GMKI Soroti Lonjakan Kasus Covid-19, Ingatkan Jokowi soal Impor Vaksin

Rabu, 01 September 2021 – 12:02 WIB
GMKI soroti lonjakan kasus Covid-19, ingatkan Jokowi soal impor vaksin. Ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) menyoroti ihwal penanganan Covid-19 yang dinilai kurang maksimal.

Dua tahun sejak Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan anggaran triliunan untuk membiayai program terkait corona. Ironinya, hasilnya tak sesuai yang diharapkan.

BACA JUGA: Jessica Iskandar Datangi Polresta Denpasar, Bikin Heboh, Ada Apa?

"Misalnya lonjakan kasus positif Covid. Di Jawa dan Bali sudah mereda, tapi lihat di luar itu. Sumut (Sumatera Utara) dan Nusa Tenggara Timur lonjakannya luar bisa tinggi," ujar Ketua PP GMKI Prima Surbakti melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (1/9).

Prima menjelaskan sejak 1-31 Agustus 2021, kasus covid-19 di Sumut melonjak naik menjadi 34.608 kasus dengan rata rata 1.116 kasus per hari dan tingkat kematian 29 orang per hari.

BACA JUGA: Ibu Rumah Tangga Berbuat Nekat, Korbannya 55 Orang, Ya Ampun

Sedangkan lonjakan cepat terjadi NTT dengan 19.445 kasus dengan rata-rata 628 kasus per hari dan tingkat kematian 15 orang.

"Faktornya karena minimnya fasilitas kesehatan, mahalnya biaya 3T (testing, tracing, dan treatment) serta program vaksinasi yang belum merata di daerah," kata Prima.

Dia lantas menyinggung Airlangga Hartarto yang notabene penanggung jawab PPKM di luar Pulau Jawa-Bali.

Prima menilai Airlangga lambat dalam mengoordinasikan kebijakan strategis dengan pemerintah daerah.

"Saya pikir Presiden Jokowi harus menyoroti betul soal ini," tegas alumnus Institut Teknologi Bandung tersebut.

Persoalan lain yang tak kalah penting yakni soal program vaksinasi. Dipaparkan Prima sampai tanggal 31 Agustus 2021, laju distribusi vaksin hanya mencapai 123.5 juta dosis (56,6 persen dari vaksin yang masuk) yang terdiri 9.85 juta vaksin Coronavac, 89.36 juta vaksin Sinovac dari Biofarma, 15.982 juta vaksin Astrazeneca, 7.55 juta vaksin Moderna, dan 500 ribu vaksin Sinopharm.

"Suplai vaksin yang lambat serta kualitas vaksin covid-19 adalah penyebab lambatnya laju distribusi," kata Prima.

PP GMKI mencatat sudah ada 217.9 juta dosis vaksin yang diimpor oleh Indonesia melalui 45 tahapan.

Dari vaksin yang masuk, terdapat lima jenis vaksin di antaranya 180,7 juta dosis Sinovac (26,8 juta vaksin jadi Coronavac, dan 153.9 juga dalam bentuk bahan baku atau bulk), 18.76 juta vaksin Astrazeneca, 8.29 juta vaksin Sinopharm, 2.6 juta vaksin Pfizer, dan 7.5 juta vaksin Moderna.

"Artinya vaksin Sinovac paling banyak diimpor, tapi laju distribusinya hanya mencapai 55 persen. Sedangkan vaksin Astrazeneca jauh lebih tinggi yakni 82 persen," jelas Prima.

Dia juga membandingkan efikasi vaksin Sinovac lebih rendah ketimbang Astrazeneca serta harga Sinovac yang jauh lebih mahal.

Berdasarkan hasil uji klinis tahap tiga yang dilakukan di Bandung, efikasi vaksin Sinovac mencapai 65,3 persen. Melansir studi efikasi vaksin covid-19, vaksin Astrazeneca menunjukkan nilai 70.4 persen dalam mencegah covid-19.

"Yanga disayangkan, harga vaksin Sinovac lebih mahal dari pada vaksin Astrazeneca. Harga vaksin Sinovac jadi adalah $ 13.3 per dosis sedangkan harga bulk Sinovac adalah $ 11 per dosis. Dalam proses pengelolaan bulk menjadi vaksin, bulk akan menyusut sekitar 10-15 persen. Artinya, rata-rata harga proses bulk menjadi vaksin adalah $12.84 per dosis. Belum ditambahkan anggaran produksi dan managemen, bisa jadi lebih dari harga beli vaksin. Sedangkan harga produksi vaksin Astrazeneca hanya $ 3-4 per dosis," ungkap Prima.

"Mengapa Ketua KPCPEN Erick Thohir tetap menyetujui impor vaksin sinovac? Padahal beberapa peneliti vaksin Astrazeneca merupakan ilmuwan dari Indonesia," lanjut Prima.

PP GMKI mengingatkan Erick Thohir agar berhati-hati terkait anggaran impor vaksin yang mencapai Rp 58 triliun.

Pasalnya, ekonomi negara sedang dalam keadaan sulit, jurang defisit APBN sangat lebar dan utang menumpuk. Selain itu, laju distribusi yang rendah, rentan merugikan keuangan negara.

"Presiden Jokowi harus melakukan evaluasi mendalam. Presiden butuh negarawan yang bekerja di atas kepentingan rakyat, bukan kepentingan bisnis," kata Prima Surbakti. (rhs/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler