Gubernur Sumbar Dinilai Tak Peduli Suara Perantau

Sabtu, 05 Mei 2012 – 01:28 WIB

JAKARTA - Direktur eksekutif Pusat Kajian Informasi Strategis (Pakis) Rahmat Hidayat mengingatkan Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Irwan Prayitno tindak melemahkan komunikasi ranah dengan rantau pasca-terpilihnya figur murni kader partai politik memimpin Sumbar. Kalau kondisi ini dibiarkan berlama-lama menurut Rahmat, Sumbar akan kehilangan aset dan kekhasan budayanya berupa komunikasi yang intens antara ranah-rantau yang selama ini dijadikan inspirasi oleh daerah lain.

"Saya melihat pasca-terpilihnya kader partai politik menjadi orang nomor satu di Sumbar muncul satu paradigma baru seolah-olah komunikasi ranah-rantau tidak strategis lagi. Gubernur yang semula sangat diharapkan mengelaborasi secara kreatif budaya komunikasi ranah-rantau untuk lebih membuka partisipasi perantau dalam pembangunan di ranah justru tidak dilakukannya," kata Rahmat Hidayat, di Jakarta, Jumat (4/5).

Fakta ini berbanding terbalik ketika seorang Gamawan Fauzi dengan latarbelakang birokrat tapi berakar budaya Minang dalam memimpin Sumatera Barat. "Gamawan, menurut saya bakal menjadi Gubernur Sumbar terakhir yang konsisten meneruskan budaya komunikasi ranah-rantau yang sudah dirintis oleh Harun Zain dan dipelihara Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Zainal Bakar dan diperkuat oleh Gamawan Fauzi dengan cara membentuk kelembagaan Biro Pembangunan dan Rantau di struktur eselon II Setda Sumbar," tegas Rahmat Hidayat.

Indikasi tidak berkomitnya Irwan Prayitno terhadap aspek budaya komunikasi ranah-rantau, menurut Rahmat bisa dilihat tidak berfungsinya Biro Pembangunan dan Rantau secara maksimal serta diputarbalikannya fungsi-fungsi sosial kantor Penghubung Sumbar di Jakarta murni menjadi representasi Pemerintah Daerah di Ibukota Jakarta.

"Padahal sumber pembiayaan gedung sebesar Rp130 miliar itu berasal dari masyarakat Sumbar. Tapi disaat gedung megah itu berdiri ada sesuatu yang hilang dari tradisi perantau Minang di Jabodetabek, yakni jalan Matraman Raya 19 bukan lagi tempat berkumpul perantau Minang di Jabodetabek untuk bertukar informasi mengenai kampung halaman dan ikatan-ikatan keluarga Minang di Jabodetabek," ungkap Rahmat Hidayat.

Ditegaskan Rahmat, digusurnya fungsi-fungsi sosial budaya di jalan Matraman Raya 19 juga menunjukkan bahwa secara kelembagaan Pemerintahan Daerah Sumatera Barat di bawah kepemimpinan seorang politikus minim wawasan budaya nasional yang terdiri dari puncak-puncak sosial budaya lokal.

"Sikap yang sama juga diperlihatkan oleh kelembagaan DPRD Sumbar selaku pemegang hak budget yang tidak berkomitmen terhadap pemberdayaan sejumlah institusi kesenian dan kebudayaan di Ranah Minang. Kita bisa bayangkan apa yang dapat diperbuat oleh Dewan Kesenian Sumbar kalau setiap tahunnya hanya dijatah dalam APBD sebesar Rp50 juta. Perlakuan yang tidak adil itu konon juga diterima oleh LKAAM unit-unit pemerhati senibudaya lainnya," kata dia.

Dijelaskannya, era kepemimpinan Harun Zain, Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Zainal Bakar dan Gamawan Fauzi masalah seni budaya sebagai kekayaan etnis Minang masih mendapat porsi yang berkeadilan. "Tapi begitu semua kebijakan diproses oleh orang-orang berbasis politik maka seni budaya tergusur dan kesepian," katanya.

Oleh karena itu, Direktur Eksekutif Pakis itu mengingatkan Gubernur Irwan Prayitno untuk lebih berkomitmen dalam menyehatkan komunikasi ranah-rantau dengan cara mengurangi pola matematik politik praktis dalam mengurus masyarakat Minang baik yang ada di ranah maupun di rantau.

"Secara politis masyarakat Sumbar memang tidak bisa meminta pertanggungjawaban politik terhadap Gubernur Irwan Prayitno karena kehadiran Irwan di Sumbar atas penugasan PKS. Artinya tidak atas kehendak dia pribadi memimpin Sumbar. Secara politis, tentu Irwan bertanggung jawab kepada PKS. Tapi inikan masalah budaya yang pada dasarnya jauh lebih penting dari urusan politik praktis," tegas Rahmat.

Meski demikian, Rahmat Hidayat masih menaruh keyakinan seorang Irwan Prayitno beriktikad baik untuk Sumatera Barat. Masalahnya kan hanya tinggal kepada pemahaman dia selaku gubernur dalam mempersepsi eksistensi budaya yang melekat pada diri orang Minang.

"Pendapatan Asli Daerah (PAD) penting memang. Tapi kalau karena mencapai itu lalu idiom-idiom kebudayaan Minang seperti komunikasi ranah-rantau diabaikan, menurut saya itu juga tabrakan beruntun," tegasnya.

Terakhir Rahmat juga mengkritisi lemahnya keinginan Gubernur Sumbar untuk bersilaturrahim dengan tokoh-tokoh perantau Minang baik semasa menjadi anggota DPR maupun disaat menjabat gubernur.

"Mumpung para tokoh itu masih hidup, untuk sesaat lepaskanlah pakaian partai dan datangi mereka minimal dalam konteks bersilaturrahim dan benahi kembali visi keberadaan pejabat dan Kantor Penghubung yang kini terjebak dengan rutinitas mengurus pejabat daerah," harapnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jasa Raharja Cairkan Santunan Rp 350 Juta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler