Golkar Merapat ke Jokowi

Jumat, 13 Juli 2012 – 06:25 WIB

JAKARTA - Kekalahan pasangan Alex Noerdin - Nono Sampono berdasarkan hasil Quick Count Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta menjadi pukulan telak Partai Golongan Karya. Namun, Partai Golkar menilai kekalahan di Pilgub DKI itu tidak perlu dianggap sebagai kekalahan di pemilu legislatif 2014 nanti.

"Tidak perlu didramatisasi sebagai indikasi kekalahan Golkar secara nasional," kata Hajriyanto Thohari, Ketua DPP Partai Golkar di Jakarta, kemarin (12/7).

Hajriyanto menilai, kalahnya pasangan yang diusung Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Damai Sejahtera itu menunjukkan posisi Jakarta yang memiliki karakter yang unik. Sejak pemilu dimulai pada era Orde Baru, Jakarta hampir-hampir tidak pernah bisa ditaklukkan partai Golkar.

"Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang kuat-kuatnya, Golkar kalah di Jakarta," kata pria yang juga Wakil Ketua MPR RI itu.

Setidaknya, kata Hajriyanto, ada beberapa fakta yang menunjukkan Jakarta memiliki karakter yang unik. Di era reformasi, yang menjadi pemenang adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun, pada pemilu legislatif 2004, justru Partai Keadilan Sejahtera yang berad di atas. "Pemilih di Jakarta itu sangat rasional, situasional, dan likuid sekali. Tidak ada pemilih tradisional fanatik di DKI," kata dia.

Hajriyanto menilai, parpol dalam bertarung di DKI harus benar-benar bermain cerdas. Parpol harus cerdik dan piawai mengatur taktik dan strategi. "Di masa Orba, PPP yang menang, karena menjadi simbol oposisi terhadap penguasa," ujarnya memberi contoh.

Lantas, kepada siapa Partai Golkar akan berkoalisi di putaran kedua nanti? Hajriyanto memandang sebaiknya Partai Golkar tidak berkoalisi dengan partai atau cagub manapun. Kekalahan ini penting untuk menjadi bahan perumusan strategi menghadapi pemilu 2014 di DKI Jakarta. "Bebaskan saja anggota Partai Golkar untuk memilih," tandasnya.

Golkar Merapat ke Jokowi

Bila DPP Partai Golkar masih ragu-ragu, DPD Partai Golkar DKI Jakarta justru telah menentukan pilihan. Setelah Alex Noerdin-Nono Sampono kalah dengan raihan angka yang memalukan di putaran pertama, DPD Golkar Jakarta bakal mengalihkan dukungan ke Joko Widodo (Jokowi) -Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Suara rakyat adalah suara Golkar. Karena itu kami akan mengikuti suara rakyat Jakarta dan suara rakyat Jakarta mengarah kepada pasangan Jokowi dan Ahok," ujar Sekertaris DPD Partai Golkar Jakarta Zaenuddin.

Melihat minimnya perolehan suara Alex-Nono, Zaenudin memastikan suara akar rumput kader Golkar Jakarta memilih pasangan Jokowi-Ahok. "Dengan demikian,  jelas Partai Golkar bakal memilih Jokowi untuk jadi gubernur Jakarta," terangnya.

Zaenudin menegaskan, karena jagonya kalah, DPP Partai Golkar sudah tidak bisa lagi mengintervensi seperti ketika penentuan bakal calon gubernur yang resmi didukung Golkar di putaran pertama. "Memasuki putaran ke dua ini, DPD Partai Golkar yang menentukan kebijakan. DPP perannya sudah tidak ada," paparnya.

Bila Golkar sudah menentukan arah dukungan, PPP yang di putaran pertama juga menjagokan Alex-Nono belum mengambil keputusan. Ketua DPW PPP Jakarta Lulung Lunggana mengaku akan berkonsultasi dlu dengan DPP PPP untuk menentukan pasangan calon yang akan didukung di putaran kedua. "Saat ini kami masih melakukan evaluasi terhadap rendahnya raihan suara Alex-Nono sehingga gagal lolos ke putaran dua," terang Lulung.

Bila sejumlah partai tengah berancang-ancang mengalihkan dukungan, Partai Demokrat justru sibuk mencari kambing hitam kegagalan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli mengungguli pasangan Jokowi-Ahok di putaran pertama.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Melani Meilena, menilai kekalahan Foke-Nara disebabkan tim sukses Foke-Nara gagal menyosialisasikan keberhasilan Foke ketika menjabat gubernur DKI. "Padahal pencapaian yang dilakukan Foke saat menjadi Gubernur DKI sangat banyak, namun tidak disosialisasikan dengan baik," katanya.

Melani juga menilai lembaga konsultan politik yang disewa Foke gagal menyajikan fakta bahwa orang yang berasal dari etnis Jawa di Jakarta jumlahnya lebih banyak dibandingkan etnis Betawi. Karena itu, kampanye Foke jarang membidik pendekatan etnis Jawa dibandingkan etnis Betawi.

"Melihat sosok Jokowi, yang adalah Walikota Solo, bahkan tak punya KTP Jakarta, mampu merebut simpati warga ibukota, adalah indikasi warga DKI Jakarta lebih banyak orang Jawa ketimbang orang Betawi," kata dia.

Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul berpesan pendukung Foke-Nara menunjukkan keteladanan dan lebih aktif melakukan upaya jemput bola di putaran kedua. "Jangan tunjukkan arogansi. Sekali lagi, ini era reformasi rakyat tak bisa dipaksa-paksa lagi, rakyat cerdas melihat kenegarawanan pemimpin," tuturnya.

Secara terpisah, PKS yang mengusung Hidayat Nur Wahid - Didik J Rachbini mengakui secara legawa kekalahan pasangan calonnya. Wakil Ketua Kebijakan Publik DPP PKS Agus Purnomo menyatakan, kekurangan di gelaran pilgub DKI hanya terletak di data pemilih. "Secara keseluruhan cukup fair," kata Agus saat dihubungi.

Menurut Agus, raihan suara yang dicapai pasangan Hidayat - Didik murni berasal dari suara kader. PKS selama ini banyak diuntungkan suara dari swing voter yang cenderung berpihak, terutama di pilgub Jakarta sebelumnya dan pemilu legislatif. "Sekarang setelah kita cek banyak yang terkesan dengan Jokowi, sebagian kecil ke Faisal," ujarnya.

Dalam hal ini, Agus mengakui kekurangan PKS dalam menjual nama Hidayat. Meski yang bersangkutan pernah lolos sebagai anggota dewan di pemilu 2004, perlu proses yang lebih dalam pilgub DKI untuk kembali mempopulerkan Hidayat. "Kami kalah di iklan untuk memasarkan beliau," ujarnya.

Agus tidak melihat adanya ketidaksiapan PKS dalam pilgub DKI Jakarta. Bagaimanapun juga, raihan itu adalah hasil terbaik yang dimiliki pasangan tersebut. Agus sendiri berharap PKS bisa menjalin koalisi dengan pasangan Jokowi " Basuki di putaran kedua nanti. "Saya dulu pernah mendukung beliau (di Pilwali Solo, red) saat menjadi korwil Jateng- DIJ," tandasnya.

Sementara itu, PPP yang juga merupakan partai pengusung pasangan Alex-Nono berpandangan, bahwa Pilkada DKI bukan soal proyeksi 2014. Namun, hanya soal prestise partai untuk memenangkan kandidatnya masing-masing. "Adalah tidak rasional menggunakan DKI yang hanya meliputi 7 juta pemilih dan enam daerah tingkat II sebagai barometer pileg atau pilpres," kata Sekjen DPP PPP M. Romahurmuziy.

Dia lantas membandingkan dengan ukuran pemilu nasional yang jauh lebih besar. Yaitu terdiri dari 491 kabupaten/kota dan sekitar 174 juta pemilih. "Kemenangan Jokowi-Ahok adalah keberhasilan sementara dalam mengelola kegagalan konsep pasangan lain, baik pengelolaan lapangan maupun kemasan," imbuhnya.

Keberhasilan tersebut, imbuh dia, belum tentu berlanjut di putaran kedua. Sebab, saat itu, menurut Romy "sapaan akrab Romahurmuziy- semua parpol akan lebih serius. Selain itu, pola dukungannnya juga tidak lagi bersifat taktis. "Pola dukungan nantinya akan lebih ideologis," kata dia, sembari mengungkapkan, kalau partainya belum memastikan arah dukungan nantinya.

Komitmen dukungan lebih serius partai terhadap kandidat memang mulai muncul. Terutama, dari partai-partai pendukung pasangan Foke-Nara yang mengalami kekalahan sementara di putaran pertama.

Ketua Umum DPP PKB A. Muhaimin Iskandar, diantara yang menegaskan akan lebih allout memberikan dukungan pada putaran kedua nantinya. "Putaran kedua, saya akan turun all out," tegas Muhaimin, di kantor DPP PKB, Jakarta, kemarin.

Di sisi lain, dia juga mengingatkan, agar Foke jugabisa lebih intensif menyapa rakyat secara langsung. "Datang ke kantong-kantong masyarakat, tidak boleh terhambat berkomunikasi dengan rakyat gara-gara kumis," saran Muhaimin. (bay/dyn/wok/pes)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Timses Foke-Nara Dinilai Letoy


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler