jpnn.com - Habib Rizieq Shihab dinobatkan sebagai ‘’Man of the Year’’ (MOTY) 2021 oleh ‘’Masyarakat Peduli NKRI’’ yang digagas oleh aktivis demokrasi Lieus Sungkharisma.
Penobatan itu di-endorse oleh lima tokoh, salah satunya Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) LaNyalla Mahmud Mattalitti.
BACA JUGA: Dari Balik Penjara, Habib Rizieq Sampaikan Pesan Khusus Perayaan Natal
Sosok lain yang meng-endorse MOTY versi Lieus adalah pengamat ekonomi Rizal Ramli, praktisi filsafat Rocky Gerung, aktivis demokrasi dan kemanusiaan Natalius Pigai, dan pengamat politik cum youtuber Refly Harun.
Selain LaNyalla para peng-endorse MOTY dikenal sebagai aktivis yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi.
BACA JUGA: Kuasa Hukum Habib Rizieq: Bravo Polri!
LaNyalla menjadi satu-satunya pejabat negara yang meng-endorse Habib Rizieq Shihab (HRS).
LaNyalla mengatakan bahwa sebagai ketua DPD dia menjadi representasi daerah dan golongan non-partisan. Ia merasa wajib mengayomi semua lapisan warga negara, tidak memandang latar belakang sosial, politik, dan agama.
BACA JUGA: Massa Reuni 212 Bentangkan Spanduk Bebaskan Habib Rizieq
LaNyalla yang juga ketua Pemuda Pancasila (PP) Jawa Timur mengatakan bahwa dirinya adalah seorang senator dan bukan seorang politisi. Lembaga yang dimpimpinnya harus berada dalam posisi tidak tersekat oleh kepentingan apa pun, dan tetap murni menjadi wakil daerah dan semua golongan.
LaNyalla mengatakan dia sudah berpengalaman panjang dalam mengelola pluralitas selama berkecimpung di organisasi PP. Organisasi ini mempunyai jaringan keanggotaan yang mencakup semua golongan masyarakat.
Jangankan seorang habib dan tokoh agama, preman jalanan pun dirangkul oleh PP dan diajak berorganisasi. Demikian kata LaNyalla.
Endorsement dari LaNyalla terhadap HRS membuat penobatan MOTY ini mempunyai nuansa yang lebih netral. Empat pengenendorse lain--termasuk penggagas MOTY--dikenal sebagai personaliti yang berseberangan dengan kekuasaan.
LaNyalla menjadi semacam penyeimbang di antara para endorser.
Selama ini LaNyalla juga aktif dalam gerakan kampanye presidential threshold nol persen dan menggugat ambang batas 20 persen.
Para aktivis demokrasi sudah terlebih dahulu menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa anggota DPD kemudian ikut menggugat ketentuan yang diangap tidak demokrastis itu.
LaNyalla disebut-sebut punya aspirasi untuk ikut maju dalam perhelatan pilpres 2024. Rizal Ramli juga termasuk dalam gerbong yang ingin maju pada perhelatan itu.
Kedua orang itu sama-sama tidak punya partai, dan karena itu sangat sulit untuk mendapatkan dukungan 20 persen.
Endorsement terhadap HRS adalah langkah untuk memperluas konstituen. Meskipun masih berada di penjara, HRS masih mempunyai pengaruh yang kuat terhadap gerakan politik Islam. Pengaruhnya masih dianggap signifikan dalam perhelatan politik 2024 mendatang.
Sampai sekarang belum ada sosok yang bisa mengganti posisi HRS sebagai ‘’Imam Besar’’. Meski posisi itu bersifat ‘’self-proclaimed’’, diproklamasikan oleh para pendukung HRS sendiri, tetapi posisi itu menjadi kuat karena mendapatkan legitimasi dari para aktivis Islam politik.
HRS akan menjadi magnet besar yang akan memainkan peran signifikan dalam perhelatan politik 2024. Pada tahun itu HRS akan bebas dari penjara dan dia akan kembali terjun ke lapangan memimpin gerakan oposisi informal.
Gerakan ini akan menjadi gerakan parlemen jalanan ala mahasiswa di era 1960-an sampai 1990-an. Gerakan ini berpotensi besar untuk menjadi lokomotif yang akan menggandeng gerbong oposisi dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan buruh.
Potensi HRS ini masih terjaga sampai sekarang karena secara praktis belum muncul tokoh oposisi yang punya kaliber nyali sekelas HRS.
Dengan potensi seperti itu HRS selalu diwaspadai oleh lawan-lawan politiknya. Ia didegradasi dan didiskreditkan dengan cara memotretnya sebagai representasi kelompok anti-Pancasila dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Lieus Sungkharisma sebagai penggagas MOTY 2021 sengaja memakai nama ‘’Masyarakat Peduli NKRI’’ untuk menegaskan kepada publik bahwa serangan terhadap HRS itu tidak berdasar.
Dalam berbagai kesempatan HRS sudah menegaskan komitmennya terhadap Pancasila dan NKRI. Namun, lawan-lawan politiknya bergeming dan tetap menganggapnya sebagai ancaman serius.
Bukan kali ini saja HRS dinobatkan sebagai MOTY. Pada 2016 organisasi Muslim Tionghoa Indonesia (Musti) dan Komtak (Komunitas Tionghoa Antikorupsi) juga memberikan penghargaan MOTY kepada HRS.
Pengusaha nasional Jusuf Hamka, yang menjadi ketua Musti, menjelaskan alasan mengapa dia bersama tokoh Tionghoa lainnya memberikan award itu kepada HRS.
Hamka mengatakan bahwa ia melihat sosok HRS sebagai pelindung etnis Tionghoa. Ia melihat wibawa pada sosok HRS ketika meredam kasus-kasus yang menyangkut penistaan agama.
Jusuf Hamka—anak angkat almarhum Buya Hamka--melihat HRS sebagai sosok yang mampu menyatukan umat dan bersikap sangat toleran terhadap agama dan etnis lain.
Sebagai ulama, HRS dianggap mampu menyatukan umat Islam di Indonesia. Salah satu indikasi yang disebut Hamka adalah perhelatan 411 yang diklaim dihadiri jutaan umat.
HRS dianggap mampu meredam trauma etnis Tionghoa yang khawatir umat Islam akan melakukan makar dan akan terjadi lagi huru-hara seperi 1998. HRS dianggap berhasil meyakinkan kelompok minortitas dengan merangkul dan melindungi kelompok etnis Tionghoa non-muslim.
Enam tahun setelah penobatan MOTY itu HRS menghadapi beberapa insiden yang membuatnya masuk penjara. Kalangan oposisi melihat hal ini sebagai persekusi sistematis untuk menghilangkan pengaruh politik HRS di kalangan umat.
Persekusi itu dimaksudkan untuk meminimalisasi pengaruh HRS dalam gerakan politik Islam. Vonis empat tahun untuk kasus pelanggaran protokol kesehatan dianggap tidak adil dan lebih dilihat sebagai vonis politik ketimbang vonis hukum.
Pembubaran Front Pembela Islam (FPI) dan pemenjaraan para pemimpinnya adalah upaya untuk mencerabut akar gerakan HRS. Meski demikian, FPI tidak serta-merta mati karena cerabutan itu.
Organisasi ini tetap hidup dalam gerakan sel diam. Gerakan organisasi ini berubah wujud menjadi gerakan grass root alias akar rumput. Di atas permukaan rumput terlihat mati, tetapi akarnya masih tetap hidup.
Dengan satu kali siraman hujan rumput yang meranggas itu akan tumbuh hijau dan segar.
Sejarah gerakan oposisi membuktikan pola itu. Selama puluhan tahun pola-pola pemberangusan selalu sama. Pemenjaraan, intimidasi, isolasi, dan ancaman oleh gerakan polisi rahasia menjadi teori text book yang diterapkan dari masa ke masa.
Meski demikian, gerakan oposisi tidak pernah bisa mati dengan kekerasan represi semacam itu. Gerakan oposisi selalu menyimpan energi seperti per atau pegas. Ketika pegas makin ditekan maka daya pantulnya akan makin besar ketika tekanan terlepas.
Semua gerakan oposisi di seluruh dunia membuktikan hal itu, mulai dari Nelson Mandela di Afrika Selatan, Imam Khomeini di Iran, dan Corizon Aquino di Filipina. Ketiga tokoh itu menadi representasi tiga gerakan oposisi yang mempunyai spektrum yang berbeda-beda.
Nelson Mandela mewakili politik pribumi yang berjuang melawan rasisme rezim apartheid kulit putih. Imam Khomeini mewakili gerakan Islam politik yang menjadi satu-satunya kekuatan yang bisa melawan rezim boneka yang disetir oleh Amerika Serikat.
Corry Aquino menjadi simbol arus gerakan oposisi rakyat yang sudah puluhan ditekan oleh rezim otoriter Ferdinand Marcos.
Mandela dibui selama 27 tahun. Khomeini mengasingkan diri ke Prancis. Suami Corry Aquino, Benigno Aquino tewas ditembak oleh polisi rahasia Marcos. Persekusi terhadap gerakan oposisi itu menghasilkan kedutan pegas yang masif dan melahirkan ‘’people power’’ yang berhasil menumbangkan rezim otoriter.
Gerakan oposisi di berbagai negara mempuyai pola yang berbeda-beda, tetapi semuanya mempunyai benang biru yang sama. Pada akhirnya, semua upaya pemberangusan dengan pemenjaraan justru akan menjadi tambahan daya kejut yang membuat pegas memantul lebih keras dan bertenaga.
Penobatan MOTY 2021 tentu dipandang dengan picingan mata oleh lawan-lawan politik HRS. Beberapa kalangan mungkin menganggapnya tidak punya efek apa pun.
Namun, setidaknya penobatan ini bisa mengisi kekosongan psyche publik, yang diam-diam merindukan tokoh yang berani bersikap kritis terhadap kekuasaan. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror