jpnn.com, JAKARTA - Memasuki tahun 2025, Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan ekonomi baik di tingkat domestik maupun global.
Pemerintahan baru diharapkan untuk menghadirkan kebijakan yang tidak hanya mengatasi tantangan ini, tetapi juga mampu mengintegrasikan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) guna mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif di tengah ketidakpastian global.
BACA JUGA: Grant Thornton Indonesia Ungkap Peran Vital Perusahaan Mid-Market
Berbagai tantangan eksternal seperti inflasi global, ketatnya pasar tenaga kerja di negara maju, serta berlanjutnya konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina, Israel-Palestina, dan memanasnya ketegangan di Timur Tengah, telah memaksa bank sentral dunia untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan suku bunga. Hal ini berujung pada pengurangan aliran modal ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain itu, Indonesia juga harus menghadapi tantangan domestik, khususnya dalam hal stabilitas harga energi dan pangan yang masih dipengaruhi oleh situasi global yang tidak menentu.
BACA JUGA: Ancaman Siber Meningkat, Grant Thornton Dorong Perlindungan Data Pribadi Bagi Individu
Menanggapi tantangan-tantangan ini, Grant Thornton Indonesia kembali menggelar acara tahunan mereka yaitu, Economic Outlook 2025.
Acara ini diselenggarakan dalam format talkshow pada tanggal 21 November 2024, dengan mengangkat topik "Overcoming Economic Challenges and Integrating ESG into Strategic Planning".
BACA JUGA: Grant Thornton Sebut Investasi di Sektor Siber Harus Menjadi Prioritas
Acara ini dibuka oleh CEO Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani. Dia menyampaikan pentingnya acara ini di tengah tantangan yang dihadapi Indonesia, baik secara domestik maupun global.
“Dengan tema yang kami angkat tahun ini, kami ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat lebih dalam mengenai bagaimana Indonesia bisa menghadapi berbagai tantangan ekonomi yang ada, serta bagaimana integrasi ESG dalam strategi bisnis dan kebijakan ekonomi dapat membantu menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan,” ujar Johanna.
Dalam Economic Outlook 2025, Grant Thornton Indonesia menghadirkan dua pembicara, yaitu Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), dan Tagor Sidik Sigiro, Assurance Partner Grant Thornton Indonesia, untuk memaparkan tantangan utama serta strategi yang dapat diadopsi oleh pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Bhima Yudhistira memaparkan bahwa ekonomi global pada tahun 2025 masih dipengaruhi oleh ketidakstabilan geopolitik, termasuk perang dagang yang berdampak ke perekonomian Indonesia.
“Perang dagang Tiongkok dan AS perlu segera diantisipasi. Sebelumnya negara – negara seperti Tiongkok dan AS mengalihkan industri semikonduktor dan otomotif mereka ke negara ASEAN, tetapi Indonesia belum menjadi prioritas relokasi industri. Selain itu, ancaman kehilangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari AS terhadap produk seperti pakaian jadi, alas kaki, dan perikanan juga dapat menekan daya saing ekspor Indonesia,” ujar Bhima.
Dia juga menyoroti kebijakan pseudo-proteksionisme pemerintah, seperti pelarangan iPhone 16, yang dapat memicu antipati dari investor asing.
"Alih-alih meningkatkan daya saing dan infrastruktur, kebijakan ini malah berpotensi memperburuk iklim investasi. Sementara itu, negara seperti Vietnam lebih kompetitif dengan perjanjian perdagangan yang spesifik," tambahnya.
Dari sisi domestik, Bhima mencatat bahwa kebijakan fiskal yang agresif, seperti kenaikan PPN, dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memicu peningkatan barang ilegal.
"Masyarakat akan beralih ke barang tanpa PPN, yang berisiko memperluas pasar barang ilegal dan menghambat pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Tagor Sidik Sigiro menambahkan bahwa kebijakan fiskal saat ini menjadi perhatian utama sektor swasta.
"Banyak pengusaha merasa kebijakan fiskal seperti pajak PPN dan Natura kurang mendukung operasional bisnis. Selain itu, tren investasi di Indonesia menunjukkan banyak perusahaan hanya membuka kantor dagang tanpa pendirian pabrik di Indonesia sejak 2022. Ini perlu menjadi fokus perhatian agar nilai investasi dalam menyerap tenaga kerja dan bahan baku menjadi lebih optimal," ujar Tagor.
Selain membahas tantangan ekonomi, kedua pembicara sepakat bahwa integrasi prinsip ESG dalam kebijakan ekonomi menjadi langkah penting untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan.
"Di tengah tantangan eksternal, urgensi penerapan ESG semakin tinggi, khususnya di sektor strategis seperti energi, keuangan, dan pertanian. Penerapan ESG tidak hanya mengelola risiko bisnis tetapi juga mendorong stabilitas ekonomi dan daya saing dalam jangka panjang," kata Bhima.
Bhima menambahkan bahwa regulasi dan standar internasional mendorong perusahaan Indonesia untuk mempercepat penerapan ESG. Beberapa regulasi yang relevan seperti IFRS 1 dan IFRS 2, EU Deforestation Regulation, Financial Stability Board (FSB) melalui Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), dan Global Reporting Initiatives (GRI) yang menjadi kerangka kerja utama untuk pelaporan keberlanjutan.
Tagor mengatakan Grant Thornton Indonesia melihat bahwa tren ESG di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara maju.
"Meski demikian, jika diterapkan dengan benar, ESG dapat membantu perusahaan menghadapi fluktuasi ekonomi global dan memastikan keberlanjutan usaha," katanya.
Bhima Yudhistira memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 hanya akan mencapai 4,7%–4,9%, lebih rendah dari target 5%.
"Motor pertumbuhan ekonomi masih bisa didorong karena Indonesia memiliki peluang besar dengan aktifnya peran Presiden dalam diplomasi dagang dan investasi. Kunjungan Presiden ke berbagai forum harus ditindaklanjuti dalam realisasi investasi yang lebih berkualitas serta memperbaiki kesiapan infrastruktur pendukung domestic termasuk sumber energi terbarukan," ungkapnya. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Senang Pembangunan Jembatan Rampung, Warga Sudda Enrekang Gelar Syukuran
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti