jpnn.com, JAKARTA - Gerakan literasi yang dilakukan kaum muda dipercaya mampu memberi pengaruh tidak hanya untuk masyarakat seusianya, tetapi juga dipercaya bisa menular ke kaum lebih tua.
“Kalau orang bilang tingkat keliterasian kita rendah, bukan berarti kita menjadi pesimistis tetapi harus meningkatkannya. Dan mesin penggeraknya, salah satunya adalah anak muda,” ujar pengamat sosial, Maman Suherman di Jakarta, Selasa (14/1).
BACA JUGA: Agar Merdeka Belajar Sukses, Guru Harus Dilatih Budaya Literasi
Maman tidak menampik banyak gerakan literasi yang dilakukan anak muda memang masih dalam skala kecil. Namun, bukan berarti gerakan tersebut tidak berpengaruh.
“Anak muda tahu bagaimana cara membuat yang kecil menjadi besar dengan cara berkolaborasi. Kata kunci di era disrupsi ini adalah kolaborasi. Kalau mereka mampu berkomunikasi dengan baik, mampu berkolaborasi, tetap mampu berpikir kritis, gerakan ini bakal menjadi besar,” tutur Maman.
BACA JUGA: Strategi Terbaru Perpustakaan Nasional Tingkatkan Literasi Masyarakat
Tingkat literasi Indonesia memang masih rendah. Hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 menunjukkan, tingkat baca Indonesia hanya berada di peringkat 62 dari 70 negara.
Survei World Culture Index malah lebih parah. Pada 2018, tingkat literasi dan membaca Indonesia berada di peringkat kedua terbawah, rangking 60 dari 61 negara.
Rendahnya tingkat literasi Indonesia menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Michelle Setiawan. Pelajar berusia 16 tahun ini pun membuat gerakan literasi yang cukup unik. Ia memilih puskesmas sebagai wadah untuk ia menyalurkan buku-buku yang hendak diberikannya kepada khalayak.
“Saya tahu, indeks baca Indonesia itu nggak tinggi. Padaha aku pikir, orang harus banyak baca buku untuk meyelesaikan masalahnya,” cerita Michelle.
Michelle sendiri termasuk anak muda yang beruntung karena memiliki akses dalam membaca. Itu pula yang membuatnya hobi membaca sampai saat ini. Tidak tanggung-tanggung jika libur sekolah, ia bisa menghabiskan 10 buku untuk dibaca hanya dalam sebulan.
“Kalau aku sedang sekolah, paling cuma 4 buku, tapi kalau ketika libur bisa sampai 10 buku,” imbuhnya.
Akses terhadap bacaan itu pula yang diharapkan Michelle bisa dirasakan oleh orang lain. Dengan penghasilan sampingan membuat konten, ia mulai menyalurkan hasratnya untuk membuat gerakan literasi semenjak setahun lalu.
Pemilihan tempat yang cukup unik didasarkan pada pengalamannya. Di mana ia menyadari, menunggu berobat di rumah sakit membuatnya cukup panik. Membaca buku bisa mengalihkan ketakutan tersebut. Karena itu, ia berharap anak-anak kecil yang berobat ke puskesmas juga bisa merasakan ketenangan sebelum berobat dengan dibacakan buku oleh orangtuanya.
“Puskemas kan banyak anak kecil. Ibu dan ayahnya bisa cerita ke anak-anak kecil. Itu juga bisa jadi family bonding,” ujarnya lagi.
Saat ini, sudah beberapa puskesmas di Jakarta Selatan yang mendapat sumbangan buku dari Michelle. Diantaranya adalah Puskesmas Pulo dan Puskesmas Kebayoran Baru. Targetnya sendiri, Michelle mengharapkan bisa memberi sumbangan buku ke seluruh puskesmas yang ada di Jakarta.
“Sekarang kami masih cari-cari puskesmas yang lain,” ungkapnya
Menurut peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), Nadia Fairuza Azzahra, orang-orang yang rajin membaca dan pada akhirnya membuat gerakan biasanya memiliki lingkungan yang memang gemar membaca. Dari lingkungan tersebut, ia menjadi mengetahui bagaimana menyenangkannya membaca buku.
“Orang-orang itu sudah memiliki akses untuk bisa membaca berbagai macam bacaan dari kecil. Dia sudah mengetahui bagaimana menyenangkannya membaca buku,” ucapnya.
Ia pun mengapresiasi anak-anak muda yang memang gemar membaca dan akhirnya membuat gerakan literasi. Di mana gerakan tersebut bisa mendistribusikan bahan bacaan untuk orang-orang yang memang belum memiliki akses baca yang mumpuni.
“Saya mengapresiasi beragam kegiatan dari mereka untuk meningkatkan literasi, baik dengan membuat taman bacaan atau mengirimkan buku-buku bacaan ke daerah terpencil,” tukasnya.
Hanya, Nadia menambahkan, perlu ada pendampingan ketika pemberian buku dilakukan oleh sekelompok pihak ke pihak lain. Tujuannya agar aksi sosial untuk meningkatkan literasi tersebut dapat lebih efektif.
Diharapkan dengan memahami bacaan, anak-anak tersebut dapat mengambil nilai positif yang bisa memberdayakan dan membentuk kepribadian yang lebih baik. Untuk tujuan tersebutlah, Mila sangat selektif dalam memberikan bacaan bagi anak-anak.
Di mana rata-rata buku yang diberikan untuk jadi bacaan anak, yakni buku motivasi, pengembangan diri, kamus, hingga buku-buku keagamaan. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad