ekspor dan Investasi
Namun, esensi Lebaran bukan sekadar ritual keagamaan semata, melainkan momen dengan potensi ekonomi yang sedemikian masif.
Bank Indonesia (BI) bahkan mencatat jumlah penukaran uang oleh masyarakat sejak 13 Mei sampai 31 Mei 3019 sudah mencapai Rp 187,2 triliun.
BACA JUGA: Pemilu Lancar Salah Satu Faktor Penunjang Tumbuhnya Perekonomian
Angka itu setara 86,22 persen dari jumlah uang yang disiapkan pada periode Ramadan-Lebaran 2019 sebesar Rp 217,1 triliun.
Lalu, bagaimana memaknai Lebaran dari sudut pandang perekonomian Indonesia ke depan, baik untuk jangka pendek maupun panjang?
BACA JUGA: Ekonomi Membaik, Tren Buka Puasa di Hotel Meningkat
Pertumbuhan ekonomi
Tanpa menghitung pelaku usaha lain, termasuk dari kalangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), konsumsi dari kalangan pegawai diyakini bakal menggerakkan perekonomian.
Sebagai gambaran, mayoritas pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai swasta memperoleh cuti bersama pada 3,4, dan 7 Juni. Dengan demikian, mereka baru kembali masuk kerja secara normal pada 10 Juni mendatang, setelah terakhir masuk pada 31 Mei 2019.
Durasi waktu libur selama sembilan hari tentu tak dilalui dengan tangan kosong. Sudah ada bekal berupa tunjangan hari raya (THR) yang dicairkan maksimal H-7 Lebaran.
THR plus gaji itulah yang tentu menjadi motor penggerak ekonomi, terutama dari sisi konsumsi. Baik dari pembelian kebutuhan primer maupun nonprimer seperti berlibur ke tempat wisata.
Tahun ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen. Pada triwulan pertama lalu, perekonomian tumbuh pada level 5,07 persen.
Demi mencapai target 5,2 persen, maka mau tak mau ekonomi triwulan kedua ini harus tumbuh minimal 5,33 persen. Berat, tetapi bukan tak mungkin dapat digapai mengingat derasnya konsumsi sepanjang tiga bulan kedua 2019.
Selain efek THR plus gaji para PNS dan swasta, faktor pendorong lain adalah inflasi yang terjaga. Di luar tiket pesawat yang masih mahal, harga bahan pangan relatif terkendali.
Kemenko Perekonomian pun telah melaporkan inflasi berada pada rentang 0,5-0,6 persen.
Jangka menengah-panjang
Penjelasan singkat di atas merupakan efek jangka pendek dari dampak pelaksanaan Lebaran terhadap aktivitas ekonomi. Lalu, bagaimana untuk jangka menengah dan panjang?
Sudah menjadi sesuatu yang lazim, seusai Lebaran, ada fenomena tahunan yang tampak nyata, yaitu urbanisasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), urbanisasi memiliki dua definisi. Pertama, perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan).
Kedua, perubahan sifat suatu tempat dari suasana (cara hidup dan sebagainya) desa ke suasana kota. Pertanyaan kemudian akan timbul.
Kenapa terjadi urbanisasi? Semua karena ada daya tarik dari perkotaan dan daya dorong dari perdesaan. Sekilas di kota tampak banyak peluang kerja, sebaliknya di perdesaan kesempatan kerja terbatas.
Namun, yang terjadi sering kali adalah penduduk desa yang merantau ke kota malah menjadi pengangguran.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan, mereka menjadi pelaku tindak pidana kriminal seperti perampokan hingga menjadi pemakai narkoba.
Urbanisasi sebagai fenomena di tanah air bukannya tak ada jalan keluarnya. Solusinya adalah pemerataan perekonomian. Dalam konteks itu, pemerintahan Jokowi-JK memiliki program Dana Desa.
Dana yang dikucurkan pun tak main-main karena telah mencapai Rp 189,04 triliun. Betul bahwa banyak infrastruktur di tingkat desa seperti jalan raya yang sudah terbangun.
Akan tetapi, efektivitas Dana Desa menjadi tanda tanya. Ambil contoh dari sisi penurunan tingkat kemiskinan di desa.
Sampai dengan September 2018, persentase penduduk miskin di perdesaan 13,1 persen atau turun 1,07 persen dibandingkan posisi September 2014.
Akan tetapi, persentase penurunan pada kurun waktu sebelumnya, yaitu 2011-2014 lebih besar, yaitu 2,39 persen dari 16,56 persen ke 14,17 persen.
Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan afirmatif, terutama dari pemerintah daerah demi mengoptimalkan peredaran uang selama periode ini. Salah satu langkah adalah mendorong agar pemudik berinvestasi di sektor UMKM hingga pertanian.
Berikan insentif yang memadai agar mereka tertarik menanamkan modalnya. Banyak peluang yang bisa diciptakan dari kebijakan tersebut.
Di sejumlah daerah, UMKM hingga pertanian, masih menjadi penopang utama. Tenaga kerja yang terserap pun tidaklah sedikit.
Apabila ada peningkatan investasi, maka muara dari itu semua adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sehingga kemiskinan pun menurun.
Dalam jangka panjang, pemerataan ekonomi dapat diupayakan melalui pemindahan ibu kota. Seperti diketahui, Presiden Jokowi telah setuju agar ibu kota RI dipindahkan dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Salah satu tujuan adalah Pulau Kalimantan.
Apabila rencana itu terealisasi, pemerataan ekonomi dapat terjadi. Tidaklah sulit menjelaskan fenomena ini. Tahun lalu, BPS mencatat PDB Indonesia mencapai Rp 14.837,4 triliun.
Pulau Jawa masih menjadi kontributor terbesar terhadap PDB, yaitu 58,48 persen. Keputusan pemerintah memindahkan ibu kota akan mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang baru.
Industri, permukiman, ritel, dan sektor-sektor lain akan tumbuh. Indikator kesejahteraan semacam kemiskinan bakal terkoreksi.
Satu yang pasti, semoga pemindahan ibu kota tak berhenti di titik kajian semata. Seperti yang lalu-lalu, rencana itu hanya menjadi wacana, baik dari era Presiden Soekarno hingga Presiden SBY. Semoga di era Presiden Jokowi, hal itu tak terjadi.
Tentunya, harapan kita semua semoga perekonomian Indonesia semakin baik selepas Lebaran kali ini. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 232 Pemda Sudah Bayar THR PNS, Semoga Tidak Ada Lagi Kerusuhan
Redaktur : Tim Redaksi