Guru Memahami Kurikulum 2013 Sebatas Jargon

Jumat, 12 Juli 2013 – 00:50 WIB
JAKARTA - Komisi X DPR RI diminta bertanggungjawab atas kekacauan persiapan penerapan Kurikulum 2013 yang akan dijalankan mulai 15 Juli nanti. Pasalnya persiapaan pelatihan guru dan kesiapan sekolah mulai memunculkan persoalan.

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti meminta DPR harus melihat langsung kondisi yang terjadi di lapangan dan memanggil Mendikbud Mohammad Nuh yang telah mempertaruhkan masa depan bangsa pada pelaksanaan kurikulum 2013.

"Komisi X DPR RI harus segera turun ke daerah-daerah, kemudian memanggil Mendikbud, jangan mempertaruhkan masa depan dan proses belajar anak-anak Indonesia pada kurikulum baru ini," kata Retno, Kamis (11/7).

Hasil pemantauan FSGI di 17 kabupaten/kota dari 10 propinsi terkait persiapan pelaksanaan kurikulum 2013, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan menemukan sejumlah persoalan mendasar.

Di antaranya sekolah tidak mengetahui grand design Kurikulum 2013 karena minimnya sosialiasi. “Mereka hanya mengetahui kurikulum 2013  kulitnya saja, yaitu melalui jargon dalam bentuk powerpoint yang selalu dipaparkan Mendikbud," ujar guru salah satu SMA di Jakarta ini.

Anehnya, lanjut dia, dalam ketidaktahuan itu, justru banyak pemerintah daerah yang “latah” hendak melaksanakan kurikulum 2013 di semua sekolah di seluruh wilayahnya meski tidak ditunjuk pemerintah.

Kelatahan juga melanda para kepala sekolah negeri maupun swasta yang menyatakan akan menerapkan kurikulum 2013 tahun ajaran 2013/2014 meski harus menanggung semua pembiayaannya secara mandiri.

Persoalan lain adalah banyak sekolah bingung dengan perubahan struktur kurikulum. Problem teknis yang berkaitan dengan perubahan struktur kurikulum yang menyebabkan adanya pelajaran yang hilang maupun bertambahnya jam membingungkan pihak sekolah karena semuanya itu berimplikasi pada nasib guru.

Misalnya, penghapusan mata pelajaran TIK (teknologi informasi dan komputer) di SMP dan SMA berimplikasi besar terhadap eksistensi para pengampu bidang TIK yang latar belakang pendidikannya TIK. Akibatnya keahlian mereka tidak dipakai lagi.

Begitu juga dengan enam bahan jam pelajaran di semua jenjang pendidikan diprediksi membebankan sekolah-sekolah swata karena harus menambah pembayaran jam mengajar, hingga fasilitas belajar dengan biaya ditanggung sendiri oleh pihak yayasan. "Ini ujung-ujungnya bakal dibebankan kepada para orang tua murid," pungkasnya. (Fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 75 Persen Sekolah Ada di Daerah Rawan Gempa

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler