jpnn.com - MENGENAKAN jersey hijau, beberapa orang laki-laki berlarian, saling kejar, bahkan bertabrakan dengan lawan yang mengenakan jersey merah. Dorong-mendorong dan bergumul pun tidak jarang dilakukan.
Tapi, itu bukanlah perkelahian di atas lapangan. Itu justru bagian dari teknik permainan dalam rugbi. Melihat mereka bertanding, tampaknya akan sakit saat tumbuk-tumbukan terjadi. Namun, para pemain terlihat biasa-biasa saja. Mereka justru tertawa lepas dan senang serta saling bersalaman setelah pertandingan.
BACA JUGA: Meiditomo Sutyarjoko, 25 Tahun Kerjakan 21 Proyek Satelit
Ya, begitulah gambaran pertandingan dalam sesi latihan tim rugbi di lapangan golf Jagorawi, Bogor, Jawa Barat. Olahraga itu menuntut setiap pemain siap beradu badan untuk memberikan jalan bagi rekan-rekannya mencetak poin.
’’Tapi, kalau sudah tahu tekniknya, main rugbi tidak akan sakit. Malah menyenangkan. Tidak mudah cedera. Justru ini olahraga yang benar-benar laki-laki. Tidak ada diving di sini. Yang ada kerja sama,’’ kata Sekjen PB Persatuan Rugby Union Indonesia (PRUI) Steven Haurissa, Kamis (15/5).
BACA JUGA: Dua Bulan Rachmat Yasin Diintai Perempuan Berjilbab
Menurut dia, sebenarnya perkembangan rugbi di Indonesia lumayan bagus. Setidaknya, kini sudah ada 15 klub yang terdata di PRUI. Mereka cukup eksis berlatih dan mengikuti kompetisi. Namun, di antara sekian banyak klub itu, mayoritas anggota klub adalah orang asing yang bekerja di Indonesia alias ekspatriat. Selain Jakarta, di Bandung, Jogja, Manado, dan Papua ada klub rugbi.
Steven mencontohkan dua klub di Jakarta, yakni Jakarta Rugby Komodos dan Jakarta Rugby Banteng. Di Komodos, hanya ada dua pemain asli Indonesia. Begitu pula di Banteng, persentasenya 70:30 untuk orang asing.
BACA JUGA: SK Pengangkatan Ditandatangani Soeharto sebelum Lengser
Ekspatriat yang tergabung di Komodos, kata Steven, berasal dari Australia, Amerika, dan beberapa negara Eropa. Sementara itu, di Jakarta Banteng, kebanyakan pemainnya masih muda, setingkat siswa SMA dan mahasiswa.
Timnas rugbi Indonesia terbentuk pada 2004. Pertandingan internasional pertama diikuti pada 2006. Kini timnas mampu masuk divisi tiga Asia. ’’Cukup bagus progresnya. Tapi, perkembangannya tidak bisa langsung lompat,’’ ujarnya.
Yang menggembirakan, saat ini ada sekitar 900 pemain rugbi di Indonesia. Tapi, hampir 70 persen adalah ekspatriat. Karena itu, tidak heran jika di timnas rugbi banyak pemain asing daripada pemain lokal.
Menurut Steven, dalam aturan rugbi internasional, syarat menjadi pemain timnas memang tidak kaku. Selain pemilik paspor WNI dan kelahiran Indonesia, mereka yang memiliki darah keturunan Indonesia bisa tampil selama belum memperkuat negara lain.
’’Yang paspornya bukan WNI atau paspor negara lain juga bisa, asalkan dia menetap di Indonesia lebih dari 36 bulan,’’ terang pengurus tim Komodos Jakarta tersebut.
’’Bahkan, kita pernah punya anggota timnas yang artis asing keturunan Indonesia. Kebetulan, saat itu mereka tinggal di Indonesia. Mereka adalah Andrew White dan Mike Lewis,’’ tambah pria 26 tahun itu.
Sebagai orang Indonesia yang menggeluti rugbi, Steven sadar betul kendala mengembangkan cabang olahraga itu. Selain keterbatasan dana, infrastruktur yang memadai dan gampang dijumpai untuk bermain rugbi menjadi hambatan. Butuh lapangan seukuran lapangan sepak bola dengan tiang gawang yang tinggi menjulang dan space lebih di belakang gawang sekitar 10 meter. Juga, untuk menyewa lapangan khusus itu, biayanya tidak murah.
’’Memang, kendalanya dana. Lapangan saja sewanya puluhan juta setahun. Itu pun sudah didiskon karena ada klausul kerja sama,’’ cetusnya.
Selain lapangan, sebagian perlengkapan rugbi harus didatangkan dari luar negeri. Sebab, tidak ada yang produksi lokal, kecuali sepatu bola dan jersey. ’’Biaya mendatangkan perlengkapan itu juga tidak kecil,’’ tutur lelaki yang pernah tinggal dan memperkuat tim rugbi junior Singapura tersebut.
Di sisi lain, olahraga yang dimainkan 15 pemain lawan 15 pemain tersebut di Indonesia masih berlevel amatir, belum profesional. Seluruh pemain rata-rata memainkan rugbi karena hobi, bukan profesi, seperti halnya pemain sepak bola. Karena itu, kebanyakan pemain mandiri, meski sudah berbaju klub besar seperti Jakarta Komodos yang pernah menjadi juara SEA Cup, kejuaraan tingkat Asia Tenggara.
Untuk berkompetisi, pemain menyediakan perlengkapan sendiri. Begitu pula, untuk biaya transpor dan akomodasi jika bertanding ke luar kota atau luar negeri, pemain harus merogoh kocek sendiri.
’’Kami tidak bisa hanya fokus untuk rugbi. Sebab, rata-rata kami punya pekerjaan. Karena itu, kami belum bisa profesional,’’ tutur Steven.
Pelatnas untuk timnas hanya dilakukan jika mendekati kejuaraan. Sementara itu, klub rata-rata berlatih sekali sampai tiga kali seminggu. Jika pemain sibuk bekerja, latihan bisa diliburkan.
Begitu pun jika akan mengikuti kejuaraan, biasanya pemain perlu menghemat pengeluaran. Misalnya, ketika kejuaraan diadakan di Singapura pada Minggu, mereka akan terbang Sabtu malam untuk kemudian langsung terbang pulang setelah laga selesai pada Minggu malam.
’’Alasannya sih agar bisa langsung bekerja pada Seninnya. Tapi, itu juga bagian dari penghematan,’’ ujar Steven lantas tertawa.
Max Arobaya, mantan pemain timnas yang kini jadi pengurus Jakarta Banteng, menceritakan, meski sama-sama menggeluti rugbi, dua klub rugbi di Jakarta berasal dari dua komunitas yang berbeda. Jika di Komodos seluruh pemain sudah bekerja dan kebanyakan ekspatriat, di Jakarta Banteng mayoritas pemain berstatus pelajar, meski ada pula yang sudah bekerja.
Karena itu, sistem di klubnya pun berbeda dengan Jakarta Komodos. Kalau Komodos memberikan daftar member tahunan yang nilainya lebih dari Rp 1 juta, Banteng hidup dari iuran anggota dan sponsor.
’’Yang sudah bekerja biasanya iuran setiap bulan Rp 1 juta. Sedangkan yang belum, tidak usah. Jadi, biaya latihan disubsidi mereka yang sudah bekerja,’’ ucap development officer di PRUI tersebut.
Cara itu dilakukan klubnya agar regenerasi dan pembinaan pemain muda berjalan. Program itu pula yang saat ini sedang dikembangkan PRUI. Untuk mengikuti kejuaraan, Max menyatakan biasanya para pemain iuran. Sebab, biayanya tidak murah, mencapai Rp 10 juta.
’’Kami pencinta rugbi memang mandiri. Keluarkan uang sendiri untuk bisa berkompetisi,’’ tegas lelaki yang menempuh pendidikan SMA dan perguruan tinggi di Australia itu.
Max yakin, rugbi bakal berkembang di Indonesia jika pemain-pemain muda bisa menunjukkan prestasi. ’’Kondisi rugbi di Indonesia itu seperti sepak bola di Australia pada 20–30 tahun lalu. Sekarang rugbi menjadi olahraga ketiga terbesar di Australia,’’ ungkapnya.
PRUI saat ini membangun program untuk beberapa tahun ke depan. Pada ulang tahun ke-10 PRUI 24 Mei nanti, mereka mematangkan konsep rugbi masuk ke sekolah-sekolah. (Muhammad Amjad/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Libatkan Interpol dalam Perekrutan Guru
Redaktur : Tim Redaksi