Gila

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 23 September 2021 – 11:51 WIB
Sejumlah pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Bekasi, Jawa Barat. Gambar diambil Agustus lalu. Foto: Ricardo

jpnn.com - Orang dengan gangguan jiwa alias ODGJ adalah sebutan orang-orang yang dulu disebut sebagai gila, sinting, atau sejenisnya.

Penyebutan gila dan sinting dianggap diskriminatif dan menimbulkan stigma, karena itu harus dihilangkan dan diganti dengan istilah baru.

BACA JUGA: Ribuan Penyandang Disabilitas dan ODGJ Mendapat Vaksin Sinopharm di Polda Jatim

Di daerah perdesaan di Jawa, orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dipasung atau dirantai kakinya, supaya tidak berkeliaran ke mana-mana.

Kaki mereka dimasukkan ke lubang sebuah balok besar yang beratnya puluhan kilogram, sehingga tidak memungkinkan untuk bergerak leluasa apalagi berjalan.

BACA JUGA: Ustaz Chaniago Diserang Saat Berceramah, Begini Reaksi Kubu HRS

Ada juga yang kakinya dirantai dan diikatkan ke pohon di luar rumah supaya tidak berkeliaran dan mengganggu orang lain.

Pemandangan seperti ini sudah jarang terlihat sekarang, tetapi stigma dan tindakan diskriminatif terhadap penyandang gangguan jiwa tetap banyak terjadi di masyarakat.

BACA JUGA: Detik-Detik Menegangkan Wanita ODGJ Melahirkan di Pinggir Jalan, Begini Cerita Selanjutnya

Beberapa hari terakhir ini ramai berita di media mengenai ODGJ yang menyerang seorang penceramah yang sedang memberikan tausiah di depan jemaah.

Sang ustaz yang sedang berpidato tiba-tiba didatangi oleh seseorang yang terlihat berusaha menyerang atau mencederai.

Penyerang itu berhasil diamankan oleh jemaah masjid, dan kemudian dicurigai sebagai ODGJ.

Ini bukan kali pertama terjadi peristiwa semacam itu. Salah satu yang lebih serius dialami oleh Syekh Ali Jaber.

Ketika sedang memberikan ceramah di Lampung pada 2020, tiba-tiba seorang pemuda menyerangnya dengan senjata tajam. Syekh Jaber yang berusaha menangkis serangan mengalami luka di bagian tangannya.

Serangkaian serangan terhadap pendakwah dan imam masjid ini memunculkan berbagai kecurigaan. Beberapa di antara serangan itu berakibat fatal dan membawa kematian.

Prawoto, komandan Brigade PP Persis meninggal pada 2018 karena diserang oleh Asep Maftuh. Awalnya diduga Asep penderita gangguan jiwa, tetapi akhirnya dia tetap divonis dengan hukuman tujuh tahun penjara.

Seorang kiai pemimpin pesantren di Cicalengka, Umar Basri pada 2018 mengalami luka parah karena diserang dengan balok kayu di bagian kepalanya. Pelaku penganiayaan dinyatakan sebagai ODGJ, karena ketika diinterograsi tidak bisa menjawab pertanyaan dengan konsisten.

Hasil pemeriksaan dan rekam medis menunjukkan bahwa penyerang mengalami gangguan jiwa.

Yang terbaru adalah serangan terhadap Ustaz Abu Syahid Chaniago yang sedang memberi ceramah di sebuah masjid di Batam. Pria yang menyerang Abu Syahid juga dinyatakan sebagai penderita gangguan jiwa.

Polisi sedang mendalami kondisi kejiwaan pelaku, karena ketika diperiksa si penyerang sempat mengatakan bahwa dirinya seorang komunis.

Reaksi beragam bermunculan. Ada yang menganggapnya sebagai sebuah insiden biasa, tetapi ada yang menganggapnya sebagai insiden yang serius, karena ada kesamaan pola dari satu kejadian dengan kejadian lainnya.

Salah satu kecurigaan yang muncul adalah serangan ini sengaja dilakukan oleh ODGJ sebagai bentuk teror dan intimidasi. Jika serangan gagal si penyerang bisa dengan mudah berdalih sebagai ODGJ.

Orang dengan gangguan jiwa, sering disebut sebagai orang tidak waras. Sebutan ini pun banyak diprotes, karena ketidakwarasan dianggap sama dengan kegilaan.

Cara pandang masyarakat terhadap orang yang punya gangguan jiwa berubah dari masa ke masa. Dan sekarang, berdasarkan undang-undang resmi 2014 orang yang tidak waras tidak boleh disebut gila, dan sebagai gantinya diperkenalkan istilah ODGJ.

Cara pandang masyarakat terhadap kegilaan atau ketidakwarasan berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Orang dianggap punya gangguan jiwa kalau perilakunya menyimpang, tidak sama dengan tingkah laku yang umum dalam norma kehidupan sosial.

Para penderita gangguan jiwa ini sering berperilaku agresif dengan menyerang orang lain atau merusak benda-benda di sekitar.

Karena itu mereka dipasung dengan kayu besar, atau dengan rantai berat yang diikatkan ke pohon atau tiang besar, supaya tidak berkeliaran dan tidak mengganggu orang lain.

Pemasungan semacam ini sudah sangat jarang terjadi, kecuali di perdesaan yang terpencil. Masyarakat sudah mengenal rumah sakit jiwa yang tersedia di hampir semua kota kabupaten di Indonesia. Rumah sakit jiwa menjadi pusat isolasi ODGJ supaya tidak berbaur dengan orang-orang normal yang disebut sebagai orang waras.

Dalam pergaulan sosial ada orang-orang yang disebut gila meskipun tidak mengalami gangguan jiwa seperti ODGJ. Orang yang jatuh cinta setengah mati kepada pasangannya disebut sebagai tergila-gila.

Orang yang memburu harta dan terobsesi menumpuk kekayaan disebut gila harta. Orang-orang yang memburu kekuasaan dan menghalalkan segara cara disebut sebagai gila kekuasaan.

Gila adalah bagian dari peradaban. Dari masa ke masa kegilaan mewarnai peradaban dan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan peradaban. Filosof Prancis, Michel Foucault melakukan studi mendalam mengenai orang-orang gila dan menuliskannya dalam buku monumental ‘’Madness and Civilization’’ (1961).

Kegilaan bukan sekadar kegilaan. Ia bagian dari peradaban manusia. Dahulu di abad ke-17 kalau ada orang yang berpenyakit lepra dia akan dikucilkan dari masyarakat.

Lepra dianggap sebagai penyakit yang mengerikan dan menjijikkan, karena itu penderitanya harus diisolasi dan diasingkan di tempat khusus. Maka dibangunlah banyak bangunan khusus untuk isolasi lepra.

Pada masa itu lepra menjadi semacam endemi yang banyak menulari orang. Karena itu rumah-rumah sakit didirikan untuk menjadi pusat isolasi.

Di Indonesia juga sama, para penderita lepra disingkirkan dan dikucilkan. Namun, karena rumah sakit lepra tidak banyak tersedia, mereka dikucilkan di gubuk-gubuk di luar desa.

Pada abad ke-18 para dokter di Eropa menemukan obat untuk menyembuhkan lepra, sehingga penyakit ini bisa dikendalikan dan penderitanya makin sedikit.

Pusat isolasi di rumah sakit yang sudah kadung dibangun harus tetap terisi. Harus tetap ada orang-orang dikucilkan dan disingkirkan, supaya bangunan-bangunan pusat isolasi itu tetap ada isinya.

Maka kemudian orang-orang yang punya perilaku jiwa menyimpang dibawa ke rumah isolasi untuk mengganti para penderita lepra.

Orang-orang yang disebut gila itu menjadi bagian dari skenario peradaban untuk meneguhkan identitas angtara orang waras dengan orang gila yang punya perilaku menyimpang. Rumah sakit jiwa menjadi penanda peradaban modern yang waras.

Orang-orang modern yang sibuk setiap saat sampai tidak punya waktu berkumpul dengan keluarga, disebut sebagai orang yang waras.

Orang yang punya ambisi kekuasan yang meluap-luap sampai menghalalkan segala cara dianggap sebagai orang waras. Publik menganggap perilaku itu bukan sebagai penyimpangan, tetapi sebagai hal yang lumrah.

Orang yang hidup eskatis, zuhud, menolak harta, malah disebut sebagai tidak waras. Orang yang menolak kekuasaan dan tetap memilih menjadi rakyat jelata disebut sebagai tidak waras. Ukuran gila dan waras menjadi jungkir balik di abad milenial ini.

Focault mengatakan orang gila sudah tidak ada sekarang ini, tetapi kegilaan kolektif sekarang terjadi setiap hari di sekitar kita.

Untuk melanggengkan kekuasaan dilakukan manipulasi dengan melakukan amandemen terhadap undang-undang untuk memperpanjang periode kepresidenan.

Mereka yang melakukannya pasti bukan orang gila. Mereka orang waras. Ratusan orang yang berkumpul di gedung mewah dan digaji tinggi ratusan juta rupiah sebulan itu bukan orang gila, tetapi menurut Foucault, perilaku mereka adalah perilaku gila kolektif.

Isolasi terpusat maupun isolasi mandiri yang dijalani di masa pandemi oleh manusia di seluruh dunia sekarang ini, sama dengan isolasi yang dilakukan terhadap penderita lepra di abad ke-17.

Setelah pandemi ini berakhir, isolasi masal maupun mandiri tetap akan terjadi. Rakyat dan masyarakat luas akan tetap terisolasi dari proses demokrasi, sehingga keputusan-keputusan penting hanya diambil oleh segelintir anggota oligarki.

Para anggota oligarki ini adalah orang-orang yang masuk dalam kategori ODGJ alias ‘’orang dungu gila jabatan’’. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler