Gugatan untuk Diskualifikasi Prabowo-Gibran Dinilai Melawan Kehendak Rakyat

Rabu, 03 April 2024 – 22:13 WIB
Pasangan Capres-Cawapres RI terpilih di Pilpres 2024 Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka. Foto: Arsip jpnn.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam mengatakan materi gugatan kubu 01 dan 03 ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendiskualifikasi nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka serta meminta pemungutan suara ulang melawan kehendak rakyat.

Menurut Surokim, gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) itu tidak mempertimbangkan aspek psikologis dan melawan logika mayoritas masyarakat yang telah menentukan pilihannya di Pilpres 2024.

BACA JUGA: Berkunjung ke Tiongkok, Prabowo Pelajari Budaya Makan Siang Gratis di Sekolah

“Memang kalau dilihat dari proses terlalu berlebihan, karena proses itu sudah dilakukan bersama, tetapi tuntutan seperti itu tetap harus dihargai. Pendapat saya, perlu juga mempertimbangkan tentang psikologis public. Sebab memahami psikologi publik itu bagian dari esensi memahami hukum harus lebih cermat dan lebih masuk akal, mempertimbangkan psikologi publik,” ujar Surokim, Rabu (3/4/2024).

Surokim menambahkan aspek psikologis publik atau kebatinan masyarakat, yaitu baik saat musim kampanye maupun pasca pemilu masyarakat ingin kehidupan tetap berjalan damai, tidak terjadi kegaduhan dan tetap rukun.

BACA JUGA: Sidang PHPU: Tim Ganjar Minta Kapolri, Kubu Prabowo Pengin Kepala BIN

Dia mengatakan tuntutan dari mereka tidak linear dengan keinginan publik yang besar tersebut.

“Situasi kebatinan masyarakat Indonesia saat ini, itu kan istilahnya menginginkan kedamaian, ketidakgaduhan situasi yang adem, jadi saya kira kalau ingin wise, bijak ya memperhatikan situasi kebatinan masyarakat Indonesia, itu menjadi penting,” ujar Surokim.

BACA JUGA: AHY Ungkap Permintaan Khusus dari Prabowo, Oh Ternyata

Selain itu, Surokim mengatakan gugatan dari 01 dan 03 juga dianggap berlawanan dengan logika mayoritas masyarakat.

Surokim meyakini keputusan final MK selain berdasarkan bukti-bukti yang dibawa ke persidangan juga akan mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat juga logika publik.

“Saya kira pemahaman seperti itu akan kontraproduktif atau perlawanan dengan logika-logika publik, karena termasuk MK pun pasti akan juga mempertimbangkan situasi kebatinan masyarakat,” ucapnya.

Menurut Surokim, penyusunan tuntutan itu harus secara komprehensif, tidak hanya sekedar berdasarkan pasal-pasal saja, tetapi juga harus memahami konteks di lapangan masyarakat inginnya seperti apa.

Bagi Surokim, tidak bijak jika memaksakan kehendak untuk berkuasa tetapi tidak mendapat dukungan dari masyarakat.

“Jadi, saya lebih fokus melihat situasi itu agar memperhatikan tuntutan itu memperhatikan situasi kebatinan masyarakat Indonesia. Situasi kebatinan itulah yang akan menjadi kekuatan tidak sekadar tafsir pasal-pasal dan lain-lain karena kan konteks itu juga sebagai teks,” ujar Surokim.

Mengenai bukti-bukti yang sudah disampaikan oleh paslon 01 dan 03 di persidangan atas tuduhan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM), Surokim menilai sulit bagi MK mengabulkan permintaan mereka.

“Memang agak sulit membuktikan TSM itu, saya kira bukti-bukti yang sudah disampaikan di pengadilan itu agak sulit dikabulkan ke arah TSM. Itu sulit,” ujar Surokim.

Namun, Surokim meyakini MK akan memberikan keputusan terbaiknya untuk semua, baik pemohon, termohon maupun terkait demi memperbaiki demokrasi ke depan.

“Mahkamah Konstitusi pasti akan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang juga ya pasti akan ada misi untuk mengurangi supaya pemilu-pemilu ini yang bersih tidak banyak pelanggaran. Jadi, feeling saya MK ingin juga kelihatan progresif di dalam keputusannya tetapi pasti tetap akan mempertimbangkan situasi kebatinan yang masyarakat yang berkembang saat ini,” ujar Surokim.

Sementara itu, Surokim memprediksi MK berpeluang besar menolak gugatan, selain karena  aspek-aspek bukti teknis yang lemah, psikologis publik juga menghendaki hal tersebut.

“Jadi, kalau ditanya tentang apakah dikabulkan atau tidak, saya kira keputusan MK itu nanti tetap akan memperhitungkan bagaimana meminimalisasi pelanggaran-pelanggaran sejenis dilakukan di masa yang akan datang. Namun, tetap memperhatikan situasi kebatinan masyarakat Indonesia. Jadi, ya 60 banding 40,” ujar Surokim.(fri/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler