"Kedelai, jagung, garam, beras semua diimpor dan rakyat harus beli. Padahal jika empat komoditi ini dihentikan impornya, maka sedikitnya lebih dari Rp100 triliun uang negara tidak lari ke luar negeri dan itu bisa jadi salah satu cara mengurangi defisit APBN sebagai efek dari gejolak harga BBM di luar negeri," kata Suhardi, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (8/3).
Demikian juga halnya dengan tidak ada upaya pemerintah melakukan berbagai kebijakan penghematan BBM. Menurut Suhardi, pada awal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi Presiden RI dalam tahun 2004, bersama Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto mereka datang menghadap SBY dan mengingatkan pentingnya menyiapkan energi pengganti BBM.
"Semua pilihan dan peluang untuk membangun energi alternatif pengganti BBM sudah disampaikan ke Presiden SBY. Lengkap sekali datanya. Tapi tidak satupun yang dipertimbangkan. Pemerintah tetap bertahan dengan cara-cara lama dalam mengurus BBM kebutuhan rakyat hingga negeri ini menjadi kian tergantung dengan pasokan impor BBM pasar dunia," ungkap Suhardi.
Celakanya, ketika harga BBM luar negeri naik, pemerintah malah mengambil cara termudah mengatasinya, yakni menaikan harga eceran BBM dalam negeri. "Kebijakan inilah nantinya yang akan membuat rakyat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan pokoknya," tegas Suhardi.
Selain mengkritisi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan BBM, Gerindra juga menyesalkan terjadinya pembiaran pengelolaan air bersih oleh pihak swasta asing.
"Membiarkan pengelolaan air bersih oleh swasta sesungguhnya sudah melanggar konstitusi bangsa karena air menyangkut hajat hidup orang banyak. Bisnis air mineral yang bahan bakunya adalah air bersih telah menyedot danah masyarakat sekitar Rp772 triliun setiap tahunnya," ungkap Suhardi.
Mestinya, kata dia lagi, pemerintah berkewajiban membangun saluran-saluran air bersih kepada warganya karena air merupakan kekayaan bangsa sendiri.
Suhardi juga mengungkap sejumlah data yang terkait dengan infrastruktur angkutan publik yang kian hari kian berkurang sementara pertumbuhan kendaraan pribadi tidak terkendali.
"Pada zaman penjajahan Belanda, Indonesia memiliki sekitar 12 ribu kilo meter jalan kereta api. Hari ini hanya tinggal sekitar 4 ribu kilo meter saja dan itu tidak dalam kondisi terbaik," ujar Suhardi.
Lain halnya kalau membangun jalan tol untuk kalangan menengah ke atas yang sedikit jumlahnya, pemerintah mengerahkan seluruh kekuatannya. "Tapi untuk membangun sarana angkutan publik seperti monorel, pemerintah terlihat tidak responsif," tegasnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jamin Kerahasiaan, Situs Pembunuh Bayaran Sediakan Beragam Layanan
Redaktur : Tim Redaksi