jpnn.com - Gudeg Bu Tjitro 1925 adalah bagian penting dari menggeliatnya bisnis kuliner di wilayah Yogyakarta. Dalam kemasan yang makanan tradisional andalan Kota Pelajar itu menjadi oleh-oleh andalan para pelancong.
Mesya Mohamad, Gunungkidul
BACA JUGA: Nirina Zubir Memperdalam Manajemen Kuliner
GUDEG Bu Tjitro 1925 tidak asing lagi bagi masyarakat Yogyakarta. Para pelancong yang datang ke Yogya pun akan kepincut begitu mengicip gudeg bercita rasa tinggi itu.
Sayangnya, untuk menikmati makanan tradisional Yogya ini, pelancong harus ke daerah istimewa tersebut. Ini dirasakan tidak efisien karena harus mengeluarkan dana lebih besar.
BACA JUGA: Glen dan Chelsea Ketagihan Bisnis Kuliner
Danu, owner Gudeg Bu Tjitro 1925 pun melakukan inovasi dengan memanfaatkan teknologi pengemasan makanan tradisional Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam (BPTBA) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dengan teknologi ini, Gudeg Bu Tjitro 1925 bisa awet tanpa bahan pengawet hingga satu tahun lebih, tidak mengubah citarasa, mudah dibawa sehingga bisa dijadikan oleh-oleh luar kota hingga ke luar negeri.
BACA JUGA: Bisnis Kuliner Tumbuh Double Digit
Danu mengungkapkan, inovasi menggunakan teknologi pengemasan makanan tradisional ini karena tingginya permintaan masyarakat baik dalam maupun luar negeri akan Gudeg Bu Tjitro 1925.
"Karena banyak yang pengin makan gudeg kami, makanya kami berpikir kenapa tidak dikemas dalam kaleng atau apa gitu biar awet tapi tidak mengubah citarasanya. Alhamdulillah ada teknologi dari BPTBA LIPI," ujar Danu kepada JPNN saat melakukan peninjauan di pabrik pengalengan makanan LIPI, Gunungkidul, Jumat (14/7).
Gudeg Kaleng Bu Tjitro 1925 yang dimulai 2008 ini pun berkembang pesat. Meski terbilang usaha kecil menengah (UKM), Danu bisa meraup omzet dalam kisaran Rp 300 juta per bulan.
Setiap bulan, Danu yang mempunyai 24 karyawan (khusus pabrik gudeg kaleng) ini bisa menjual 12.000 kaleng. Di bulan tertentu seperti Ramadan dan Syawal, Danu bisa menjual dua sampai tiga kali lipatnya. Padahal gudeng kalengnya dipasarkan terbatas hanya lewat online dan saat pengunjung mengunjungi Restoran Gudeg Bu Tjitro 1925.
"Belum bisa produksi besar-besaran karena masih pakai Tanda Daftar Industri (TDI) LIPI. Saya sudah mengurus ke BPOM tai belum keluar izin untuk pabrik saya. Kalau ada izin BPOM untuk pabrik sendirikan pasarnya bisa lebih luas lagi," tuturnya.
Ibu Eroh, owner Empal Gentong Haji Apud juga merasakan dampak dari teknologi pengemasan makanan tradisional. Sebenarnya usaha Empal Gentong Haji Apud ini dimulai dari rumah makan yang dirintis pada 1995 di Cirebon. Tingginya permintaan pasar membuat Ibu Eroh tergerak menggunakan teknologi kemasan LIPI.
Pada 2016 Ibu Eroh pun menjual empal gentongnya dalam kemasan kaleng. Biasanya empal gentong ini daya simpannya hanya enam sampai delapan jam. Dengan teknologi pengemasan makanan tradisional LIPI, empal gentongnya bisa awet hingga dua tahun.
Meski begitu Ibu Eroh tidak berani mencantumkan dua tahun. Dia merekomendasikan expired date satu tahun saja. Dalam dua tahun ini, Ibu Eroh bisa menjual Empal Gentong Kaleng Haji Apud sebanyak 3000 kaleng per bulan. Per kaleng dijual Rp 25 ribu untuk berat 200 gram sehingga omsetnya Rp 75 juta.
Saat puasa dan lebaran, Ibu Eroh bisa menjual 3.000 kaleng per minggu. Sama seperti Danu, Ibu Eroh tidak bisa menjual bebas lantaran belum ada izin BPOM. Padahal permintaan pasar sangat tinggi.
Pernah mal terkenal di Yogyakarta memesan 100 kaleng empal gentong. Begitu tahu empal kaleng itu di display, Ibu Eroh langsung membeli kembali. Dia takut bila kena sanksi dari BPOM maupun pemda karena belum ada izinnya.
"Saya sudah urus izinnya sejak tahun lalu tapi belum keluar. Makanya sulit juga jualan kalau enggak ada izin BPOM. Sementara jualan hanya terbatas pada pelanggan dan online. Itupun enggak banyak," tuturnya saat berdialog dengan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir.
Menanggapi itu Menteri Nasir mengungkapkan akan membantu UKM untuk mendapatkan izin BOPM. Biar bagaimanapun UKM ini adalah para pelaku ekonomi yang telah menggunakan hasil inovasi teknologi LIPI.
Menurut Nasir, kemasan makanan tradisional sangat penting. Bagaimana meningkatkan nilai tambah bagi UKM yang menggunakan produk lokal. Makanan yang umumnya bertahan hanya enam jam tapi dengan teknologi bisa menjadi satu tahun. Bagaimana juga mengenalkan makanan Indonesia yang variasi kepada orang asing.
Nasir mengaku senang karena makin banyak makanan tradisional yang dikemas dengan teknologi pengemasan dari BPTBA LIPI. Saat ini Pusat Unggulan Iptek (PUI) Teknologi Pengemasan Makanan Tradisional sudah dimanfaatkan oleh lebih dari 30 UKM diberbagai wilayah Indonesia.
Selain itu dikembanhkan 42 jenis resep makanan tradisional khas nusantara antara lain gudeg Jogja, gudeg Solo, rawon, brongkos, sayur lombok ijo, mangut lele, rendang, keumamah (ikan kayu) khas Aceh, tempe bacem, tempe kari, oseng-oseng mercon, dan lainnya.
"Riset dan teknologi itu harus bisa dimanfaatkan masyarakat dan mampu meningkatkan taraf hidupnya. Saya gembira BPTBA LIPI Gunungkidul sudah bisa menggandeng UKM. Mudah-mudahan biayanya juga tidak memberatkan UKM," pungkasnya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Bisnis Baru Nina Wang di Akhir Tahun
Redaktur : Soetomo Samsu
Reporter : Mesyia Muhammad