“Anggaran itu kan untuk korban yang jauh dari lokasi lumpur Lapindo. Sedangkan mereka yang berada di wilayah terdampak, sudah mendapat ganti untung dari keluarga Bakrie, selaku pemilik saham di PT Lapindo Brantas,” kata Harry Azhar Azis kepada wartawan, Senin (4/6) di gedung DPR RI.
Penegasakan ini disampaikan Harry karena masih ada sebagian pihak yang mempertanyakan uang negara digunakan untuk korban lumpur. Karena itu upaya untuk mempertanyakan dengan cara menggugat ke Mahakamh Konstitusi (MK) misalnya, kemungkinan karena ada kepentingan politik di balik itu.
“Anda pasti pahamlah, kenapa baru kini itu dipertanyakan, padahal sudah sejak 2007, APBN menganggarkan sebagian dana untuk korban lumpur di area di luar peta terdampak. Sebab di wilayah itu memang tugas pemerintah, bukan perusahaan Lapindo,” katanya.
Kalau pun dalam APBN 2012 masih ada alokas untuk korban lumpur Sidoarjo, lanjut Harry sebenarnya kelanjutan penyelesaian yang sudah dianggarkan dalam APBN 2007, bukan baru kali ini. “Semuanya sudah mendapat persetujuan baik pemerintah maupun DPR,” ujar politisi Partai Golkar itu.
Harry menyayangkan masih banyak orang yang belum paham bahwa keluarga Bakrie telah menghabiskan dana sekitar 7 triliun rupiah untuk melaksanakan komitmen pelaksanaan pembayaran tanah warga di daerah terdampak . “Padahal dari sisi hukum, tidak ada yang salah,” terangnya.
Harry juga mengingatkan kembali bahwa hasil temuan Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) yang dibentuk 4 September 2007 silam, yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, dalam laporan rapat Paripurna Dewan 29 September 2009 menyimpulkan bahwa penyebab semburan lumpur adalah fenomena alam.
Keputusan DPR RI soal sebab semburan lumpur ini juga dikuatkan dengan keputusan MA pada 3 April 2009 inkracht (berkekuatan hukum tetap) bahwa semburan lumpur terjadi karena fenomena alam dan bukan akibat kegiatan penambangan perusahaan. Begitu juga pada 5 Agustus 2009 Kepolisian Daerah Jawa Timur juga telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
“Namun demikian di alam demokrasi, semua orang, termasuk LSM boleh saja mempertanyakan apapun, termasuk soal dana APBN untuk lumpur. Hanya saja, kok baru sekarang. Ada apa ini?” tanya Harry.
Dihubungi terpisah, Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Kusairi mengatakan, pemerintah tidak ingin membiarkan rakyat yang menjadi korban lumpur panas Sidoarjo, hidup dalam keadan tak menentu, apalagi ketakutan akan masa depannya.
“Jadi, apa yang dilakukan pemerintah menganggarkan dana dalam APBN, merupakan aspirasi rakyat yang disetujui Dewan. APBN itu kan uang rakyat, alokasi untuk korban lumpur adalah untuk menolong rakyat juga, jadi tidak salah,” kata dia.
Lebih lanjut Kusairi menjelaskan, anggaran dalam APBN untuk korban lumpur bukan muncul ujug-ujug (tiba-tiba), tapi setelah melalui kajian mendalam oleh tim terpadu di bawah Kementerian ESDM yang akhirnya memutuskan sebanyak 65 RT/Rukun Tetangga di area terdampak tidak layak huni.
Karena itu pemerintah setuju memberi ganti rugi bagi warga di 65 RT yakni di Desa Gempol Sari, Desa Kali Tengah, Desa Ketapang, Desa Gedong I dan Pamartan di Kelurahan Mardi, Sidoarjo. “Jika dana APBN nantinya dibatalkan, pasti akan menimbulkan gejolak baru. Sebab saat ini penyelesaian pembayaran sudah mendekati rampung,” pungkas Kusairi. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Agendakan Periksa Mantan Sekretaris Fraksi Demokrat
Redaktur : Tim Redaksi