CISARUA- Aksi pemusnahan massal tanaman khat atau ghat di Puncak, Cisarua, Kamis (7/2), menuai kecaman. Hal itu setelah pemerintah menolak ganti rugi tanaman ghat yang dibakar massal tersebut. Padahal sebelumnya, Badan Narkotika Negara (BNN) dan Pemkab Bogor berjanji bakal menyiapkan kompensasi.
Pemusnahan massal ghat dilakukan tim gabungan dari BNN dan Pemkab Bogor di Pasir Tugu, RT 1/5, Desa Cibeureum, Cisarua, Bogor. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN, Komisaris Besar (Kombes) Pol Sumirat Dwiyanto menjelaskan, ada 55 lahan tanaman ghat seluas tiga hektar yang dia musnahkan. Dia mengklaim, sebelumnya BNN sudah melakukan sosialisasi untuk mencegah masyarakat menanam kembali tanaman tersebut.
"Mudah-mudahan dengan sosilaisasi dan pemusnahakan tanaman ini, masyarakat, khususnya anak-anak muda semakin tahu bahaya tanaman ini," ujar Sumirat.
Terkait permintaan ganti rugi petani, Sumirat mengatakan akan mempertimbangkan hal tersebut. Pihaknya tetap memperhatikan aspek sosial petani yang selama ini kehidupan ekonominya bergantung pada tanam-jual khat.
Sementara, Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Benny Mamoto mengatakan, BNN masih memberikan kesempatan kepada warga Puncak untuk mencabuti atau memusnahkan pohon Ghat milik mereka hingga beberapa waktu ke depan. Dia berharap tidak ada lagi warga yang menanam tumbuhan tersebut. "Tapi jika besok masih ada yang kembali menanam, kita akan tindak," kata Benny.
Di tempat yang sama, Wakil Bupati Karyawan Fathurrachman menegaskan, pemkab tidak akan memberikan ganti rugi terhadap tanaman ghat yang dimusnahkan. Karyawan mengatakan, persoalan pemusnahan ghat berkait erat dengan kesadaran. Sehingga pemusnahan ghat di wilayah Cirsarua tidak berefek pada tanggungjawab pemerintah Kabupaten untuk melakukan ganti rugi bagi para petani-petani yang sudah menanam ghat dalam jumlah yang besar.
“Tidak ada ganti rugi. Dalam konteks ini, persoalan ketegasan status tumbuhan ghat melibatkan hukum dengan sifat ketegasannya,” bebernya kepada Radar Bogor (Grup JPNN).
Sejatinya, pemusnahan ghat di Puncak bisa disamakan dengan pemusnahan ganja di Aceh. Dalam hal ini, pemerintah menggeber kegiatan alternative development, dengan memberikan ganti rugi pemusnahan ganja dengan tanaman yang sama-sama memiliki nilai ekonomis, seperti kunyit, nilam dan jabon.
Sementara itu, pemilik lahan ghat seluas 300 meter di Jalan Pasir Tugu, RT 1/5, Kampung Alun-alun Impres, Desa Cibeureum, Nanang Suranta Wijaya (47) mengaku kecewa dengan tidak adanya ganti rugi tersebut. Padahal menurut Nanang, dirinya sudah bertahun-tahun menanam dan membudidayakan tanaman yang tergolong narkoba golongan I tersebut. Terlebih dia mengaku mesti mengeluarkan biaya perawatan Rp500 ribu per bulannya.
“Saya tidak punya penghasilan lagi. Sekarang semuanya telah dilarang. Saya pun tidak mungkin menanam lagi,” ujarnya.
Camat Cisarua Teddy Pembang mengharapkan pemerintah agar lebih mengerti nasib petani. “Warga tentunya sangat butuh ganti kerugian atau kompensasi,” ujarnya. (cr4/cr3)
Pemusnahan massal ghat dilakukan tim gabungan dari BNN dan Pemkab Bogor di Pasir Tugu, RT 1/5, Desa Cibeureum, Cisarua, Bogor. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN, Komisaris Besar (Kombes) Pol Sumirat Dwiyanto menjelaskan, ada 55 lahan tanaman ghat seluas tiga hektar yang dia musnahkan. Dia mengklaim, sebelumnya BNN sudah melakukan sosialisasi untuk mencegah masyarakat menanam kembali tanaman tersebut.
"Mudah-mudahan dengan sosilaisasi dan pemusnahakan tanaman ini, masyarakat, khususnya anak-anak muda semakin tahu bahaya tanaman ini," ujar Sumirat.
Terkait permintaan ganti rugi petani, Sumirat mengatakan akan mempertimbangkan hal tersebut. Pihaknya tetap memperhatikan aspek sosial petani yang selama ini kehidupan ekonominya bergantung pada tanam-jual khat.
Sementara, Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Benny Mamoto mengatakan, BNN masih memberikan kesempatan kepada warga Puncak untuk mencabuti atau memusnahkan pohon Ghat milik mereka hingga beberapa waktu ke depan. Dia berharap tidak ada lagi warga yang menanam tumbuhan tersebut. "Tapi jika besok masih ada yang kembali menanam, kita akan tindak," kata Benny.
Di tempat yang sama, Wakil Bupati Karyawan Fathurrachman menegaskan, pemkab tidak akan memberikan ganti rugi terhadap tanaman ghat yang dimusnahkan. Karyawan mengatakan, persoalan pemusnahan ghat berkait erat dengan kesadaran. Sehingga pemusnahan ghat di wilayah Cirsarua tidak berefek pada tanggungjawab pemerintah Kabupaten untuk melakukan ganti rugi bagi para petani-petani yang sudah menanam ghat dalam jumlah yang besar.
“Tidak ada ganti rugi. Dalam konteks ini, persoalan ketegasan status tumbuhan ghat melibatkan hukum dengan sifat ketegasannya,” bebernya kepada Radar Bogor (Grup JPNN).
Sejatinya, pemusnahan ghat di Puncak bisa disamakan dengan pemusnahan ganja di Aceh. Dalam hal ini, pemerintah menggeber kegiatan alternative development, dengan memberikan ganti rugi pemusnahan ganja dengan tanaman yang sama-sama memiliki nilai ekonomis, seperti kunyit, nilam dan jabon.
Sementara itu, pemilik lahan ghat seluas 300 meter di Jalan Pasir Tugu, RT 1/5, Kampung Alun-alun Impres, Desa Cibeureum, Nanang Suranta Wijaya (47) mengaku kecewa dengan tidak adanya ganti rugi tersebut. Padahal menurut Nanang, dirinya sudah bertahun-tahun menanam dan membudidayakan tanaman yang tergolong narkoba golongan I tersebut. Terlebih dia mengaku mesti mengeluarkan biaya perawatan Rp500 ribu per bulannya.
“Saya tidak punya penghasilan lagi. Sekarang semuanya telah dilarang. Saya pun tidak mungkin menanam lagi,” ujarnya.
Camat Cisarua Teddy Pembang mengharapkan pemerintah agar lebih mengerti nasib petani. “Warga tentunya sangat butuh ganti kerugian atau kompensasi,” ujarnya. (cr4/cr3)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 2 Pejabat Pemkot Makassar jadi Tersangka
Redaktur : Tim Redaksi