jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara kembali mendesak pemerintah untuk memerhatikan nasib guru tidak tetap (GTT).
Pasalnya, banyak GTT yang menerima tunjangan profesi guru (TPG), tetapi tidak mendapatkan honor lagi oleh pemda.
BACA JUGA: Kejar Status PNS, Guru Honorer Nonkategori Bergerak Lagi
"Seorang guru PNS senior menghubungi saya. Dia curhat tentang nasib GTT di sekolah negeri. GTT di sekolah negeri sudah dapat honorarium pemerintah provinsi. Namun saat sudah lolos PPG (pendidikan profesi guru) dan mencari hak TPG atas sertifikat yang diberikan, mendapat kendala," ungkap Dudung kepada JPNN.com, Rabu (10/6).
Bila GTT sudah mendapatkan TPG, lanjutnya, honorarium dari pemerintah provinsi dicabut. Ini bak simalakama.
BACA JUGA: Mas Nadiem, Ini Pengaduan Terbaru Guru Honorer soal TPG
Di sisi lain pemerintah “memerintahkan” setiap guru punya sertifikat pendidik sebagai syarat profesionalitas dan hak mendapatkan TPG.
Namun disisi lain, jika mendapat TPG, harus kehilangan honorarium pemerintah provinsi.
BACA JUGA: Daftar Nama 23 Pejabat Baru di Kementerian BUMN, Ada yang Anda Kenal?
Lebih pilu lagi, TPG lebih kecil dari honorarium pemerintah provinsi.
TPG cair nominalnya Rp 1m5 juta. Sementara honorarium dari pemerintah provinsi sekitar Rp 2 juta.
"Bila harus memilih di antara dua, pasti nominal yang lebih besar harus dipilih. Ikut PPG tetapi TPG tak didapatkan," ucapnya.
Dudung berpendapat, APBD dan APBN sebaiknya kontributif pada guru GTT.
Idealnya kalau guru GTT sudah dapat sertifikat pendidik hak TPG-nya didapatkan. Plus honorarium pemerintah daerah.
Bukankah guru PNS pun dapat anggaran dari pemerintah (APBN) dan pemerintah daerah (APBD).
Bila guru GTT dapat honorarium dari pemda dan TPG maka pendapatan mereka bisa setara UMR/UMP.
Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 dinyatakan, “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial".
"Mengapa masih ada “larangan” guru GTT tidak boleh mendapatkan anggaran double dari TPG dan honor daerah?
Bukankah guru PNS malah sumber pendapatannya berlipat-lipat? Gaji pokok, TPG, THR, gaji ke-13, TPP dan maslahat lain," cetusnya.
Dalam UU No 14 tahun 2005 pasal Pasal 15 dinyatakan, “Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.”
Pasal 15 ini menurut Dudung cukup menjadi dasar bagi GTT yang sudah tersertifikasi.
PGRI, lanjutnya, sudah berhasil mendorong guru GTT bisa ikut PPG. Sejumlah perjuangan panjang masih menanti.
Diantaranya adalah, pertama, mengusulkan TPG cair tiap bulan.
Kedua, guru honorer, sukwan GTT mendapatkan UMR/UMP.
Ketiga, BOS lebih tepat waktu, atau lebih cepat dengan fleksibilitas pelaporan.
Keempat, PPPK segera diberi SK/NIP.
Kelima, promosi, karir para guru penggerak.
Keenam, keadilan bagi sekolah swasta.
Masih banyak aspirasi dan dinamika paraktis para guru yang harus diperjuangkan PGRI.
Dudung berharap spemerintah segera dapat melewati masa krisis COVID-19 dan kembali pada layanan pendidikan yang lebih baik.
“Semoga dunia pendidikan tidak menjadi agenda sisa dari proyek politik lain,” pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad