Gerhana

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 27 Mei 2021 – 08:11 WIB
Gerhana bulan terlihat di Mesjid Al Azhar, Jakarta, Rabu (26/5). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Gerhana bulan maupun gerhana matahari selalu menjadi fenomena alam yang menarik karena tetap ada misteri.

Berbagai penemuan ilmiah menjelaskan fenomena alam ini. 

BACA JUGA: Nabi Mengingatkan, Jangan Memitoskan Gerhana

Penjelasan agama pun—terutama Islam—juga menjelaskan bahwa gerhana adalah fenomena alam biasa. 

Namun, suasana magis dan mistis masih saja terasa setiap kali muncul gerhana.

BACA JUGA: Gerhana Bulan Total hanya Berlangsung 18 Menit, Begini Keistimewaannya

Kali ini gerhana bulan penuh bersamaan dengan perayaan Hari Waisak 2565 BE (26/5).

Umat Buddha melakukan sembahyang puja bhakti dan dharmasanti untuk saling memaafkan antarsesama, demi mencari kedamaian pada Tri Suci 2021.

BACA JUGA: Gerhana Bulan Kali Ini Cukup Unik

Tahun 2565 BE di Hari Raya Waisak itu mengacu pada kalender Buddha. Hari Raya Waisak 2021 merupakan hari peringatan umat Buddha terhadap tiga peristiwa suci yang disebut Tri Suci yang terjadi pada Buddha Gautama, yakni kelahiran, pencerahan sempurna, dan kemangkatan (wafat). 

Tradisi Islam mengajarkan bahwa gerhana adalah fenomena alam biasa yang tidak ada kaitan dengan kelahiran dan kematian seseorang.

Semasa hidup Rasulullah Muhammad SAW terjadi peristiwa gerhana yang kemudian oleh kalangan kafir dikaitkan dengan kematian putra Rasulullah.

Maka kemudian ketika terjadi gerhana, umat Islam diperintahkan untuk salat khusyuf atau salat gerhana.

Beberapa masjid terlihat melaksanakan salat khusyuf.

Namun, di tempat lain ada juga yang asyik mencari posisi terbaik di pantai untuk mencari angle terbaik guna berselfie atau untuk konten unggahan di medsos.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gerhana bulan adalah peristiwa terhalanginya sinar matahari oleh bumi, sehingga tidak semua sinar sampai ke bulan ketika dilihat dari bumi.

Ini merupakan salah satu akibat dinamisnya pergerakan posisi matahari, bumi, dan bulan dan hanya terjadi pada saat fase bulan purnama.

Fenomena ini secara meterologis bisa diprediksi secara tepat dan akurat.

Gerhana bulan total terjadi saat posisi matahari-bumi-bulan sejajar. Hal ini terjadi saat bulan berada di umbra bumi.

Karena itu, saat puncak gerhana bulan total terjadi, bulan akan terlihat berwarna merah dan disebut sebagai Blood Moon.

Karena posisi bulan saat terjadi gerhana berada di posisi terdekat dengan bumi atau perige, maka bulan akan terlihat lebih besar dibanding purnama biasa, dan sering disebut dengan Super Moon.

Gerhana bulan total tahun ini dikenal juga dengan Super Blood Moon, karena terjadi saat bulan di perige, yaitu bulan berada di jarak terdekat dengan bumi.

Fenomena gerhana tidak bisa lepas dari mitologi Jawa.

Mitos Jawa Kuno menyatakan Betara Kala menelan bulan atau matahari dan menyebabkan gerhana.

Dulu, keriuhan bakal terdengar di tiap kampung jika terjadi gerhana. Lesung, kentongan, tampah, dan alat lainnya dipukul berulang agar Betara Kala memuntahkan kembali bulan atau matahari yang ditelannya.

Fenomena gerhana matahari total di masa Jawa Kuno dituliskan dalam prasasti dan relief candi, sekadar sebagai mitos atau penanda peristiwa penting. Kata gerhana disebut berasal dari istilah bahasa Jawa Kuna yakni candragrahana.

Sebuah prasasti tua yang diperkirakan bertarikh 11 Maret 843 Masehi atau abad ke-9 menyebut adanya peristiwa Gerhana Bulan.

Prasasti itu menggambarkan peristiwa candragrahana atau gerhana bulan, sebuah peristiwa yang dianggap sangat penting ketika itu.

Fenomena gerhana juga terdapat pada salah satu relief di Candi Belahan atau Sumber Tetek di Mojokerto, Jawa Timur. Relief menggambarkan candra sinahut kalarahu atau raksasa menelan bulan.

Ada dua pendapat berbeda tentang angka tahun relief itu, yakni menunjuk tahun 1009 Masehi atau 1049 Masehi. Tanggal itu berhubungan dengan meninggalnya Prabu Airlangga, serta momentum terbelahnya kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kerajaan Kadiri dan Panjalu.

Suasana gerhana bulan total diibaratkan dengan suasana kegelapan politik, sebagaimana gelapnya dunia saat terjadi gerhana total.

Karena itu masyarakat keluar rumah untuk membuat keriuhan dengan berbagai tetabuhan untuk mengusir Batara Kala sehingga dunia akan kembali menjadi terang.

Prof. Daniel Muhammad Rosyid, guru besar ilmu kelautan ITS Surabaya melihat fenomena Betara Kala dalam perspektif politik modern.

Betara Kala adalah mitos, tetapi dalam politik, mitos selalu dihidupkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Kondisi politik Indonesia dewasa ini diibaratkan berada dalam kegelapan karena ditelan Betara Kala.

Raksasa jahat ini adalah personifikasi dari sebuah kekuasaan yang angkara yang ingin berkuasa secara total, sehingga semua yang ada di depannya ditelan dan mengakibatkan kegelapan total.

Pada saat republik ini didirikan oleh para tokoh negarawan dan ulama yang lurus, mereka sepenuhnya menyadari bahwa bangsa ini berkeyakinan bahwa hanya dengan bertuhan, berperikemanusiaan, bersatu, dan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Konstruksi UUD 45 itu sebuah upaya kolektif agar terhindar dari pemberhalaan alam dan ego pribadi yang bisa meningkat menjadi tribalisme atau nasionalisme sempit yang chauvinist.

Kultuas kepada seorang presiden akan menjadi pemberhalaan yang bisa menjatuhkan bangsa ini ke dalam penjajahan nekolimik.

UUD 1945 asli adalah sebuah pernyataan perang melawan penjajahan.

Gejala-gejala pemberhalaan alam, dan ego kelompok yang meruyak akhir-akhir ini merupakan ancaman langsung atas republik ini.

Pada saat ukuran materialistik dipakai sebagai patokan kesuksesan, ketuhanan direduksi hanya sekadar ekspresi budaya tanpa transendensi, persatuan yang rapuh akibat ketimpangan dan kesenjangan, kerakyatan yang tidak lagi dipimpin oleh hikmah, maka keadilan sosial makin jauh panggang dari api.

Salah urus dan maladiministrasi publik menggerogoti hampir semua sendi-sendi republik. Korupsi marak, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, agama dipertentangkan dengan Pancasila.

Sikap adigang adigung adiguna dipertontonkan oleh sekelompok elite yang nyaris above the law.

Warga negara yang masih waras dan berjiwa patriot sejati tidak mungkin membiarkan republik yang diamanahkan para pejuang dan ulama ini lenyap ditelan Betara Kala modern.

Sebagian masyarakat memilih memukul tetabuhan untuk menimbulkan keriuhan mengusir Betara Kala. Sebagian lain bertakbir dan berdoa dengan khusyuk di masjid agar Betara Kala segera pergi. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler