Gurita Bisnis Raksasa Otomotif Kian Terpuruk

Rabu, 04 April 2018 – 10:27 WIB
Mobil MPV Chevrolet Spin berada di final line pasca perakitan di Pabrik General Motors Bekasi, Jawa Barat, yang akan resmi memulai produksi reguler pada April 2013 mendatang. Foto: M Fathra/JPNN Ilustrasi :

jpnn.com, KOREA SELATAN - Kabar buruk kembali menimpa raksasa otomotif Amerika Serikat, General Motors (GM) awal tahun ini. Ditengarai beban operasional unit usahanya di Korea Selatan (GM Korsel) sudah melampaui kemampuan keuangan, sehingga terancam bangkrut.

Dari dokumen perserikatan buruh GM Korsel yang didapar Reuters, Presiden GM International Barry Engle menyatakan kepada pemimpin perserikatan buruh GM Korsel, bahwa dibutuhkan dana USD 600 juta untuk unit bisnis di Korsel pada akhir April agar bisa melanjutkan operasi.

BACA JUGA: Probosutedjo dan Bisnis Otomotif Indonesia Lewat Chevrolet

Sementara juru bicara GM Korsel mengatakan, pihaknya menargetkan kesepakatan upah bisa selesai pada akhir Maret.

Dengan demikian, perserikatan buruh mendesak GM Korsel mengajukan proposal penyelamatan kepada pemerintah. Bila GM Korsel gagal membuat rencana pada 20 April, maka tidak ada pilihan selain bangkrut.

BACA JUGA: Luncurkan Colorado, General Motors Bidik Sektor Bisnis

Bulan lalu, Reuters juga sudah melaporkan rencana GM akan menutup pabrik terbesar keduanya di Korsel yakni di Gunsan dengan kapasitas produksi 260.000 unit per tahun pada Mei nanti.

Awal Malapetaka
Jika merunut perjalanan bisnis General Motors, maka malapetaka itu bermula pada 2009 silam. Sejarah otomotif dunia mencatatkan bahwa GM jatuh terseok hingga dasar. Posisi puncak penjualan terbesar di dunia selama 70 tahun pun harus diserahkan ke pemain Jepang, Toyota.

BACA JUGA: Market Cap Rp 718,3 Triliun, Tesla Gusur General Motors

Sempat mencoba bangkit, tak berselang lama GM merasakan lagi puncak kejayaan pada 2011 dengan capaian total penjualan kendaraannya di pasar global sebanyak 9.026.000 unit, melampaui Toyota yang saat itu dilanda bencana alam, sehingga produksi-distrbusi terhambat.

Namun, lagi-lagi GM tak bisa mempertahankan cakarnya di industri otomotif. Dari 2012 hingga 2016, perusahaan yang bermarkas di Detroit ini tidak lagi menyabet predikat produsen otomotif terbesar dunia, kalah bersaing dengan Toyota dan Volkswagen AG. Bahkan aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi siap menggeser posisi GM pada tahun-tahun ke depan.

Lemahnya kekuatan GM dalam persaingan di sejumlah negara membuatnya semakin terpuruk, terutama persaingan dalam inovasi produk di segmen volume maker, dan keterlambatan menjamah kendaraan berteknologi hibrida dibanding Jepang, karena terlalu asik dengan SUV dan pikap-truk. Selain itu juga, krisis keuangan dunia menjadi dampak yang ikut melilitnya.

Keterpurukan Dimulai
Pasar Eropa pada 2013 menjadi tahun penyusutan paling drastis untuk penjualan mobil baru sejak 1990, yaitu turun hingga 10,2%. Sehingga tercatat tiga merek paling terimbas adalah GM, Fiat, dan Ford.

Di mana, GM akhirnya mengubah strategi untuk sejumlah model, terutama Chevrolet yang tidak lagi masuk pada produk-produk volume maker di Eropa Barat dan Timur. Jadi hanya bermain di sejumlah segmen tertentu lewat Opel, Vauxhall, dan Cadillac.

Selanjutnya, setelah upaya reposisi di pasar Eropa, GM kembali mengejutkan melalui kabar penutupan pabrik di Australia. Kurangnya permintaan, tekanan ekonomi di tanah Kangguru itu, dan langkah efisiensi dari pusat menjadi alasan mereka memutuskan hanya menjalankan operasional penjualan saja.

Hanya dalam kurun waktu dua tahun, pada 2015 posisi GM di pasar Asia Tenggara terus mengalamai gejala kronis. Indonesia yang tadinya diharapkan menjadi salah satu pasar yang bisa memberi harapan melalui produk di segmen volume maker, yaitu Chevrolet Spin, pun dihentikan beserta jalur produksinya. Karena ditengarai telah merugikan GM hingga Rp 2,7 triliun sejak beroperasi pada 2013.

Berselang hari, GM Thailand ikut mengumumkan langkah restrukturisasi dengan menyudahi produksi Chevy Sonic di Ranyong. Selain penurunan penjualan, efisiensi operasional di pasar Asia jadi alasan utama.

Menyeberang ke Singapura, GM International juga memutuskan langkah penghematan operasional kantornya di Singapura – yang merupakan kantor pengawas untuk pasar India, Asia Tenggara, dan Korea Selatan, dengan merumahkan sekitar 130 karyawannya. Dengan demikian, GM berharap bisa memanfaatkan biaya $ 139 juta per tahun.

Pasalnya, sebelumnya GM juga sudah mengumumkan penghentian penjualan Chevrolet dari pasar domestik India, Afrika Selatan dan Timur dalam tenggat waktu hingga akhir tahun 2017, dan hanya memproduksi untuk kebutuhan ekspor saja. Lemahnya penjualan di kedua pasar ini adalah faktor yang melatarbelakanginya.

Begitu juga di negara terbesar wilayah Amerika Selatan, Brasil dan Venezuela. GM juga telah menangguhkan kontrak 2.200 karyawan pabriknya di Sao Jose dos Campos karena penyesuaian jumlah permintaan produksi untuk Trailblazer dan SUV S10 pada tahun lalu.

Sementara di Venezuela, GM telah memecat 2.700 karyawannya di pabrik GM Valencia, karena tidak lagi beroperasi sejak 2016.

Juru Selamat

Saat ini pasar penyelamat bisnis GM adalah Tiongkok. Terhitung pada 2013, mereka sudah mengeluarkan secara bertahap dana sebesar $ 11 miliar hingga 2016. Investasi ini mencakup pembangunan empat pabrik di China.

Bukan tanpa alasan, sampai 2015 lalu GM telah menggelontorkan 9 juta unit lebih kendaraannya ke pasar China. Keuntungan perusahaan sendiri atas operasinya di China, termasuk usaha patungan dengan perusahaan lokal China, telah menyumbang lebih dari 20 persen laba bersih GM. Salah satu pasar dari bisnis perusahaan patungan GM dengan produsen otomotif lokal China adalah Indonesia lewat merek Wuling Motors. (mg8/jpnn)


Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler