Mahasiswa PhD pada Fakultas Kedokteran Melbourne University asal Indonesia, Gita Vita Soraya, bersama timnya terpilih sebagai penerima bantuan penelitian dari Bill & Melinda Gates Foundation. Mereka meneliti pengembangan alat diagnostik parasit malaria yang banyak ditemukan di kawasan Asia Pasifik.

Gita yang kelahiran Makassar tahun 1989 ini, memulai studi PhD-nya pada tahun 2014. Bagaimana seluk-beluk kehidupan Gita sebagai peneliti di Australia? Berikut perbincangannya dengan Farid M. Ibrahim dari ABC Australia Plus.

BACA JUGA: Kecelakaan Pesawat Garuda 10 Tahun Lalu

Riset PhD Anda bertujuan mengembangkan alat diagnostik parasit malaria. Bisa diterangkan lebih terinci?

Sebagai mahasiswa PhD Melbourne University, saya sedang meneliti pada Kwan Lab di Department of Medicine-Royal Melbourne Hospital (RMH) dan di the Centre for Neural Engineering (CfNE). Penelitian saya terkait dengan pengembangan peralatan diagnostik yang nantinya diterapkan dalam pengobatan.

BACA JUGA: Mural Cantik Hidupkan Kota Brisbane

Bersama tim pada RMH dan CfNE, kami ingin mengembangkan alat diagnostik yang bisa dipergunakan tanpa perlu menggunakan laboratorium (yang selama ini merupakan syarat utama). Selain itu, alat ini nantinya juga bisa dipergunakan dengan biaya murah untuk melakukan tes genetik atas reaksi berbahaya dari penggunaan obat.

Namun saat saya melakukan studi PhD, kami juga menerapkan teknologi ini untuk berbagai tujuan diagnosa yang lain dan memperluas cakupan aplikasinya.

BACA JUGA: Peluang Patroli Bersama Australia-Indonesia di Laut China Selatan

Saya sangat bersyukur karena tim saya dan para pembimbing kesemuanya menaruh perhatian besar pada isu ini, dan tujuan kami sama. Kami percaya bahwa diagniostik seharusnya bisa diakses oleh semua orang tanpa memandang kondisi ekonomi dan lokasi mereka. Sehingga bisa memastikan bahwa pasien akan mendapatkan diagnosa dan pengobatan yang layak secara aman dan terjangkau.

Apa saja cakupan penelitian yang didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation?

Proyek ini merupakan kerjasama dengan peneliti utama Professor Stephen Rogerson (Doherty Institute), Professor Stan Skafidas (CfNE), Professor Patrick Kwan (Department of Medicine) dan saya sendiri Dr Gita Vita Soraya (PhD Student, Department of Medicine).  Tujuannya untuk mengembangkan alat yang disebut immunosensor malaria yang sangat sensitif serta non-invasive. 

Tim kami akan membuat alat dielectric immunosensors ini yang nantinya bisa menyasar protein parasit malaria yang umumnya ditemukan di kawasan Asia Pasifik untuk divalidasi melalui contoh ludah dan darah. Idealnya prototipe alat ini berbiaya murah dan mudah dipergunakan.

Jika nantinya berhasil, bagaimana penelitian ini bisa berkontribusi bagi penanganan malaria di negara seperti Indonesia?

Penelitian kami dilakukan karena adanya kebutuhan alat diagnostik dalam memerangi malaria dan Indonesia merupakan negara yang tergabung dalam Asia Pacific Elimination Network, bertekad menjadi negara bebas malaria pada tahun 2030 mendatang atau 14 tahun dari sekarang.

Upaya Indonesia dalam memberantas malaria telah membuahkan hasil, ditandai dengan menurunnya pasien meninggal akibat malaria. Namun kasus malaria tetap banyak ditemui dan juga masalahnya beragam di berbagai wilayah Indonesia.

Isu lainnya adalah masalah ketersediaan alat diagnostik yang masih terbatas dalam hal sensivitasnya. Alat Rapid Diagnostics saat ini kurang memadai dalam mendeteksi parasit dalam kategori rendah yang cukup berpengaruh dalam upaya pengobatan. Kesenjangan dalam masalah sensivitas, biaya dan kemudahan penggunaan alat diagnostik inilah yang akan diatasi oleh hasil penelitian kami nantinya. Gita with her husband, Muhammad Yasir Wahab and 3-year-old son Aqil.

Supplied: Gita Vita Soraya

Bekerja dalam lingkungan yang multi disiplin tentunya memiliki tantangan tersendiri...?

Saya kira setiap studi PhD memiliki tantangannya sendiri. Dalam kasus saya ini, masalah terbesarnya adalah bagaimana beradaptasi. Saya berasal dari latar belakang klinik/medis dan kini terlibat dalam proyek yang pendekatannya lebih multi disiplin.

Meskipun sangat menarik, namun saya memerlukan waktu untuk beradaptasi dalam lingkungan berbeda, dengan cara berpikir beda.

Dalam banyak hal, seringkali ada hal yang tidak sama dengan yang saya rencanakan. Namun tentunya itu merupakan bagian dari proses dari kegiatan penelitian baik secara individual maupun dalam tim. Yang penting saya belajar dari kesalahan sebelumnya dan terus memperbaiki eksperimen yang gagal.

Bagaimana Anda melihat lingkungan riset di Australia, dan bagaimana jika hal itu dibandingkan dengan yang di Indonesia?

Saya terlibat dalam penelitian ini karena melihat peluang untuk ambil bagian dalam sesuatu yang saya inginkan, yaitu pendekatan multi disiplin dalam riset bidang kesehatan. Saya belum pernah menemukan hal itu sebelumnya, dan tadinya riset PhD saya murni di bidang klinik kesehatan saja.

Jangan salah, riset klinik tetap menarik, namun saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Saya ingin terlibat dalam penelitian bersama pakar-pakar dari bidang studi lainnya guna mengembangkan pendekatan baru di bidang saya sendiri.

Bekerja sama dengan peneliti dalam tim yang beragam ini telah membuka wawasan saya. Setiap harinya saya bekerja dengan pakar klinik, ahli biologi molekul, serta para insinyur. Mereka terus mendorong saya untuk berpikir di luar bidang saya. Saya yakin kerjasama seperti inilah yang akan menjadi masa depan dunia penelitian.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Saya kira sama saja. Indonesia telah mengalami perubahan mendasar beberapa tahun terakhir. Lihat saja misalnya, adanya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

LPDP memungkinkan sarjawa Indonesia untuk terus menuntut ilmu sesuai dengan bidangnya sepanjang bisa memberikan manfaat bagi masa depan Indonesia. Kehadiran LPDP merupakan langkah penting bagi peningkatan penelitian akademik di tanah air. Saya sendiri melanjutkan studi PhD ke Australia ini atas biaya LPDP, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih.

Selain itu, baru-baru ini juga diluncurkan skema bantuan penelitian bernama DIPI yang digagas oleh Akademi Ilmu Pengetahun Indonesia.

Dalam kehidupan sebagai peneliti apalagi di luar negeri, dukungan keluarga tentu sangat berarti?

Saya tinggal bersama suami Muhammad Yasir Wahab dan anak kami Aqil (3 tahun). Suami saya sangat mendukung perjalanan hidup saya sebagai peneliti. Saya akui sangat berat hidup jauh dari lingkungan keluarga besar di Indonesia.

Sekarang ini tinggal kami bertiga di negara orang, dan suami saya juga bekerja. Kami jatuh-bangun bersama menghadapi segala tantangan, saling memahami kekuatan dan kekurangan masing-masing.

Bukankah hidup seharusnya adalah bagaimana mengatasi persoalan yang dihadapi, pengembangan diri, mengejar mimpi, dan memaknai setiap momen berharga bersama orang yang kita cintai?

Lihat Artikelnya di Australia Plus

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lingkungan yang Tercemar Bunuh 1,7 Juta Anak Tiap Tahunnya

Berita Terkait