April Robinson sudah sering mendengar cerita soal bagaimana perempuan di Australia seringkali mendapatkan perlakuan kasar, bahkan di hadapan umum. Dari cerita yang pernah ia dapatkan, April mengatakan banyak perempuan yang pernah diludahi, didorong, diikuti, atau kerudung yang ditarik, jika korbannya adalah Muslimah.
"Tindak kekerasan di ruang publik memang bukan hanya dialami oleh Muslimah, tapi yang saya pelajari, kekerasan terhadap Muslimah adalah lebih serius," ujar April, yang bekerja sebagai Interfaith Research and Network Developer untuk Uniting Church.
BACA JUGA: Penghasilan Sebagai Seniman di Australia
"Bagi Muslimah, kekerasan terhadap mereka adalah penyerangan identitas dan apa yang mereka miliki. Kekerasan ini bukan karena karakter atau tindakan mereka, tetapi dari kesalahan mengaitkan Islam dengan terorisme."
Sejak itulah, April bertekad untuk membantu Muslimah di Australia.
BACA JUGA: Kelompok Separatis Papua Bantah Lakukan Penyanderaan
Sudah sejak tiga tahun lalu, April mengaku secara konsisten membuat proyek yang dinamakan The Resilient Women bersama Uniting Chruch. Uniting Church adalah aliran Kristen terbesar ketiga di Australia, yang menggabungkan Gereja Metodis, Presbiterian, dan Kongregasional.
Menurutnya, tujuan dari proyek ini adalah untuk meningkatkan kepedulian dan merancang strategi untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap Muslimah akibat Islamophobia yang meningkat.
BACA JUGA: Pemerintah Queensland Tepis Kritik Partai One Nation Soal Program Safe School
"Masalah kekerasan terhadap Muslimah ini kurang banyak diketahui secara luas, karenanya keadaan Muslimah yang rentan jadi korban tidak mendapat tanggapan. Karenanya saya ingin memberikan tanggapan soal ini," kata April.
"Hanya sedikit laporan dan artikel di media soal serangan Islamophobia, artinya jika Anda bukan korban kekerasan akibat Islamophobia, atau belum pernah berbicara dengan mereka yang pernah jadi korban, Anda tidak tahu masalah ini."
Salah satu kegiatan dari proyek ini adalah membuat sebuah forum, dimana para perempuan dari berbagai latar belakang dan komunitas, termasuk Muslimah, untuk berbicara soal masalah yang mereka hadapi.
Forum ini mendapatkan bantuan dana dari pemerintah negara bagian Victoria dan sejumlah organisasi komunitas.
"Dalam forum ini, kita mencoba menghubungkan mereka yang bekerja di sejumlah organisasi komunitas dan Muslimah dengan para penegak hukum untuk berdiskusi soal kejahatan yang dilandasi Islamophobia dan prasangka," jelas April.
Tapi tentu saja April berharap jika forum ini tidak hanya sekedar pembicaraan, tetapi akan ada aksi nyata untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, khususnya Muslimah.
"Harapannya forum ini akan menggaungkan suara para perempuan, menciptakan lebih banyak kesadaran bukan hanya soal kekerasan yang mereka hadapi tapi juga tekad mereka," ujar April.
April menolak jika mengatakan forum ini menjadi ajang untuk menganggap perempuan sebagai korban, karena inti dari proyek ini adalah soal ketangguhan perempuan.
"Perempuan yang tangguh memastikan bahwa kisah-kisah kekerasan ini bukan untuk mendefinisikan mereka, tetapi bertujuan untuk memberi penghormatan kepada tekad mereka yang inspiratif untuk terus maju melampaui ketakutan dan terus membangun kehidupan dan komunitas mereka."
Rencananya April akan ke Indonesia di akhir tahun ini untuk berbagi soal apa yang dilakukannya di Australia soal kerjasama antar komunitas lintas agama.Komunitas Muslimah Indonesia ikut terlibat Tris Mardiastuty (paling kiri) menjadi salah satu perwakilan komunitas Muslimah Indonesia di Victoria.
Foto: Koleksi pribadi
Komunitas Muslimah Indonesia yang berada di negara bagian Victoria ikut terlibat dalam salah satu program tersebut.
Tris Mardiastuty, yang juga menjabat sebagai Community Affairs di Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV), datang ke acara Resilient Women Forum, 18 Oktober lalu. Ia mengaku mendukung penuh atas apa yang dilakukan Uniting Church.
"Tawaran kerjasama dari kelompok non-Muslim di Victoria dalam membantu masalah Islamophobia sangat positif dan perlu direspn dengan baik."
"Kami, para Muslimah, menjadi tidak merasa sendirian lagi... hal ini juga menjadi bukti bahwa segala bentuk rasisme dan Islamophobia bukanlah sesuatu yang dapat diterima oleh masyarakat luas," kata Tris saat dihubungi Erwin Renaldi dari ABC Melbourne.
Tris mengaku ada beberapa kasus Muslimah Indonesia di Victoria yang menjadi korban Islamophobia, baik di tempat umum maupun di lingkungan rumah dan pekerjaan.
"Kami sedang mempersiapkan semacam manual 'Muslimah Incident Reporting Flowchart' yang akan digunakan sebagai panduan proses melapor bila terjadi serangan Islamophobia terhadap warga Muslim Indonesia di Victoria."
Tris menambahkan keterlibatan Muslimah Indonesia dalam acara tersebut juga untuk menunjukkan bahwa komunitas Muslim Indonesia siap membantu, bekerja sama, dan berkontribusi pada komunitas etnis dan agama lainnya di Australia.Islamophobia di Australia tidak selalu terkait aksi teror Salah satu aksi anti-Islam di Bendigo, menolak pembangunan masjid pada November 2015 lalu.
ABC News: Patrick Rocca
Dalam sebuah laporan berjudul Islamophobia in Australia 2014-2016, ditemukan hanya 11 persen dari serangan memiliki kaitan dengan aksi terorisme.
Laporan penelitian tersebut melibat sejumlah universitas di Australia, Islamic Science and Research Academy of Australia, dan Diversity Council of Australia, dengan menganalisa 243 laporan insiden serangan kepada Muslim di Australia yang terverifikasi, dan tercatat di Islamophobia Register Australia
"Ini menunjukkan kemarahan dan kebencian yang diungkapkan dalam serangan terhadap Muslim tidak terlalu berhubungan dengan terorisme," tulis laporan dengan penyuting Dr Derya Iner tersebut.
"Tetapi serangan terjadi karena kehadiran dan kemunculan Muslim secara jelas. Perempuan, khususnya dengan kerudung telah menjadi korban utama serangan Islamophobia [jumlahnya hampir mencapai 80 persen]."
Disebutkan pula mereka yang menjadi saksi serangan, 25 persen adalah warga bukan Muslim dan tidak ada yang berani ikut campur saat terjadi serangan dari 75 persen insiden yang dilaporkan.
Laporan tersebut memberikan masukan jika tanggung jawab untuk mengatasi masalah Islamphobia tidak bisa sepenuhnya dilakukan pemerintah, tetapi seluruh komunitas berbagi tanggung jawab yang sama.
"Pemerintah bisa mengatur ruang yang adil bagi seluruh warganya, tetapi hasilnya bisa terasa jika masyarakat secara luas mau menciptakan ruang bagi minoritas untuk bisa menikmatinya."
Menurut laporan yang melibatkan 10 peneliti dari berbagai latar belakang, anggota komunitas Muslim juga berbagi tanggung jawab. Salah satunya dengan cara terlibat bersama masyarakat luas secara aktif untuk dapat memahami soal praktik agama Islam lebih akurat.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berziarah ke Makam Pejuang Kemerdekaan di Cowra, New South Wales