JAKARTA -- Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin, mengatakan, rapat panja Selasa (28/2) menemukan berbagai hal penting.
Pertama, dijelaskan dia, soal sistem perhitungan. Menurut Nurul, Partai Demokrat berpandangan bahwa perhitungan perolehan kursi habis di daerah pemilihan (dapil) dengan sistem kuota."Golkar berpandangan, Anggota DRP itu equal, tidak ada kursi haram, tidak ada kursi yang terlalu banyak," katanya, Rabu (29/2), di Jakarta.
Partai Golkar berpikir mesti ada metode perhitungan untuk menentukan posisi anggota agar equal. "Kami menginginkan metode Divisor. Basis perhitungannya adalah habis di dapil namun dengan menggunakan metode Divisor," tegasnya.
Sedangkan PDIP tidak membicarakan persoalan sistem, tetapi memiliki pokok pikiran utama yakni habis di dapil. PKS berpendapat harus menggunakan varian divisor dengan varian webster, bukan D’Hont. Di Papua Barat, jika menggunakan sistem Divisor D’Hont, maka akan dikuasai oleh Golkar. Yang mendekati proporsional adalah varian Webster. "Hal ini akan terkait dengan alokasi kursi, representasi, tidak merugikan partai besar dan partai kecil, tetapi semuanya harus dirangkul," ujarnya.
PAN berpandangan bahwa dapil itu adalah entitas yang memiliki kekuatan, di dalamnya ada warga negara yang punya hak pilih. Karena itu, konversi perhitungan suara habis di dapil. "Prinsipnya sama dengan yang diusulkan oleh Demokrat, yakni dengan sistem kuota," ungkapnya.
PPP menegaskan konversi suara ini yang simple saja, tidak menyulitkan. Yang penting memenuhi angka BPP, tetapi jika masih ada sisa kursi, maka sisa kursi itu dibagi habis saja berdasarkan jumlah kursi.
"Panja bersepakat memutuskan agar perhitungan suara habis di Dapil, tetapi belum memutuskan sistem apa yang akan digunakan," kata Nurul.
Terkait masalah besaran dapil dan alokasi kursi, ia mengatakan, PPP mengusulkan untuk menggunakan sistem proporsional terbuka. PPP menginginkan agar besaran dapil 3-10 untuk DPR RI dan untuk DPRD besarannya 3-12.
PAN menginginkan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Alasannya, bahwa ini mencerminkan nilai demokrasi yang lebih berkualitas. PAN masih mengikuti besaran dapil pemilu tahun 2009, yakni 3-10 untuk DPR RI dan DPRD 3-12.
PKS menginginkan sistem proporsional tertutup dengan berbagai alasan. Pertama, alasan konstitusional. Kedua, amanat UU Parpol agar sistem kaderisasi partai. Penyampaian sikap partai di DPR/DPRD juga dilakukan dengan logika sikap Fraksi. Sistem tertutup dengan sistem pree eliminary party. Ketiga, dengan sistem tertutup ini bisa mengurangi mahalnya ongkos pemilu.
Mengenai besaran Dapil: 3-10 untuk DPR RI dan 3-12 untuk DPRD.
PDIP menginginkan sistem proporsional tertutup. Alasannya, pertama tidak ada saksi perorangan pada Pemilu 2009 yang muncul, tetapi saksi partai. Kedua, laporan keuangan kampanye hanya dilakukan oleh partai, sementara penggunaan keuangan individu tidak dilaporkan. Ketiga, individualistic sistem lebih kuat daripada kolektivisme sistem, karena bukan partai yang diperkuat. Mengenai besaran Dapil 3-8 untuk DPR RI dan 3-10 untuk DPRD.
Sedangkan Golkar menginginkan sistem campuran. Yakni kombinasi proporsional terbuka dengan proporsional tertutup. "Dalam sistem campuran ini, bisa menjawab kekhawatiran berbagai pihak dari dua kubu yang menginginkan sistem yang berbeda dan sama-sama kuat," kata Nurul Arifin.
Mengenai besaran Dapil cukup 3-6 secara nasional, yakni berlaku di tingkat pusat hingga daerah. "Besaran ini dengan alasan untuk mendekatkan pemilih," ungkapnya.
Demokrat menginginkan sistem proporsional terbuka dengan alasana agar demokrasi bisa tetap melakukan konsolidasi. Besaran Dapil antara 3-10 untuk DPR RI dan 3-12 untuk DPRD. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wanda Hamidah Deklarasi Jadi Cagub
Redaktur : Tim Redaksi