Golkar Kecewa dengan Demokrat dan PKS

Jumat, 13 April 2012 – 18:19 WIB

JAKARTA -- Anggota Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang (RUU) Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD, Nurul Arifin, mengatakan pembahasan RUU itu yang dibahas di DPR selama 1,5 tahun, hanya sia-sia.

Dia menilai, hasil RUU Pemilu yang baru saja disahkan DPR dalam Rapat Paripurna, Kamis (12/3), tidak sesuai dengan harapan.

"Itu membuang-buang waktu dan tidak sesuai harapan,"  kata Nurul, didampingi Ketua Umum Karya Tunas Nusantara (KTN), Aziz Syamsudin, Jumat (13/4) dalam diskusi publik bertema "UU Pemilu", di Jakarta.

Nurul menjelaskan, pembahasan di awal diskusi dan perdebatan yang berbasis akademis mengemuka, sehingga cukup menjanjikan adanya perubahan UU yang berkualitas. "Tapi menurut saya lebih banyak kepentingan," ungkap Anggota Komisi II DPR, itu.

Nurul mengatakan, ambang batas parlemen 3,5 persen yang berlaku secara nasional tidak sesuai dengan semangat penyederhanaan partai dan semangat memperkuat sistem presidensial.

Menurutnya, angka ideal PT, adalah lima persen seperti yang ditawarkan Partai Golkar. "Itu kalau mau pararel dengan sistem presidensial yang kita anut," ungkap Nurul.

Dia juga menilai PT yang  berlaku secara nasional, tidak adil bagi partai-partai lokal. Selain itu, kata dia, pemberlakukan ambang batas parlemen secara nasional tidak sesuai dengan hukum atau aturan yang seharusnya berlaku secara nasional, bukan parsial.

Selain itu, kata Nurul, Partai Golkar mengusulkan sistem pemilu campuran yang terdiri dari 70 persen sistem pemilu daftar terbuka dan 30 persen sistem tertutup agar bisa mengakomodir kepentingan pasar dan partai.

Menurut Nurul, Sekretariat Gabungan partai koalisi sebetulnya sudah tertarik dengan tawaran itu saat dipresentasikan. Tapi, yang dipermasalahkan adalah soal waktu.

Dia juga menilai, metode penghitungan suara kuota murni yang dipilih DPR,  merupakan salah satu bentuk ketidakadilan dalam sistem pemilu bagi partai besar. Dalam metode penghitungan suara kuota murni, kata Nurul, partai-partai "kecil" dan menengah yang tidak mendapatkan suara tidak sama seperti partai-partai besar masih bisa mendapatkan kursi di parlemen.

"Ini adalah sebuah korupsi dalam sistem pemilu dan politik. Karena mereka menduduki kursi yang bukan haknya. Mereka hanya tunggu limpahan kursi saja," ungkap Nurul lagi.

Ia menyatakan kecewa dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang pada awalnya mengusung metode penghitungan suara divisor webster, malah berbalik mengusung kuota murni. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dukungan Cagub Independen Dicek Lagi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler