Gubernur Terpilih Harus Bisa Redam Intoleransi di DKI

Rabu, 05 September 2012 – 17:31 WIB
JAKARTA - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Fisip UI), Yeremiah Lalisang, menilai warga Solo lebih mudah diprovokasi untuk kepentingan tertentu dibanding Jakarta. Bahkan menurutnya, isu intoleransi di Solo juga dianggap lebih laten ketimbang Jakarta.

Yeremiah mengatakan, intoleransi terutama yang berlatarbelakang agama memungkinkan munculnya kekerasaan. "Karena perbedaan, potensi kekerasan muncul itu selalu ada," katanya usai diskusi Publik Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2012-2017 bertajuk "Melihat Intoleransi Politik di Perkotaan" di Kampus Universitas Negeri Jakarta, Rabu (5/9).

Dijelaskannya pula, masalah intoleransi di Solo dan Jakarta berbeda. Menurutnya, konflik sosial di Jakarta lebih dominan karena isu etnis. Sementara di Solo, jika dilihat dari sejarahnya isu politik maka tak hanya unsur etnis yang muncul tapi juga agama.

"Saya sih melihat Jakarta dengan masyarakat yang lebih beragam jauh lebih banyak dari Solo dengan kelas menengah yang lebih banyak, tidak membuat Jakarta selaten Solo," ujar Yeremiah.

Karenanya Yeremiah berharap masyarakat bisa melihat secara arif langkah yang telah dilakukan Jokowi selama memimpin Solo. "Kita lihat penanganan aksi teror pun dalam kapasitas pemerintahan nasional, bukan pemerintahan daerah secara komprehensif. Bukan oleh pemda tapi pemerintah nasional," katanya.

Karenanya Yeremiah tak sependapat jika Jokowi dianggap lebih berkompeten dibanding Fauzi Bowo dalam menangani isu yang sama jika terjadi di Jakarta. Ia beralasan, penanganan konflik-konflik di Solo selama ini tidak semuanya karena peran pemerintah daerah setempat. "Yang lebih berperan oleh pemerintah tingkat nasional," katanya.

Ia justru menyayangkan jika selama ini tidak ada calon kepala daerah  membicarakan masalah intoleransi di masyarakat jika terpilih nanti. Meski demikian ia berharap siapapun yang nantinya terpilih untuk memimpin Jakarta selama lima tahun ke depan bisa mencegah potensi-potensi konflik karena intoleransi.

Menurutnya, upaya yang bisa dilakukan gubernur terpilih adalah berkomunikasi secara intensif dan membuka ruang diskusi atau dialog dengan masyarakat, serta menghilangkan kesan elitis sehingga masyarakat merasa mempunyai tempat dialog yang luas.

"Pemimpin Jakarta ke depan harus membuka ruang dialog yang luas, memberikan kesempatan publik untuk berinteraksi. Sehingga kepercayaan terhadap pemerintah jalan, dan didukung penegakan hukum lebih kuat. Pemerintah harus memastikan yang melanggar hukum tindak. Dengan demikian rakyat tidak dibingungkan," ujarnya.(boy/jpnn)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Cegah Politik Uang, Bawaslu Gandeng KPK

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler